MONOLITH LAW OFFICE+81-3-6262-3248Hari kerja 10:00-18:00 JST [English Only]

MONOLITH LAW MAGAZINE

General Corporate

Kerangka Hukum Bisnis Perantara di Hukum Dagang Jepang: Kewajiban dan Hak-hak Mediator

General Corporate

Kerangka Hukum Bisnis Perantara di Hukum Dagang Jepang: Kewajiban dan Hak-hak Mediator

Dalam transaksi bisnis di Jepang, peran mediator spesialis sangat penting di berbagai bidang seperti real estat, asuransi, M&A, dan pelayaran. Keberadaan para ahli yang disebut ‘makelar(nakadachi-nin)’ atau mediator ini sangatlah krusial untuk memperlancar transaksi tersebut. Namun, mediator bukan sekadar perantara atau pembantu negosiasi. Hukum Komersial Jepang mendefinisikan kegiatan mediator sebagai ‘usaha makelar(nakadachi eigyo)’ dan menetapkan secara rinci tentang status, kewajiban, dan hak-hak mereka. Kerangka hukum ini dirancang untuk memastikan transparansi dan keadilan dalam transaksi serta melindungi kepentingan kedua belah pihak yang terlibat. Terutama saat menggunakan mediator di pasar Jepang dalam pengembangan bisnis internasional, memahami status hukum khusus ini menjadi kunci untuk menghindari risiko yang tidak terduga dan membawa transaksi ke arah kesuksesan. Memahami dengan tepat kepada siapa mediator bertanggung jawab, kapan mereka dapat menuntut pembayaran, dan di bawah kondisi apa, sangat penting dalam merumuskan strategi kontrak. Artikel ini akan memulai dengan mendefinisikan mediator dalam Hukum Komersial Jepang, kemudian membedakan mereka dari agen komersial dan karyawan komersial lainnya. Selanjutnya, kami akan menjelaskan secara rinci tentang sifat hukum kontrak mediator, kewajiban khusus yang diberikan kepada mereka, syarat-syarat untuk menuntut pembayaran, dan pembatasan kontrak diri, dengan mengacu pada peraturan hukum dan contoh kasus pengadilan yang spesifik.

Apa Itu Perantara dalam Hukum Dagang Jepang?

Artikel 543 dari Hukum Dagang Jepang mendefinisikan “perantara” sebagai “orang yang menjalankan bisnis sebagai perantara dalam transaksi komersial antar pihak” . Definisi ini mencakup beberapa elemen penting untuk memahami status hukum perantara. Pertama, perantara memediasi transaksi “antar pihak”, yang berarti mereka tidak menjadi pihak dalam kontrak, melainkan berperan sebagai pihak ketiga yang netral untuk membantu tercapainya kesepakatan antara dua belah pihak. Kedua, objek mediasi harus merupakan “transaksi komersial”. Misalnya, jika isi mediasi bukan transaksi komersial, seperti perantara pernikahan, maka mereka tidak dianggap sebagai perantara komersial tetapi perantara sipil, dan ketentuan ketat Hukum Dagang Jepang tentang bisnis perantaraan tidak berlaku secara langsung .

Hukum Dagang Jepang juga menetapkan berbagai peran yang membantu transaksi, dan memahami perbedaan khususnya antara “agen” dan “grosir” sangat penting dalam praktik bisnis.

Agen adalah orang yang secara berkelanjutan mewakili atau memediasi transaksi yang termasuk dalam kategori bisnis tertentu atas nama pedagang tertentu . Berbeda dengan perantara yang bekerja untuk pihak yang tidak ditentukan dalam transaksi individu, agen memiliki hubungan berkelanjutan dengan pedagang tertentu .

Di sisi lain, grosir adalah orang yang menjalankan bisnis dengan menjual atau membeli barang atas nama sendiri untuk orang lain . Berbeda dengan perantara yang tidak menjadi pihak dalam transaksi, grosir menandatangani kontrak atas nama mereka sendiri, dan efek hukum dari kontrak tersebut berlaku untuk mereka sendiri.

Memahami perbedaan ini sangat penting untuk memilih perantara yang tepat saat berbisnis di Jepang dan untuk memahami dengan benar lingkup wewenang dan tanggung jawab mereka.

Status HukumHubungan dengan PihakNama dalam TransaksiLingkup AktivitasKewajiban Hukum Utama
PerantaraKontrak individu dengan pihak yang tidak ditentukanTidak menjadi pihak dalam transaksiMediasi transaksi komersial antar pihakNetralitas, kewajiban penyerahan dokumen kontrak
AgenKontrak berkelanjutan dengan pedagang tertentuAtas nama pedagang atau sebagai wakilWakil atau mediasi untuk pedagang tertentuKewajiban setia kepada pedagang
GrosirKontrak individu dengan pemberi tugasAtas nama sendiriPenjualan atau pembelian barang atas perhitungan orang lainKewajiban pengelolaan yang baik, tanggung jawab pelaksanaan

Sifat Hukum dan Pembentukan Kontrak Perantara di Bawah Hukum Jepang

Kontrak perantara yang disepakati saat menggunakan jasa perantara umumnya diklasifikasikan sebagai “kontrak kuasi-mandat” menurut hukum perdata Jepang. Berbeda dengan kontrak mandat yang menugaskan “tindakan hukum” seperti penandatanganan kontrak, kontrak kuasi-mandat bertujuan untuk menugaskan “tindakan faktual” yang bukan merupakan tindakan hukum. Karena tugas utama perantara adalah memfasilitasi negosiasi antara para pihak dan membantu pembentukan kontrak, yang merupakan tindakan faktual, maka kontrak ini sesuai dengan konsep kontrak kuasi-mandat.

Sebagai kontrak kuasi-mandat, kewajiban paling mendasar yang harus dipenuhi oleh perantara adalah “kewajiban perhatian administrator yang baik” (kewajiban perhatian yang baik) yang berasal dari Pasal 644 KUH Perdata Jepang. Ini merupakan kewajiban bagi perantara untuk melaksanakan tugas perantaraan dengan tingkat perhatian yang diharapkan secara objektif sesuai dengan profesi atau posisi profesionalnya.

Sifat hukum ini memiliki arti penting dalam praktik. Kontrak kuasi-mandat tidak menjamin penyelesaian ‘hasil’ tertentu, melainkan bertujuan untuk pelaksanaan ‘proses’ yang tepat. Oleh karena itu, perantara tidak memiliki kewajiban untuk menjamin pembentukan transaksi. Sebaliknya, perantara diharuskan untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuan profesionalnya untuk berupaya dengan tulus demi tercapainya kesepakatan kontrak. Hal ini jelas berbeda dengan kontrak pengadaan, di mana pembayaran dilakukan atas penyelesaian hasil kerja. Karena itu, sangat penting untuk menentukan secara jelas dalam kontrak ruang lingkup tugas yang harus dilakukan oleh perantara, frekuensi kewajiban pelaporan, dan kondisi terjadinya pembayaran (misalnya, apakah berbasis pada keberhasilan transaksi atau berdasarkan waktu aktivitas) untuk menghindari sengketa di kemudian hari.

Kewajiban Khusus yang Dipikul oleh Perantara di Bawah Hukum Perdagangan Jepang

Hukum Perdagangan Jepang tidak hanya menetapkan kewajiban umum untuk bertindak dengan kehati-hatian yang baik, tetapi juga memberlakukan beberapa kewajiban khusus kepada perantara dengan tujuan untuk memastikan kejelasan transaksi dan melindungi para pihak yang terlibat. Kewajiban-kewajiban ini merupakan ketentuan penting untuk menjamin integritas bisnis perantaraan.

Pertama, ada ‘kewajiban penyimpanan sampel’. Jika perantara menerima sampel terkait dengan transaksi yang dimediasi, perantara tersebut wajib menyimpan sampel tersebut hingga transaksi selesai (Pasal 545 Hukum Perdagangan Jepang). Hal ini memungkinkan sampel tersebut menjadi bukti jika kemudian muncul perselisihan mengenai kualitas barang.

Kedua, salah satu kewajiban yang paling penting adalah ‘kewajiban pemberian dokumen kontrak’ (Pasal 546 Hukum Perdagangan Jepang). Ketika kontrak tercapai melalui perantaraan perantara, perantara tersebut harus segera membuat dokumen tertulis (dokumen kontrak) yang mencantumkan nama atau nama perusahaan para pihak kontrak, tanggal kontrak, dan rincian kontrak, lalu menandatangani atau memberi cap pada dokumen tersebut dan memberikannya kepada setiap pihak yang terlibat. Dokumen kontrak ini menjadi catatan resmi yang membuktikan tercapainya kontrak dan memainkan peran sentral dalam mengklarifikasi isi transaksi.

Ketiga, ditetapkan ‘kewajiban terkait buku besar’ (Pasal 547 Hukum Perdagangan Jepang). Perantara harus mencatat isi kontrak yang dimediasi dalam buku besar berdasarkan dokumen kontrak dan menyimpannya. Selain itu, para pihak kontrak memiliki hak kapan saja untuk meminta salinan buku besar yang berkaitan dengan transaksi mereka.

Terakhir, dalam situasi khusus muncul ‘kewajiban untuk merahasiakan nama dan informasi lainnya’ serta ‘kewajiban intervensi’ yang terkait. Jika salah satu pihak meminta perantara untuk tidak mengungkapkan nama atau nama perusahaan mereka kepada pihak lain, perantara harus mengikuti instruksi tersebut (Pasal 548 Hukum Perdagangan Jepang). Namun, ketika anonimitas salah satu pihak dipertahankan seperti ini, sebagai konsekuensi hukumnya, perantara memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan kontrak menggantikan pihak anonim tersebut terhadap pihak lain (Pasal 549 Hukum Perdagangan Jepang). Ini disebut ‘kewajiban intervensi’ atau ‘tanggung jawab pelaksanaan’, dan merupakan risiko besar yang diambil oleh perantara sebagai ganti dari memperbolehkan anonimitas. Perantara tidak hanya sekedar merahasiakan informasi, tetapi juga menjamin pelaksanaan transaksi itu sendiri.

Hak Tuntutan Imbalan bagi Perantara di Bawah Hukum Jepang

Sebagai pedagang, perantara memiliki hak umum untuk menuntut imbalan yang layak atas tindakan yang dilakukan untuk orang lain dalam lingkup bisnisnya, berdasarkan Pasal 512 dari Hukum Dagang Jepang. Namun, terkait dengan bisnis perantaraan, Pasal 550 dari Hukum Dagang Jepang menetapkan persyaratan yang lebih spesifik mengenai hak untuk menuntut imbalan tersebut.

Persyaratan paling penting adalah bahwa hak untuk menuntut imbalan harus erat kaitannya dengan pemenuhan kewajiban perantara. Pasal 550 Ayat (1) Hukum Dagang Jepang menentukan bahwa perantara hanya dapat menuntut imbalan setelah menyelesaikan prosedur terkait kewajiban penyerahan dokumen kontrak (Pasal 546 Hukum Dagang Jepang). Ini menunjukkan bahwa perantara berhak mendapatkan imbalan hanya setelah memainkan peran publik penting dalam memastikan terbentuknya dan kejelasan isi transaksi. Perantara yang mengabaikan kewajiban proseduralnya dapat kehilangan haknya untuk menuntut imbalan secara hukum, meskipun usahanya telah menghasilkan terbentuknya kontrak.

Selanjutnya, Pasal 550 Ayat (2) Hukum Dagang Jepang menetapkan bahwa, kecuali ada kesepakatan khusus antara para pihak, kedua belah pihak dalam kontrak harus memikul imbalan dengan proporsi yang sama. Ketentuan ini mencerminkan prinsip hukum bahwa perantara harus bertindak secara netral dan tidak memihak salah satu pihak dalam melakukan perantaraan.

Lebih lanjut, yurisprudensi Jepang menuntut adanya ‘hubungan sebab akibat yang wajar’ antara tindakan perantaraan dan terbentuknya kontrak agar hak tuntutan imbalan dapat diakui. Sebagai contoh penting dari yurisprudensi ini adalah putusan Mahkamah Agung Jepang tanggal 22 Oktober 1970. Dalam kasus tersebut, seorang agen real estat yang sedang memajukan perantaraan transaksi properti secara sengaja dikeluarkan dari tahap negosiasi kontrak akhir oleh para pihak, yang kemudian menandatangani kontrak secara langsung. Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa meskipun perantara tidak hadir pada saat penandatanganan kontrak, jika aktivitas perantaraannya telah membentuk dasar bagi terbentuknya kontrak dan para pihak secara tidak adil mengeluarkan perantara dengan tujuan menghindari pembayaran imbalan, maka hak tuntutan imbalan perantara masih harus diakui. Putusan ini menunjukkan sikap yudisial yang mendukung penilaian yang adil atas kontribusi perantara dan perlindungan hak-haknya.

Pembatasan Kontrak Diri dan Perwakilan Ganda di Bawah Hukum Jepang

Posisi hukum seorang perantara didasarkan pada prinsip netralitas dan keadilan. Dari prinsip ini, muncul pembatasan penting terhadap kontrak diri dan perwakilan ganda.

Dalam hukum komersial Jepang, tidak ada ketentuan eksplisit yang secara langsung melarang kontrak diri oleh perantara. Namun, larangan ini secara logis dapat diturunkan dari definisi perantara itu sendiri dalam Pasal 543 dari Hukum Komersial Jepang. Perantara didefinisikan sebagai orang yang memediasi transaksi komersial ‘antara orang lain’, dan menjadi salah satu pihak dalam kontrak sebagai ‘orang lain’ tersebut adalah sesuatu yang tidak mungkin menurut definisi. Keterlibatan perantara sebagai pihak dalam transaksi yang dimediasinya merupakan penyerahan total posisi netral dan merupakan contoh klasik konflik kepentingan. Oleh karena itu, kontrak diri dianggap tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan peran esensial perantara.

Istilah ‘perwakilan ganda’ sering kali dapat menimbulkan kesalahpahaman. Perwakilan ganda yang pada prinsipnya dilarang oleh Hukum Perdata Jepang adalah ketika satu agen menjadi wakil dari kedua pihak dalam kontrak. Namun, peran perantara pada dasarnya adalah untuk berdiri di antara kedua belah pihak dan memediasi transaksi. Berbeda dengan agen yang bertindak semata-mata untuk memaksimalkan keuntungan salah satu pihak, perantara memiliki peran untuk menyesuaikan kepentingan kedua belah pihak demi tercapainya transaksi yang adil dan lancar.

Perbedaan ini menjadi lebih jelas ketika membandingkan peran penasihat dalam transaksi M&A modern. ‘Perusahaan perantara’ dalam M&A mirip dengan perantara dalam hukum komersial Jepang, yang berdiri di antara penjual dan pembeli, bertindak netral dalam menyampaikan informasi dan mengkoordinasikan negosiasi, dengan tujuan mencapai kesepakatan transaksi. Sebaliknya, ‘Penasehat Keuangan (FA)’ hanya berkontrak dengan salah satu pihak, penjual atau pembeli, dan bertugas untuk memaksimalkan keuntungan klien tersebut. FA berposisi mirip dengan agen dan kewajibannya hanya ditujukan kepada satu pihak saja.

Oleh karena itu, ketika sebuah perusahaan di Jepang ingin menggunakan jasa perantara, sangat penting untuk memperjelas tujuannya. Jika yang dicari adalah peran koordinasi yang netral, maka perantara atau perusahaan perantara adalah pilihan yang tepat. Namun, jika tujuannya adalah untuk mengejar keuntungan perusahaan secara maksimal melalui agen negosiasi, maka perlu untuk menunjuk agen atau penasihat seperti FA yang bekerja untuk kepentingan satu pihak. Pilihan ini merupakan keputusan hukum penting yang langsung berkaitan dengan sifat dan strategi transaksi.

Kesimpulan

Sistem usaha perantaraan dalam Hukum Dagang Jepang merupakan kerangka kerja yang canggih untuk mengklarifikasi peran perantara dalam transaksi komersial, serta untuk menjamin keadilan dan keamanan transaksi. Perantara bukan sekadar penghubung, melainkan profesional yang memiliki kewajiban prosedural yang ketat seperti kewajiban penyerahan kontrak dan pembuatan buku akuntansi. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan integritas sebagai prasyarat untuk menuntut pembayaran jasa. Selain itu, prinsip netralitas yang diturunkan dari definisi ini mengatur perilaku perantara melalui larangan kontrak diri sendiri, mencegah konflik kepentingan. Memahami regulasi hukum ini penting bagi setiap perusahaan yang melakukan transaksi melalui perantara di Jepang untuk melindungi hak mereka dan memajukan kegiatan bisnis yang lancar.

Kantor hukum kami, Monolith Law Office, memiliki pengalaman luas dalam memberikan nasihat terkait transaksi yang melibatkan Hukum Dagang Jepang, termasuk usaha perantaraan, kepada klien domestik dan internasional. Kami memiliki anggota tim yang tidak hanya berkualifikasi sebagai pengacara Jepang tetapi juga sebagai pengacara asing yang fasih berbahasa Inggris, memungkinkan kami untuk memahami secara akurat masalah hukum yang kompleks dalam transaksi komersial internasional dan menawarkan solusi terbaik untuk bisnis klien. Kami menyediakan dukungan hukum spesialis, mulai dari pembuatan dan tinjauan kontrak perantaraan dan agensi hingga penyelesaian sengketa transaksional.

Managing Attorney: Toki Kawase

The Editor in Chief: Managing Attorney: Toki Kawase

An expert in IT-related legal affairs in Japan who established MONOLITH LAW OFFICE and serves as its managing attorney. Formerly an IT engineer, he has been involved in the management of IT companies. Served as legal counsel to more than 100 companies, ranging from top-tier organizations to seed-stage Startups.

Kembali ke atas