MONOLITH LAW OFFICE+81-3-6262-3248Hari kerja 10:00-18:00 JST [English Only]

MONOLITH LAW MAGAZINE

General Corporate

Kerangka Hukum Pembayaran Upah dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang: Perspektif Kepatuhan dan Manajemen Risiko

General Corporate

Kerangka Hukum Pembayaran Upah dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang: Perspektif Kepatuhan dan Manajemen Risiko

Dalam mengembangkan bisnis di Jepang, kepatuhan terhadap regulasi pembayaran upah tidak hanya merupakan kewajiban dalam manajemen tenaga kerja, tetapi juga merupakan elemen penting dari tata kelola perusahaan yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan pemeliharaan kredibilitas sosial. Pelanggaran terhadap kepatuhan pembayaran upah dapat mengakibatkan kewajiban pembayaran upah yang belum dibayar dan juga berpotensi menjadi subjek investigasi serta rekomendasi perbaikan dari Pengawas Standar Tenaga Kerja. Lebih lanjut, di masyarakat modern, penyebaran informasi oleh karyawan atau mantan karyawan melalui media sosial dapat memberikan dampak negatif yang serius terhadap citra perusahaan, yang dapat menyulitkan dalam perekrutan dan retensi talenta berharga, serta berpotensi memberikan dampak besar terhadap operasional bisnis itu sendiri.

Sistem hukum Jepang melindungi hak atas upah pekerja secara berlapis melalui beberapa undang-undang untuk menjamin stabilitas kehidupan pekerja. Secara spesifik, terdapat ‘Undang-Undang Upah Minimum Jepang’ yang menetapkan standar minimum upah, ‘Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang’ yang mengatur prinsip dasar metode pembayaran, ‘Hukum Perdata Jepang’ yang menjamin prioritas klaim, dan ‘Undang-Undang Jepang tentang Jaminan Pembayaran Upah dan Lainnya’ yang memastikan pembayaran saat pengunduran diri. Undang-undang ini tidak berfungsi secara independen, melainkan saling berinteraksi untuk membentuk sistem perlindungan yang komprehensif. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bahwa pelanggaran terhadap satu peraturan dapat tidak sengaja memicu pelanggaran peraturan lainnya, yang dapat meningkatkan risiko hukum dan finansial bagi perusahaan. Artikel ini akan menjelaskan kerangka hukum pembayaran upah di Jepang dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh pengusaha, dengan mengacu pada pasal-pasal utama dan contoh kasus hukum yang relevan.

Kerangka Hukum Sistem Upah Minimum di Jepang

Undang-Undang Upah Minimum Jepang bertujuan untuk menstabilkan kehidupan pekerja dengan menetapkan jumlah minimum upah yang harus dibayar oleh pengusaha kepada pekerja. Hukum ini menetapkan jumlah upah minimum yang tidak dapat diturunkan oleh kesepakatan antara pihak-pihak terkait dan memiliki kekuatan sebagai ketentuan yang bersifat memaksa.

Pasal 4 Ayat 1 dari Undang-Undang Upah Minimum Jepang menetapkan bahwa pengusaha harus membayar upah tidak kurang dari jumlah upah minimum kepada pekerja yang berada di bawah penerapan upah minimum tersebut. Selanjutnya, Ayat 2 dari pasal yang sama menyatakan bahwa jika pekerja dan pengusaha sepakat pada upah yang lebih rendah dari jumlah upah minimum, bagian tersebut akan dianggap tidak sah, dan isi kontrak akan dianggap sama dengan ketentuan upah minimum. Ini berarti bahwa, terlepas dari persetujuan pekerja, standar minimum yang ditetapkan oleh hukum akan diterapkan secara paksa.

Ada dua jenis upah minimum: “Upah Minimum Regional” yang berlaku untuk semua pekerja tanpa memandang industri atau jenis pekerjaan, dan “Upah Minimum Khusus (Sektor Industri)” yang berlaku untuk pekerja dalam industri tertentu. Jika seorang pekerja berada di bawah penerapan kedua jenis upah minimum tersebut, maka jumlah upah minimum yang lebih tinggi akan diterapkan.

Dalam menentukan apakah upah yang dibayarkan melebihi jumlah upah minimum atau tidak, perlu dilakukan penghitungan dengan mengeluarkan beberapa jenis upah tertentu dari upah yang menjadi subjek. Menurut Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Upah Minimum Jepang, upah yang dibayarkan secara insidental (seperti tunjangan pernikahan) atau upah yang dibayarkan untuk periode lebih dari satu bulan (seperti bonus) tidak termasuk dalam perhitungan dasar upah minimum. Dalam kasus sistem gaji bulanan atau harian, jumlah tersebut dibagi dengan jumlah jam kerja yang ditetapkan untuk menghitung jumlah per jam, yang kemudian dibandingkan dengan jumlah upah minimum yang berlaku (per jam).

Jika pengusaha tidak membayar upah di atas jumlah upah minimum regional, mereka dapat dikenakan denda hingga 500.000 yen berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Upah Minimum Jepang.

Sebagai contoh kasus hukum yang menyangkut lingkup penerapan Undang-Undang Upah Minimum, dapat disebutkan kasus NHK (Stasiun Penyiaran Nagoya) (Putusan Pengadilan Tinggi Nagoya, 26 Juni 2018). Dalam kasus ini, dipersoalkan apakah “kerja percobaan” yang dilakukan oleh seorang karyawan yang sedang cuti karena gangguan mental untuk menentukan kelayakan kembali bekerja, yang tidak dibayar, adalah sah atau tidak. Pengadilan memperhatikan fakta bahwa kerja percobaan tersebut dilakukan di bawah pengawasan dan arahan pengusaha, dan hasil kerja (naskah berita yang diproduksi) benar-benar disiarkan, sehingga pengusaha mendapatkan manfaat darinya. Meskipun ada aspek rehabilitasi, pengadilan memutuskan bahwa kerja percobaan tersebut secara substansial merupakan “pekerjaan” di bawah arahan dan pengawasan pengusaha, dan memerintahkan perusahaan untuk membayar upah tidak kurang dari jumlah upah minimum. Putusan ini menunjukkan bahwa, terlepas dari nama kontrak atau niat para pihak, jika substansi pekerjaan berada di bawah arahan dan pengawasan pengusaha, maka akan menjadi subjek penerapan Undang-Undang Upah Minimum. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan dengan nama magang, pelatihan, atau masa percobaan, tergantung pada realitasnya, dapat menimbulkan kewajiban pembayaran upah, sehingga perusahaan harus mempertimbangkan dengan hati-hati dalam merancang sistem ini.

Prinsip Dasar Pembayaran Upah Menurut Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang

Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang menetapkan aturan dasar untuk melindungi kehidupan pekerja dalam hal metode dan waktu pembayaran upah. Prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang ini dikenal sebagai “Lima Prinsip Pembayaran Upah” dan merupakan salah satu norma paling dasar dalam manajemen tenaga kerja di Jepang. Jika ada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini, denda hingga 300.000 yen dapat dikenakan berdasarkan Pasal 120 undang-undang yang sama.

Pertama, “prinsip pembayaran dalam bentuk uang tunai”. Upah harus dibayar dalam bentuk mata uang Jepang (tunai) sebagai prinsip utama. Pembayaran dalam bentuk barang, seperti produk perusahaan atau voucher, pada prinsipnya dilarang. Namun, dengan persetujuan pekerja, pembayaran melalui transfer ke rekening bank yang ditunjuk oleh pekerja atau ke rekening penyedia layanan transfer dana yang memenuhi persyaratan tertentu (pembayaran digital) diizinkan sebagai pengecualian.

Kedua, “prinsip pembayaran langsung”. Upah harus dibayarkan langsung kepada pekerja untuk mencegah eksploitasi oleh perantara. Pembayaran kepada wali hukum seperti orang tua atau agen sukarela yang diberi kuasa tidak diperbolehkan. Sebagai pengecualian, pembayaran kepada ‘utusan’ yang secara sosial dianggap setara dengan pekerja, seperti pasangan, dalam kasus sakit, atau pembayaran kepada pihak ketiga berdasarkan penyitaan kredit oleh keputusan pengadilan, diperbolehkan.

Ketiga, “prinsip pembayaran penuh”. Upah harus dibayarkan secara penuh. Sebagai prinsip, pengusaha dilarang melakukan pemotongan sepihak terhadap upah dengan kredit pinjaman atau hutang lain yang dimiliki terhadap pekerja. Pengecualian terhadap prinsip ini ditetapkan secara ketat, dan hanya dalam kasus perjanjian tertulis (perjanjian kerja bersama) dengan serikat pekerja yang mewakili mayoritas pekerja atau perwakilan yang mewakili mayoritas pekerja, pemotongan biaya sewa rumah dinas dari upah diizinkan, selain potongan berdasarkan hukum (seperti pajak penghasilan atau iuran asuransi sosial). Persetujuan individu pekerja saja tidak cukup, dan diperlukan kesepakatan kolektif, yang menunjukkan keinginan kuat hukum untuk melindungi upah sebagai sumber kehidupan pekerja dari pemotongan yang sembarangan.

Keempat, “prinsip pembayaran minimal sekali sebulan”. Untuk menjamin stabilitas kehidupan pekerja, upah harus dibayarkan setidaknya sekali setiap bulan. Bahkan jika sistem gaji tahunan diterapkan, jumlah gaji tahunan harus dibagi dan dibayarkan setiap bulan. Namun, pembayaran upah yang dilakukan secara insidental, bonus, dan pembayaran lain yang setara yang ditentukan oleh peraturan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan dikecualikan dari prinsip ini.

Kelima, “prinsip pembayaran pada tanggal tertentu”. Juga diwajibkan untuk menentukan tanggal pembayaran upah secara spesifik. Perlu menetapkan tanggal pembayaran secara konkret, seperti “setiap tanggal 25 bulan” atau “akhir bulan setiap bulan”. Penetapan tanggal pembayaran yang berubah-ubah setiap bulan, seperti “setiap Jumat ketiga bulan” atau yang memberikan rentang waktu pembayaran, seperti “antara tanggal 15 hingga 25 setiap bulan”, tidak diperbolehkan. Ini juga merupakan ketentuan penting untuk memungkinkan pekerja merencanakan kehidupan mereka dengan stabil.

Posisi Prioritas Kreditur Gaji: Perlindungan di Bawah Hukum Sipil Jepang

Tidak hanya peraturan ketenagakerjaan, tetapi juga Hukum Sipil Jepang memberikan ketentuan yang kuat untuk melindungi kreditur gaji melalui sistem yang disebut ‘hak istimewa preferensial’. Hak istimewa preferensial adalah hak yang diberikan oleh hukum kepada pemegang kreditur tertentu untuk mendapatkan pembayaran terlebih dahulu dari aset debitur dibandingkan dengan kreditur lainnya.

Pasal 306 ayat (2) Hukum Sipil Jepang menetapkan bahwa ‘hubungan kerja’ yang timbul dari kreditur memiliki ‘hak istimewa preferensial umum’ atas keseluruhan harta debitur (pengguna). ‘Kreditur yang timbul dari hubungan kerja’ ini tentu saja mencakup kreditur gaji pekerja. Selanjutnya, Pasal 308 Hukum Sipil Jepang secara eksplisit menyatakan bahwa hak istimewa preferensial ini berlaku untuk gaji.

Kekuatan dari hak istimewa preferensial umum ini sangatlah besar. Urutan prioritas antara hak istimewa preferensial umum yang bersaing ditetapkan dalam Pasal 329 ayat (1) Hukum Sipil Jepang, di mana hak istimewa preferensial hubungan kerja diberikan prioritas yang sangat tinggi, yaitu berada di urutan kedua setelah hak istimewa preferensial untuk ‘biaya kepentingan bersama’.

Hal ini berarti, jika keadaan keuangan pengguna memburuk dan tidak dapat membayar penuh kepada semua kreditur, gaji yang belum dibayar kepada pekerja harus dibayar terlebih dahulu dari seluruh harta perusahaan dibandingkan dengan utang lainnya, seperti pinjaman dari lembaga keuangan atau utang dagang kepada pemasok umum. Dengan ketentuan ini, kreditur gaji tidak hanya sekedar kreditur kontraktual, tetapi posisinya ditingkatkan menjadi kreditur yang secara faktual memiliki hak istimewa preferensial yang dijamin oleh keseluruhan harta perusahaan. Dari perspektif manajer atau pemegang saham, utang gaji yang belum dibayar bukan hanya masalah tenaga kerja atau risiko regulasi, tetapi merupakan kewajiban keuangan yang harus diprioritaskan dan berdampak pada seluruh aset perusahaan.

Pengamanan Pelaksanaan Pembayaran Upah Saat Pengunduran Diri di Bawah Hukum Jepang

Untuk memastikan pelaksanaan pembayaran upah saat seorang pekerja mengundurkan diri, Jepang memiliki undang-undang khusus yang berlaku. Undang-undang tersebut adalah “Undang-Undang Jepang tentang Pengamanan Pembayaran Upah” (selanjutnya disebut “Undang-Undang Pengamanan Pembayaran Upah”). Tujuan utama dari undang-undang ini adalah untuk menormalkan pembayaran upah, terutama saat pekerja meninggalkan perusahaan.

Dalam Undang-Undang Pengamanan Pembayaran Upah, salah satu ketentuan yang sangat penting adalah sistem “bunga keterlambatan” yang diatur dalam Pasal 6. Menurut ayat pertama pasal tersebut, pemberi kerja harus membayar bunga keterlambatan kepada pekerja yang telah mengundurkan diri jika pembayaran seluruh atau sebagian upah (tidak termasuk uang pesangon) tidak dilakukan hingga tanggal jatuh tempo. Bunga keterlambatan dihitung dengan mengalikan jumlah yang terlambat dibayar dengan tingkat tahunan sebesar 14.6%. Tingkat bunga ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jepang tentang Pengamanan Pembayaran Upah, Pasal 1.

Tingkat bunga 14.6% ini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat bunga hukum perdagangan biasa atau batas maksimum denda keterlambatan dalam kontrak konsumen. Penetapan tingkat bunga yang tinggi ini tidak hanya bertujuan untuk mengganti kerugian pekerja yang tidak menerima upah, tetapi juga memiliki makna sanksi yang kuat untuk mencegah pemberi kerja menunda pembayaran upah saat pengunduran diri. Dengan kata lain, lembaga legislatif bertujuan untuk mencegah pemberi kerja menunda pembayaran upah kepada pekerja yang mengundurkan diri dan menggunakan dana tersebut sebagai pinjaman jangka pendek tanpa bunga secara faktual, dengan mengenakan hukuman yang tinggi sehingga menjadi pilihan yang secara ekonomi tidak rasional.

Ketentuan ini mengirimkan pesan yang jelas kepada para pengusaha bahwa mereka harus memprioritaskan pembayaran upah terakhir kepada karyawan yang mengundurkan diri. Bahkan jika terjadi keterlambatan pembayaran dalam jangka waktu yang singkat, bunga keterlambatan yang tinggi ini dapat dengan cepat meningkat dan menjadi beban keuangan yang tidak terduga bagi perusahaan. Ini adalah biaya yang sepenuhnya dapat dihindari dan keberadaannya dapat menunjukkan kekurangan dalam manajemen keuangan dan sistem kepatuhan hukum perusahaan.

Tabel Perbandingan: Ikhtisar Sistem Hukum yang Melindungi Hak Kreditur Gaji di Jepang

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem hukum Jepang menggunakan beberapa undang-undang seperti Undang-Undang Upah Minimum, Undang-Undang Standar Tenaga Kerja, Kode Sipil, dan Undang-Undang Jaminan Pembayaran Upah untuk melindungi hak kreditur gaji dari berbagai sudut. Undang-undang ini, meskipun memiliki tujuan dan metode yang berbeda, secara keseluruhan membentuk satu sistem yang bertujuan untuk memastikan pembayaran upah kepada pekerja secara tepat dan adil. Tabel berikut ini membandingkan peran dan karakteristik masing-masing undang-undang untuk memberikan gambaran yang jelas.

PeraturanTujuan UtamaKewajiban Utama Pemberi KerjaMetode Penjaminan Pelaksanaan & Sanksi
Undang-Undang Upah Minimum JepangMenjamin jumlah minimum upah yang harus dibayarMembayar upah di atas jumlah minimum yang ditetapkan (per jam)Denda (hingga 500.000 yen)
Undang-Undang Standar Tenaga Kerja JepangMenetapkan prinsip dasar mengenai metode dan waktu pembayaran upahMematuhi lima prinsip pembayaran upah (pembayaran tunai, pembayaran langsung, pembayaran penuh, pembayaran minimal sekali sebulan, pembayaran pada tanggal tertentu)Denda (hingga 300.000 yen)
Kode Sipil JepangMenjamin posisi prioritas hak kreditur gaji dibandingkan dengan kreditur tanpa jaminan lainnya(Sebagai kewajiban implisit) Membayar utang gaji sebelum kreditur tanpa jaminan lainnyaPrivilege prioritas umum (hak pembayaran prioritas dari total aset)
Undang-Undang Jaminan Pembayaran Upah JepangMemastikan pembayaran upah kepada pekerja yang telah mengundurkan diri tanpa penundaanMembayar upah akhir pekerja yang mengundurkan diri hingga tanggal pembayaran yang ditentukanBunga keterlambatan (14.6% per tahun)

Seperti yang ditunjukkan oleh tabel ini, Undang-Undang Upah Minimum menetapkan standar minimum untuk ‘jumlah’ upah yang harus dibayar, sedangkan Undang-Undang Standar Tenaga Kerja mengatur ‘metode pembayaran’ upah tersebut. Kode Sipil menjamin ‘prioritas’ hak kreditur jika pembayaran terhambat, dan Undang-Undang Jaminan Pembayaran Upah memberikan sanksi yang kuat terhadap keterlambatan pembayaran, khususnya pada saat ‘pengunduran diri’. Dengan demikian, setiap undang-undang melindungi hak kreditur gaji dari berbagai aspek, membangun sistem penjaminan pelaksanaan yang komprehensif tanpa celah.

Kesimpulan

Seperti yang telah diulas dalam artikel ini, kepatuhan terhadap pembayaran gaji di Jepang tidak hanya terbatas pada pemenuhan satu undang-undang, melainkan memerlukan pemahaman mendalam terhadap sistem yang kompleks, yang terdiri dari berbagai peraturan hukum. Memastikan pemenuhan kewajiban dasar seperti mengikuti jumlah upah minimum, penerapan lima prinsip pembayaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang, serta pembayaran gaji akhir yang cepat saat karyawan mengundurkan diri, adalah isu manajemen yang penting untuk menghindari sanksi hukum, kerugian finansial, dan risiko reputasi yang sulit untuk dipulihkan. Perusahaan harus terus-menerus memperbarui sistem penggajian, isi kontrak kerja, dan peraturan internal mereka agar sesuai dengan peraturan hukum terkini dan melakukan peninjauan secara berkelanjutan.

Kantor Hukum Monolith memiliki pengalaman luas dalam memberikan nasihat terkait hukum ketenagakerjaan, termasuk topik yang dibahas dalam artikel ini, kepada banyak klien di dalam negeri Jepang. Di kantor kami, terdapat beberapa anggota yang memiliki kualifikasi sebagai pengacara asing dan fasih berbahasa Inggris, yang juga menguasai tantangan unik yang dihadapi oleh perusahaan yang melakukan ekspansi bisnis secara internasional. Kami mampu menyediakan dukungan hukum yang komprehensif, mulai dari pembangunan sistem kepatuhan terhadap regulasi ketenagakerjaan Jepang yang kompleks, penilaian risiko tenaga kerja, hingga penanganan kasus-kasus konkret.

Managing Attorney: Toki Kawase

The Editor in Chief: Managing Attorney: Toki Kawase

An expert in IT-related legal affairs in Japan who established MONOLITH LAW OFFICE and serves as its managing attorney. Formerly an IT engineer, he has been involved in the management of IT companies. Served as legal counsel to more than 100 companies, ranging from top-tier organizations to seed-stage Startups.

Kembali ke atas