MONOLITH LAW OFFICE+81-3-6262-3248Hari kerja 10:00-18:00 JST [English Only]

MONOLITH LAW MAGAZINE

General Corporate

Pembatasan Hukum dan Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang

General Corporate

Pembatasan Hukum dan Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang

Dalam sistem hukum ketenagakerjaan Jepang, ‘pemutusan hubungan kerja’ atau ‘pemecatan’ oleh pemberi kerja terhadap karyawan diatur dengan sangat ketat dibandingkan dengan banyak sistem hukum negara lain. Terutama karena sejarah yang berkembang dengan asumsi adanya sistem kepegawaian seumur hidup, ide untuk melindungi pekerjaan karyawan sangat kuat, sehingga penggunaan hak pemecatan oleh pemberi kerja dihadapkan pada hambatan yang tinggi. Memahami kerangka hukum ini merupakan bagian penting dari manajemen risiko yang esensial dalam mengembangkan bisnis di Jepang. Hukum Kontrak Kerja Jepang menetapkan bahwa pemecatan dianggap tidak sah jika ‘tidak memiliki alasan yang objektif dan rasional serta tidak dianggap wajar menurut norma sosial’. Ini dikenal sebagai ‘prinsip penyalahgunaan hak pemecatan’ dan merupakan prinsip inti dalam menilai keabsahan pemecatan. Prinsip ini menanyakan keadilan dari alasan pemecatan itu sendiri (pembatasan substantif). Selain itu, Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang juga menetapkan regulasi spesifik mengenai prosedur (pembatasan prosedural) yang harus diikuti ketika melakukan pemecatan, khususnya kewajiban memberikan pemberitahuan 30 hari sebelumnya atau pembayaran kompensasi pengganti. Artikel ini akan menjelaskan secara rinci aturan pemecatan dalam hukum ketenagakerjaan Jepang dari kedua aspek, substantif dan prosedural, dengan menyertakan contoh kasus pengadilan yang spesifik.

Prinsip Dasar Pemutusan Hubungan Kerja dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang

Mengawali dengan memahami konsep dan jenis-jenis pemutusan hubungan kerja merupakan langkah pertama dalam memahami batasan hukum yang berlaku. Dalam hukum ketenagakerjaan Jepang, ‘pemutusan hubungan kerja’ merujuk pada tindakan yang mengakhiri kontrak kerja berdasarkan pernyataan sepihak dari pihak pengguna tenaga kerja . Hal ini berbeda dengan ‘pengunduran diri atas kesepakatan bersama’ yang terjadi atas persetujuan antara pekerja dan pengguna tenaga kerja, serta ‘pengunduran diri sukarela’ yang dilakukan berdasarkan keinginan pekerja itu sendiri.

Dalam praktik, pemutusan hubungan kerja dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis utama berdasarkan alasannya.

Pertama adalah ‘pemutusan hubungan kerja biasa’. Ini adalah pemutusan yang dilakukan karena alasan yang berkaitan dengan pekerja, seperti kurangnya kemampuan, kinerja kerja yang buruk, kurangnya kerjasama, atau penurunan kemampuan kerja akibat penyakit atau cedera . Artikel ini akan terutama menjelaskan batasan hukum yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja biasa.

Kedua adalah ‘pemutusan hubungan kerja disipliner’. Ini adalah tindakan yang diambil sebagai hukuman terberat ketika pekerja melakukan pelanggaran disiplin yang serius dan mengganggu tatanan perusahaan secara signifikan (seperti penggelapan dalam pekerjaan atau tindakan pelecehan yang serius) . Pemutusan hubungan kerja disipliner, karena sifatnya, memerlukan penilaian keabsahan yang lebih ketat dibandingkan dengan pemutusan hubungan kerja biasa.

Ketiga adalah ‘pemutusan hubungan kerja struktural’. Ini merujuk pada pemutusan yang dilakukan karena kebutuhan pengurangan tenaga kerja yang timbul dari kondisi seperti penurunan kinerja perusahaan . Karena pemutusan hubungan kerja struktural tidak disebabkan oleh pekerja, penilaian keabsahannya memerlukan kriteria khusus dan ketat, namun tidak akan dibahas dalam artikel ini.

Pembatasan Substansial Pemutusan Hubungan Kerja: Prinsip Penyalahgunaan Hak Pemutusan Hubungan Kerja di Jepang

Inti dari regulasi pemutusan hubungan kerja di Jepang adalah “prinsip penyalahgunaan hak pemutusan hubungan kerja”. Prinsip ini terbentuk dari tumpukan kasus hukum selama bertahun-tahun dan kini telah dijelaskan secara eksplisit dalam Pasal 16 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang. Pasal tersebut menyatakan, “Pemutusan hubungan kerja yang tidak memiliki alasan yang objektif dan rasional serta tidak dianggap wajar menurut norma sosial, dianggap sebagai penyalahgunaan hak dan oleh karena itu tidak sah”. Pasal ini menunjukkan bahwa agar pemutusan hubungan kerja dianggap sah, harus memenuhi kedua kriteria yaitu “alasan yang objektif dan rasional” serta “kewajaran menurut norma sosial”.

Alasan yang Objektif dan Rasional

“Alasan yang objektif dan rasional” dalam konteks hukum ketenagakerjaan di Jepang mengacu pada alasan yang dapat diterima sebagai sah dan masuk akal bahkan dari perspektif pihak ketiga. Secara spesifik, hal ini dapat mencakup kekurangan kemampuan atau performa yang buruk dari pekerja, sikap kerja yang tidak memuaskan, atau pelanggaran kewajiban yang tercantum dalam kontrak kerja. Namun, keberadaan fakta-fakta tersebut saja tidak langsung mengesahkan rasionalitas pemecatan. Pengadilan akan secara ketat menilai apakah pemberi kerja telah melakukan upaya yang cukup sebelum mengambil langkah terakhir yaitu pemecatan.

Sebagai contoh kasus yang menggambarkan poin ini, kita dapat melihat keputusan pengadilan pada kasus IBM Jepang (Tokyo District Court, 28 Maret 2016). Dalam kasus ini, seorang karyawan yang telah lama bekerja dipecat dengan alasan kurangnya kemampuan. Namun, pengadilan memutuskan pemecatan tersebut tidak sah karena perusahaan tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi karyawan untuk memperbaiki kinerjanya dan juga tidak mempertimbangkan langkah-langkah lain untuk menghindari pemecatan, seperti penempatan ulang ke departemen lain yang lebih sesuai.

Demikian pula, kasus Bloomberg L.P. (Tokyo District Court, 5 Oktober 2012) memberikan petunjuk penting. Dalam kasus ini, seorang karyawan dipecat karena tidak memenuhi target dari rencana peningkatan kinerja (Performance Improvement Plan, PIP). Namun, pengadilan menilai bahwa target dan bimbingan yang diberikan oleh perusahaan terlalu abstrak, dan perusahaan tidak memberikan dukungan yang cukup agar karyawan dapat memahami secara spesifik apa yang harus diperbaiki.

Dari kasus-kasus tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pengadilan di Jepang secara faktual mengharuskan pemberi kerja tidak hanya menunjukkan masalah, tetapi juga secara proaktif mendorong perbaikan dan mencari alternatif lain. Pemberi kerja diharapkan untuk menggunakan wewenangnya dalam penempatan dan tugas kerja karyawan untuk berupaya menghindari pemecatan. Pemecatan yang dilakukan tanpa mencoba alternatif lain seperti penempatan ulang atau pelatihan ulang, bahkan jika didasarkan pada fakta kekurangan kemampuan, memiliki risiko tinggi untuk dianggap tidak memiliki “alasan yang objektif dan rasional”.

Kesesuaian Menurut Norma Sosial di Jepang

Meskipun ada alasan objektif yang rasional untuk pemecatan, jika tindakan tersebut tidak dianggap “sesuai dengan norma sosial”, maka pemecatan tersebut tetap dapat dianggap tidak sah. Ini adalah penilaian apakah tindakan pemecatan seimbang dengan tingkat keparahan perilaku atau kejadian yang menjadi masalah, yaitu apakah hukumannya terlalu berat atau tidak.

Dalam menentukan kesesuaian menurut norma sosial, pengadilan akan mempertimbangkan berbagai faktor secara komprehensif. Ini termasuk sifat dan cara perilaku bermasalah, tingkat kerugian yang ditimbulkan kepada perusahaan, sikap kerja dan kontribusi karyawan di masa lalu, adanya penyesalan, dan keseimbangan dengan hukuman yang diberikan kepada karyawan lain di masa lalu.

Kerangka penilaian ini didirikan melalui kasus Kochi Broadcasting (Putusan Mahkamah Agung Jepang, 31 Januari 1977 (Showa 52)). Dalam kasus ini, seorang penyiar dipecat karena tertidur dan menyebabkan insiden siaran. Meskipun insiden siaran dapat menjadi alasan objektif untuk pemecatan, Mahkamah Agung mempertimbangkan secara komprehensif bahwa 1) insiden tersebut disebabkan oleh kelalaian tanpa niat jahat, 2) ada tanggung jawab juga pada pihak lain yang terlibat, 3) sikap kerja penyiar tersebut umumnya baik, 4) ada kekurangan dalam sistem manajemen perusahaan, dan 5) hukumannya terlalu berat dibandingkan dengan kasus serupa di masa lalu, sehingga memutuskan bahwa pemecatan tersebut terlalu keras dan tidak sesuai dengan norma sosial, dan oleh karena itu tidak sah.

Di sisi lain, penilaian kesesuaian menurut norma sosial juga dapat dipengaruhi oleh skala perusahaan. Dalam kasus Negishi (Putusan Pengadilan Tinggi Tokyo, 24 November 2016 (Heisei 28)), perusahaan memecat seorang karyawan karena perilaku yang tidak kooperatif menyebabkan beberapa karyawan paruh waktu mengundurkan diri. Pengadilan Tinggi memutuskan pemecatan ini sah. Dalam keputusannya, pengadilan menekankan bahwa perusahaan adalah entitas bisnis kecil dengan hanya sekitar selusin karyawan, dan solusi masalah melalui perubahan penempatan secara praktis sulit, menunjukkan bahwa dalam perusahaan kecil, pilihan pemecatan dapat dianggap tidak terelakkan meskipun dalam perusahaan besar, perubahan penempatan mungkin diperlukan sebagai upaya untuk menghindari pemecatan.

Perbandingan Pemutusan Hubungan Kerja Biasa dan Pemutusan Hubungan Kerja Disipliner di Jepang

Memahami batasan hukum dari pemutusan hubungan kerja biasa sangat penting, dan mengetahui perbedaannya dengan pemutusan hubungan kerja disipliner merupakan hal yang krusial. Kedua tindakan tersebut sama-sama mengakhiri kontrak kerja, namun memiliki perbedaan besar dalam sifat hukum, persyaratan, dan efeknya.

Pemutusan hubungan kerja biasa adalah pengakhiran kontrak karena alasan seperti ketidakcukupan kemampuan atau sikap kerja yang buruk, yang merupakan pelaksanaan kewajiban penyediaan tenaga kerja berdasarkan kontrak kerja yang tidak sempurna (wanprestasi). Sebaliknya, pemutusan hubungan kerja disipliner memiliki sifat sebagai hukuman atas pelanggaran serius terhadap tata tertib perusahaan.

Dari perbedaan sifat ini, muncul beberapa perbedaan penting. Pertama, kebutuhan dasar pada peraturan perusahaan. Pemutusan hubungan kerja disipliner adalah hukuman, sehingga harus ada dasar yang jelas mengenai alasan disipliner dan jenis sanksi dalam peraturan perusahaan agar dapat dilaksanakan. Di sisi lain, untuk pemutusan hubungan kerja biasa, secara teoritis cukup jika ada ketentuan umum mengenai alasan pemutusan dalam peraturan perusahaan.

Kedua, ketatnya pemeriksaan pengadilan. Karena pemutusan hubungan kerja disipliner memberikan kerugian yang sangat besar bagi pekerja, pengadilan cenderung menerapkan doktrin penyalahgunaan hak pemutusan kerja dengan lebih ketat dibandingkan dengan pemutusan hubungan kerja biasa.

Ketiga, pengaruh terhadap uang pesangon. Dalam kasus pemutusan hubungan kerja biasa, pembayaran uang pesangon adalah sesuai dengan peraturan perusahaan sebagai prinsip, namun dalam kasus pemutusan hubungan kerja disipliner, bisa jadi seluruh atau sebagian uang pesangon tidak dibayarkan berdasarkan ketentuan peraturan perusahaan.

Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan-perbedaan tersebut.

FiturPemutusan Hubungan Kerja BiasaPemutusan Hubungan Kerja Disipliner
Sifat HukumPengakhiran Kontrak KerjaHukuman
Dasar pada Peraturan PerusahaanTidak wajib, namun biasanya mencantumkan alasanWajib memiliki ketentuan yang jelas sebagai alasan disipliner
Ketatnya Penilaian KeabsahanKetatLebih Ketat
Pengaruh terhadap Uang PesangonSecara prinsip dibayarkan sesuai peraturanSeringkali tidak dibayarkan atau dikurangi

Regulasi Prosedural Pemutusan Hubungan Kerja di Jepang

Agar pemutusan hubungan kerja (PHK) dianggap sah, selain memenuhi persyaratan substantif yang telah disebutkan sebelumnya, perlu juga untuk mematuhi regulasi prosedural yang ditetapkan oleh hukum.

Pemberitahuan PHK dan Tunjangan Pemberitahuan PHK

Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang Pasal 20 menetapkan aturan utama mengenai prosedur yang harus diikuti oleh pengusaha ketika ingin melakukan PHK. Menurut pasal ini, pengusaha harus memberikan pemberitahuan setidaknya 30 hari sebelum melakukan PHK.

Jika pemberitahuan tidak diberikan 30 hari sebelumnya, pengusaha harus membayar tunjangan pemberitahuan PHK yang setara dengan gaji rata-rata selama 30 hari atau lebih. Selain itu, dimungkinkan untuk mempersingkat jumlah hari pemberitahuan, dan dalam kasus tersebut, pengusaha harus membayar tunjangan pemberitahuan PHK untuk jumlah hari yang kurang dari 30 hari. Misalnya, jika pemberitahuan diberikan 10 hari sebelumnya, maka pengusaha harus membayar tunjangan pemberitahuan PHK untuk 20 hari.

Periode 30 hari ini dihitung mulai dari hari berikutnya setelah pemberitahuan diberikan, termasuk hari libur. Untuk menghindari masalah, sangat disarankan untuk memberikan pemberitahuan PHK secara tertulis (surat pemberitahuan PHK) yang mencantumkan tanggal PHK dan alasan PHK.

Yang sangat penting di sini adalah, meskipun prosedur pemberitahuan PHK telah diikuti, bukan berarti PHK itu sendiri menjadi sah. Sistem pemberitahuan PHK bertujuan untuk memberikan waktu dan kelonggaran ekonomi kepada pekerja yang akan di-PHK untuk mencari pekerjaan baru, dan merupakan regulasi prosedural semata. Keabsahan PHK itu sendiri ditentukan oleh persyaratan substantif yang telah disebutkan sebelumnya dalam Pasal 16 Undang-Undang Kontrak Kerja, yaitu ‘alasan yang objektif dan rasional’ serta ‘kesesuaian dengan norma sosial’. Oleh karena itu, meskipun tunjangan pemberitahuan PHK telah dibayar penuh dan PHK dilakukan segera, jika tidak ada alasan rasional dan kesesuaian, PHK tersebut dapat dianggap tidak sah.

Pemberian Kesempatan untuk Memberikan Penjelasan

Saat melakukan PHK biasa, tidak ada kewajiban eksplisit dalam hukum yang mengharuskan pengusaha memberikan kesempatan kepada pekerja yang bersangkutan untuk menyampaikan pendapat atau membantah (kesempatan untuk memberikan penjelasan). Dalam kasus PHK disipliner, jika ada ketentuan dalam peraturan perusahaan, maka harus diikuti, dan dari sudut pandang prosedur yang tepat, pemberian kesempatan untuk memberikan penjelasan menjadi penting, namun tidak ada ketentuan langsung untuk PHK biasa.

Namun, mengabaikan prosedur ini karena bukan kewajiban hukum sangat berisiko. Pengadilan menekankan pada proses yang hati-hati yang diikuti oleh pengusaha dalam mengambil keputusan penting seperti PHK saat menilai ‘kesesuaian dengan norma sosial’ dari PHK. Jika pengusaha memutuskan untuk melakukan PHK secara sepihak tanpa memberikan kesempatan kepada pekerja untuk memberikan penjelasan, dapat memberikan kesan bahwa pengusaha bertindak tanpa prosedur yang adil dan secara otoriter.

Hasilnya, meskipun alasan PHK memiliki objektivitas tertentu, kurangnya pertimbangan prosedural dapat menjadi faktor penting yang menyebabkan PHK dianggap ‘tidak sesuai dengan norma sosial’ dan oleh karena itu tidak sah. Oleh karena itu, meskipun tidak ada ketentuan hukum yang eksplisit, memberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan adalah suatu kebutuhan faktual untuk memastikan keabsahan PHK, atau dengan kata lain, ‘persyaratan de facto’, dan pelaksanaannya secara hati-hati dapat dianggap sebagai tindakan yang bijaksana.

Kesimpulan

Seperti dijelaskan dalam artikel ini, pemutusan hubungan kerja di bawah sistem hukum ketenagakerjaan Jepang diatur secara ketat baik dari aspek substantif maupun prosedural. Agar pemberi kerja dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja, mereka harus membuktikan bahwa alasan pemutusan tersebut adalah ‘objektif dan rasional’ berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang, dan bahwa tindakan tersebut adalah ‘secara sosial wajar’. Analisis kasus hukum menunjukkan bahwa persyaratan ini sangat tinggi dan pemutusan hubungan kerja harus dianggap sebagai langkah terakhir. Selain itu, pemberi kerja juga harus mematuhi persyaratan prosedural yang ditetapkan oleh Pasal 20 Undang-Undang Standar Ketenagakerjaan Jepang, yaitu pemberitahuan pemutusan hubungan kerja atau pembayaran tunjangan pemberitahuan pemutusan. Memahami kerangka hukum ini dengan akurat dan melakukan pertimbangan serta tindakan yang hati-hati dalam setiap kasus individu adalah kunci untuk menghindari sengketa hukum yang tidak perlu dan mencapai manajemen tenaga kerja yang stabil.

Firma Hukum Monolith memiliki pengetahuan spesialisasi yang mendalam dan pengalaman praktis yang luas dalam hukum ketenagakerjaan Jepang. Khususnya, terkait dengan pembatasan hukum pemutusan hubungan kerja yang dibahas dalam artikel ini, kami telah menyediakan layanan hukum komprehensif kepada banyak klien perusahaan, baik domestik maupun internasional, mulai dari analisis situasi konkret, penilaian risiko, hingga penyusunan strategi penanganan yang tepat. Firma kami juga memiliki beberapa ahli yang merupakan penutur bahasa Inggris dengan kualifikasi hukum asing, memungkinkan kami untuk merespons secara akurat kebutuhan khusus klien dalam lingkungan bisnis internasional. Jika Anda menghadapi masalah kompleks terkait pemutusan hubungan kerja karyawan, silakan konsultasikan dengan kami.

Managing Attorney: Toki Kawase

The Editor in Chief: Managing Attorney: Toki Kawase

An expert in IT-related legal affairs in Japan who established MONOLITH LAW OFFICE and serves as its managing attorney. Formerly an IT engineer, he has been involved in the management of IT companies. Served as legal counsel to more than 100 companies, ranging from top-tier organizations to seed-stage Startups.

Kembali ke atas