Kesetaraan Ketenagakerjaan dalam Hukum Tenaga Kerja Jepang: Kewajiban Hukum Perusahaan Terkait Kesetaraan Gender dan Penyandang Disabilitas

Dalam pengelolaan perusahaan modern, kepatuhan terhadap compliance merupakan elemen kunci untuk menjaga keberlanjutan bisnis dan nilai perusahaan. Khususnya bagi perusahaan yang mengembangkan bisnis secara global, pemahaman mendalam terhadap sistem hukum di masing-masing negara tempat mereka beroperasi, terutama hukum ketenagakerjaan, adalah sangat penting. Sistem hukum ketenagakerjaan di Jepang menekankan pada pemeliharaan kesetaraan dalam pekerjaan sebagai pilar penting dan memberlakukan kewajiban yang ketat kepada perusahaan. Memahami kewajiban hukum ini secara akurat dan merefleksikannya dalam manajemen sumber daya manusia tidak hanya menghindarkan dari risiko konflik hukum, tetapi juga sangat penting dalam membangun lingkungan kerja yang memungkinkan berbagai talenta untuk berkembang dan meningkatkan daya saing perusahaan. Artikel ini akan fokus pada inti dari kesetaraan pekerjaan di bawah hukum ketenagakerjaan Jepang, yaitu kesetaraan antara pria dan wanita serta penghapusan diskriminasi terhadap pekerja penyandang disabilitas. Secara khusus, kami akan menjelaskan secara detail kewajiban hukum yang harus dipatuhi oleh para eksekutif perusahaan dan praktisi hukum terkait dengan empat tema utama: prinsip upah yang sama untuk pria dan wanita sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang (Japanese Labor Standards Act), kesempatan yang sama yang luas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kesempatan Kerja yang Sama bagi Pria dan Wanita di Jepang (Japanese Act on Securing, Etc. of Equal Opportunity and Treatment between Men and Women in Employment), serta larangan terhadap perlakuan diskriminatif dan kewajiban untuk menyediakan akomodasi yang wajar berdasarkan Undang-Undang Promosi Ketenagakerjaan Penyandang Disabilitas di Jepang (Japanese Act on Employment Promotion etc. of Persons with Disabilities), dengan mengacu pada peraturan terkait dan kasus hukum yang ada.
Prinsip Kesetaraan Upah Antara Pria dan Wanita dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang
Dasar Hukum: Pasal 4 Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang
Dalam sistem hukum ketenagakerjaan Jepang, ketentuan paling dasar yang menjamin kesetaraan upah antara pria dan wanita terdapat dalam Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang. Undang-undang ini mengatur kondisi kerja dasar para pekerja, dan Pasal 4-nya secara eksplisit menyatakan, “Pemberi kerja tidak boleh melakukan diskriminasi dalam hal upah terhadap pekerja perempuan dengan alasan bahwa mereka adalah perempuan dibandingkan dengan pria.” Ketentuan ini mewujudkan prinsip “kesetaraan di bawah hukum” yang dijamin oleh Pasal 14 Konstitusi Jepang, dalam bidang pekerjaan, khususnya dalam kondisi kerja yang konkret seperti upah. Tujuannya adalah untuk memperbaiki disparitas upah historis antara pria dan wanita dan meningkatkan status ekonomi pekerja wanita.
Lingkup ‘Perlakuan Diskriminatif’
Lingkup ‘upah’ yang menjadi objek ‘perlakuan diskriminatif’ yang dilarang oleh Pasal 4 Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang sangat luas. Berdasarkan Pasal 11 undang-undang yang sama, tidak hanya gaji pokok, tetapi juga bonus, berbagai tunjangan (seperti tunjangan keluarga dan tunjangan perumahan), dan semua bentuk kompensasi lain yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pekerja, tidak peduli apa namanya, termasuk di dalamnya.
‘Perlakuan diskriminatif’ tidak hanya mencakup perlakuan yang merugikan pekerja wanita dibandingkan dengan pekerja pria, tetapi juga perlakuan yang menguntungkan. Inti dari hukum ini adalah melarang segala bentuk perbedaan yang didasarkan pada jenis kelamin. Namun, prinsip ini tidak melarang semua perbedaan upah. Perbedaan upah yang didasarkan pada alasan yang rasional, seperti isi pekerjaan, keterampilan, efisiensi, pengalaman, dan lama masa kerja pekerja individu, tidak termasuk dalam ‘perlakuan diskriminatif’ yang dilarang oleh Pasal 4. Yang dilarang adalah menetapkan perbedaan upah semata-mata karena pekerja tersebut adalah ‘wanita’.
Analisis Kasus Hukum: Perkara Bank Iwate
Untuk memahami bagaimana prinsip kesetaraan upah antara pria dan wanita ini diterapkan dalam praktik, kasus penting yang dapat dijadikan contoh adalah Perkara Bank Iwate (keputusan Pengadilan Tinggi Sendai tanggal 10 Januari 1992).
Dalam kasus ini, regulasi gaji bank yang menjadi masalah. Bank tersebut memberikan tunjangan keluarga kepada ‘pegawai yang menjadi kepala rumah tangga’, namun jika suami dan istri sama-sama bekerja, bank selalu menganggap suami sebagai kepala rumah tangga tanpa memperhatikan apakah suami memiliki penghasilan atau tidak, dan tidak memberikan tunjangan kepada istri yang merupakan pekerja wanita. Bank berargumen bahwa mereka berdasarkan pada kriteria yang tidak terkait dengan jenis kelamin, yaitu apakah seseorang adalah kepala rumah tangga atau tidak. Namun, pengadilan memutuskan bahwa penerapan kriteria ‘kepala rumah tangga’ ini secara substansial menghasilkan perlakuan yang merugikan pekerja wanita berdasarkan jenis kelamin mereka, dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang.
Kasus ini memberikan petunjuk penting bagi perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia dan tenaga kerja. Meskipun regulasi atau kebijakan internal perusahaan mungkin tampak netral secara gender secara formal, jika penerapan atau efek substansialnya menyebabkan kerugian bagi jenis kelamin tertentu, ada risiko bahwa hal tersebut dapat dianggap sebagai diskriminasi yang ilegal. Perusahaan harus dengan hati-hati mempertimbangkan bukan hanya kata-kata dalam sistem upah atau kriteria pemberian tunjangan yang mereka rancang dan terapkan, tetapi juga dampak nyata yang dihasilkan, dan memastikan bahwa tidak ada diskriminasi yang tidak disengaja yang terjadi.
Pengamanan Kesempatan dan Perlakuan yang Setara Antara Pria dan Wanita di Bawah Hukum Jepang
Dasar Hukum: Undang-Undang Kesempatan Kerja yang Sama antara Pria dan Wanita di Jepang
Undang-Undang yang menjadi dasar utama dalam memastikan kesetaraan antara pria dan wanita di berbagai tahapan manajemen pekerjaan selain gaji adalah “Undang-Undang Kesempatan Kerja yang Sama dan Perlakuan yang Sama antara Pria dan Wanita di Bidang Pekerjaan”, yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Kesempatan Kerja yang Sama antara Pria dan Wanita di Jepang. Undang-Undang ini melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin di semua aspek pekerjaan, mulai dari perekrutan dan penerimaan pekerja hingga pengunduran diri dan pemecatan.
Larangan Diskriminasi Langsung
Pasal 5 dan Pasal 6 dari Undang-Undang Kesempatan Kerja yang Sama bagi Pria dan Wanita di Jepang secara eksplisit melarang perlakuan diskriminatif yang didasarkan langsung pada jenis kelamin. Tindakan yang dilarang secara spesifik diilustrasikan secara rinci dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, dan perusahaan-perusahaan harus dengan tegas menghindari tindakan-tindakan tersebut.
Dalam proses rekrutmen dan perekrutan, tindakan seperti mengecualikan salah satu jenis kelamin dari target rekrutmen (contoh: “hanya mencari pria untuk posisi penjualan”), menetapkan syarat perekrutan yang berbeda antara pria dan wanita (contoh: menetapkan syarat belum menikah hanya untuk wanita), atau hanya menanyakan rencana pernikahan dan kelahiran anak kepada wanita saat wawancara kerja, semuanya dilarang.
Dalam penempatan, promosi, dan pelatihan pendidikan, tindakan seperti membatasi penempatan pada tugas-tugas tertentu (contoh: tugas inti) hanya untuk pria, menetapkan kriteria promosi yang berbeda antara pria dan wanita, atau tidak memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan pengembangan manajerial kepada salah satu jenis kelamin, merupakan contoh pelanggaran yang khas.
Terkait dengan kesejahteraan karyawan, menetapkan kondisi yang berbeda antara pria dan wanita dalam hal pemberian pinjaman perumahan atau dana hidup juga tidak diperbolehkan.
Selanjutnya, dalam situasi yang berkaitan dengan pengakhiran hubungan kerja seperti dorongan pensiun, usia pensiun, pemutusan hubungan kerja, dan perpanjangan kontrak kerja, diskriminasi berdasarkan jenis kelamin sangat dilarang. Sebagai contoh, hanya menargetkan wanita untuk dorongan pensiun saat rasionalisasi manajemen atau menetapkan usia pensiun yang berbeda antara pria dan wanita adalah ilegal. Pada masa lalu, ada praktik yang menetapkan usia pensiun yang berbeda antara pria dan wanita, namun pengadilan telah memutuskan bahwa praktik semacam itu bertentangan dengan ketertiban umum dan moral yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 90 KUH Perdata Jepang dan oleh karena itu tidak sah (seperti dalam putusan Mahkamah Agung Jepang tanggal 12 Maret 1979 (1980)).
Larangan Diskriminasi Tidak Langsung di Bawah Hukum Jepang
Undang-Undang Kesempatan Kerja yang Sama bagi Pria dan Wanita di Jepang tidak hanya melarang diskriminasi langsung, tetapi juga bentuk diskriminasi yang lebih halus, yaitu ‘diskriminasi tidak langsung’. Diskriminasi tidak langsung, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Kesempatan Kerja yang Sama bagi Pria dan Wanita Jepang, adalah tindakan yang, meskipun berdasarkan faktor selain jenis kelamin, pada akhirnya memberikan kerugian yang signifikan kepada salah satu jenis kelamin dan tidak memiliki alasan yang rasional. Ketentuan ini unik karena fokus pada ‘dampak’ yang dihasilkan oleh kebijakan perusahaan, tanpa memandang apakah niat perusahaan tersebut diskriminatif atau tidak.
Saat ini, berdasarkan peraturan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, ada tiga tindakan yang secara spesifik diidentifikasi sebagai potensi diskriminasi tidak langsung:
- Menetapkan persyaratan tinggi badan, berat badan, atau kekuatan fisik dalam perekrutan atau penempatan pekerja.
- Menetapkan persyaratan untuk dapat menerima penugasan yang melibatkan relokasi dalam perekrutan atau penempatan pekerja, promosi, atau perubahan jenis pekerjaan.
- Menetapkan persyaratan pengalaman relokasi dalam promosi pekerja.
Misalnya, pertimbangkan sebuah perusahaan yang beroperasi secara nasional dan menetapkan ‘pengalaman relokasi’ sebagai syarat untuk promosi ke posisi manajerial. Secara formal, persyaratan ini tidak membedakan jenis kelamin. Namun, secara umum, wanita yang seringkali memiliki tanggung jawab lebih besar dalam pengasuhan anak atau perawatan anggota keluarga di rumah, mungkin akan lebih sulit memenuhi persyaratan ini dibandingkan dengan pria. Jika perusahaan tidak dapat membuktikan bahwa pengalaman relokasi adalah benar-benar esensial untuk pelaksanaan tugas manajerial dari sudut pandang objektif, maka persyaratan ini dapat dianggap sebagai diskriminasi tidak langsung yang ilegal. Dengan demikian, perusahaan diharuskan untuk selalu meninjau kembali rasionalitas dan dampak yang tidak seimbang berdasarkan jenis kelamin dari kebijakan personalia yang secara tradisional dianggap wajar.
Larangan Perlakuan Merugikan Berdasarkan Pernikahan, Kehamilan, Kelahiran, dan Sejenisnya di Jepang
Undang-Undang Kesempatan Kerja yang Sama bagi Pria dan Wanita di Jepang memberikan perlindungan yang kuat terhadap perlakuan merugikan yang sering dihadapi oleh pekerja wanita, seperti yang diatur dalam Pasal 9, terkait pernikahan, kehamilan, kelahiran, atau pengambilan cuti sebelum dan sesudah melahirkan yang ditetapkan oleh hukum. Secara khusus, undang-undang ini melarang pemecatan atau perlakuan merugikan lainnya yang didasarkan pada alasan-alasan tersebut.
‘Perlakuan merugikan’ mencakup tidak hanya pemecatan, tetapi juga degradasi jabatan, pemotongan gaji, penempatan kerja yang merugikan, atau tidak memperbarui kontrak kerja (penghentian pekerjaan).
Yang patut mendapat perhatian khusus adalah ketentuan terkait pemecatan terhadap pekerja wanita yang sedang hamil atau yang belum lewat satu tahun setelah melahirkan. Pemecatan seperti ini dianggap tidak sah kecuali pihak pengusaha dapat membuktikan bahwa pemecatan tersebut tidak didasarkan pada kehamilan atau kelahiran. Ini merupakan pergeseran beban pembuktian ke pihak perusahaan dan merupakan regulasi yang sangat ketat. Ketika perusahaan akan memecat pekerja wanita dalam periode ini, mereka harus dapat membuktikan dengan bukti objektif bahwa alasan pemecatan tidak ada hubungannya dengan kehamilan atau hal-hal terkait, sehingga diperlukan tindakan yang sangat hati-hati.
Larangan Perlakuan Diskriminatif terhadap Penyandang Disabilitas di Jepang
Dasar Hukum: Undang-Undang Promosi Ketenagakerjaan Penyandang Disabilitas di Jepang
Undang-undang dasar yang menjamin kesetaraan dalam pekerjaan bagi orang-orang dengan disabilitas adalah “Undang-Undang tentang Promosi Ketenagakerjaan Penyandang Disabilitas”, atau Undang-Undang Promosi Ketenagakerjaan Penyandang Disabilitas di Jepang. Sejak perubahan undang-undang pada tahun 2013, mulai dari tanggal 1 April 2016, larangan diskriminasi di tempat kerja berdasarkan disabilitas telah menjadi kewajiban hukum bagi para pengusaha.
Undang-undang ini melarang diskriminasi dalam perekrutan dan pengangkatan pekerja sesuai dengan Pasal 34, serta diskriminasi dalam penentuan gaji, pelaksanaan pelatihan pendidikan, penggunaan fasilitas kesejahteraan, dan perlakuan lainnya sesuai dengan Pasal 35. Ketentuan ini berlaku untuk semua pengusaha tanpa memandang ukuran atau jenis usaha mereka.
Contoh Perlakuan Diskriminatif yang Dilarang
Perlakuan diskriminatif yang dilarang oleh undang-undang adalah tindakan yang tanpa alasan yang sah, hanya berdasarkan adanya disabilitas, menghilangkan kesempatan untuk dipekerjakan atau menetapkan kondisi kerja yang merugikan. Secara spesifik, tindakan yang dilarang termasuk menolak aplikasi pekerjaan hanya karena adanya disabilitas atau menetapkan syarat kemampuan yang tidak diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan (contoh: meminta lisensi mengemudi mobil kepada pelamar pekerjaan kantor yang menggunakan kursi roda), yang pada akhirnya mengecualikan penyandang disabilitas.
Setelah dipekerjakan, menetapkan gaji yang lebih rendah hanya berdasarkan disabilitas dibandingkan dengan pekerja tanpa disabilitas yang melakukan pekerjaan yang sama, atau secara otomatis mengecualikan dari kesempatan kenaikan gaji atau promosi, merupakan bentuk diskriminasi yang jelas. Juga dilarang untuk hanya menempatkan penyandang disabilitas pada pekerjaan pendukung tanpa mempertimbangkan kemampuan atau kesesuaian mereka, atau tidak memberikan kesempatan pelatihan pendidikan yang sama dengan yang diterima oleh karyawan lain.
Namun, tindakan untuk secara aktif merekrut penyandang disabilitas, seperti membuat lowongan pekerjaan yang hanya ditujukan untuk penyandang disabilitas, diakui sebagai “Tindakan Korektif Diskriminasi Positif (Positive Action)” yang bertujuan untuk memperbaiki diskriminasi dan tidak termasuk dalam diskriminasi yang dilarang oleh undang-undang.
Kewajiban Menyediakan Akomodasi yang Wajar bagi Penyandang Disabilitas di Bawah Hukum Jepang
Definisi dan Kewajiban ‘Pertimbangan yang Wajar’ di Bawah Hukum Jepang
Undang-Undang Peningkatan Kesempatan Kerja bagi Penyandang Disabilitas di Jepang tidak hanya membatasi kewajiban pada tindakan pasif untuk tidak mendiskriminasi (kewajiban tidak bertindak), tetapi juga memberlakukan kewajiban yang lebih proaktif (kewajiban bertindak) kepada perusahaan. Ini diatur dalam Pasal 36-2, yang merupakan ‘kewajiban untuk memberikan pertimbangan yang wajar’.
‘Pertimbangan yang wajar’ merujuk pada perubahan dan penyesuaian yang diperlukan dan masuk akal yang harus dilakukan oleh pemberi kerja sesuai dengan karakteristik dan situasi individu penyandang disabilitas, agar mereka dapat memiliki kesempatan yang sama dengan pekerja tanpa disabilitas dan dapat mengaktualisasikan kemampuan mereka secara efektif. Ini adalah tindakan konkret untuk menghilangkan hambatan (barrier) di tempat kerja yang disebabkan oleh disabilitas.
Konten pertimbangan yang harus diberikan sangat beragam. Misalnya, termasuk hal-hal berikut:
- Pertimbangan terhadap lingkungan fisik: Menyesuaikan tinggi meja untuk pengguna kursi roda, menghilangkan rintangan di lorong, memasang landai.
- Pertimbangan dalam komunikasi: Mengintegrasikan screen reader (software pembaca layar) untuk pekerja dengan gangguan penglihatan, menggunakan tulisan atau penerjemah bahasa isyarat dalam pertemuan dengan pekerja yang memiliki gangguan pendengaran.
- Perubahan fleksibel dalam aturan dan kebiasaan: Membuat manual kerja yang mudah dipahami dengan menggunakan gambar atau ilustrasi untuk pekerja dengan gangguan mental atau perkembangan, mengizinkan jam kerja yang fleksibel untuk kunjungan dokter, menyediakan tempat istirahat yang tenang untuk meredakan hipersensitivitas.
Pengecualian Kewajiban: ‘Beban yang Berlebihan’
Kewajiban untuk menyediakan akomodasi yang wajar tidaklah tanpa batas. Hukum menetapkan bahwa tidak ada kewajiban untuk menyediakannya jika akomodasi tersebut menimbulkan ‘beban yang berlebihan’ bagi pengusaha.
Apa yang dianggap sebagai ‘beban yang berlebihan’ ditentukan secara objektif dengan mempertimbangkan secara komprehensif faktor-faktor berikut dalam setiap kasus yang berbeda.
- Dampak terhadap aktivitas bisnis (apakah mengganggu produksi atau penyediaan layanan secara signifikan)
- Tingkat kelayakan (keterbatasan fisik dan teknis, keterbatasan sumber daya manusia dan sistem)
- Tingkat biaya dan beban serta kondisi keuangan perusahaan
- Skala perusahaan
- Ketersediaan dukungan publik terkait implementasi tindakan (seperti subsidi)
Yang sangat penting di sini adalah, bahkan jika akomodasi tertentu yang diminta oleh pekerja dengan disabilitas dianggap sebagai ‘beban yang berlebihan’, kewajiban perusahaan tidak berakhir di situ. Dalam hal ini, perusahaan harus menjelaskan kepada individu tersebut mengapa akomodasi tersebut tidak dapat disediakan dan harus mendiskusikan secara menyeluruh apakah ada akomodasi alternatif lain (tindakan dengan beban yang lebih ringan) yang mungkin. Proses ‘dialog konstruktif’ ini sendiri merupakan bagian dari kewajiban yang dituntut oleh hukum. Jika perusahaan secara sepihak menolak untuk menyediakan akomodasi dan mengabaikan proses dialog ini, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran kewajiban hukum. Oleh karena itu, perusahaan perlu menetapkan proses internal yang tulus untuk berdialog dan mencari solusi ketika permintaan akomodasi diajukan.
Perbandingan Antara Larangan Diskriminasi dan Kewajiban Akomodasi yang Wajar
Dua kewajiban hukum utama perusahaan terkait dengan perekrutan penyandang disabilitas di Jepang, yaitu “Larangan Perlakuan Diskriminatif” dan “Kewajiban Menyediakan Akomodasi yang Wajar,” memiliki hubungan yang erat namun berbeda sifatnya. Memahami perbedaan ini dengan tepat sangat penting dalam membangun sistem kepatuhan yang sesuai.
Fitur | Larangan Perlakuan Diskriminatif | Kewajiban Menyediakan Akomodasi yang Wajar |
Dasar Hukum | Undang-Undang Peningkatan Kesempatan Kerja bagi Penyandang Disabilitas di Jepang Pasal 34, Pasal 35 | Undang-Undang Peningkatan Kesempatan Kerja bagi Penyandang Disabilitas di Jepang Pasal 36-2 |
Sifat Kewajiban | Kewajiban Pasif: Kewajiban negatif untuk tidak memberikan perlakuan yang merugikan berdasarkan disabilitas. | Kewajiban Aktif: Kewajiban positif untuk bertindak secara proaktif dalam menghilangkan hambatan. |
Prinsip Dasar | Perlakuan Setara: Memperlakukan orang yang berada dalam situasi yang sama dengan cara yang sama. | Kesetaraan Kesempatan: Melakukan perlakuan yang berbeda untuk mencapai hasil yang secara substansial setara. |
Tindakan Perusahaan | Memastikan bahwa semua kebijakan dan tindakan bersifat netral dan tidak menimbulkan kerugian karena disabilitas. | Berdialog dengan pekerja dan, dalam batas yang tidak memberatkan, mengidentifikasi dan melaksanakan penyesuaian yang diperlukan. |
Sebagaimana ditunjukkan oleh tabel ini, “Larangan Diskriminasi” menuntut agar semua orang, terlepas dari adanya disabilitas, ditempatkan pada garis start yang sama. Di sisi lain, “Kewajiban Akomodasi yang Wajar” menuntut penyediaan dukungan individual, seperti pemasangan jalur miring, ketika sulit bagi seseorang untuk berada pada garis start, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam kompetisi. Perusahaan hanya dapat mewujudkan kesetaraan kerja yang sebenarnya, sebagaimana yang diminta oleh hukum, dengan memenuhi kedua kewajiban ini.
Kesimpulan
Seperti yang telah diulas dalam artikel ini, hukum ketenagakerjaan di Jepang memberlakukan berbagai kewajiban hukum kepada perusahaan untuk memastikan kesetaraan dalam pekerjaan. Prinsip kesetaraan upah antara pria dan wanita yang ketat berdasarkan Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang, larangan komprehensif terhadap diskriminasi langsung dan tidak langsung yang ditetapkan oleh Undang-Undang Kesempatan Kerja yang Sama bagi Pria dan Wanita di Jepang, serta kewajiban ganda yang diminta oleh Undang-Undang Promosi Ketenagakerjaan Penyandang Disabilitas di Jepang untuk melarang diskriminasi dan menyediakan akomodasi yang wajar, semuanya merupakan item kepatuhan yang penting dan tidak dapat diabaikan dalam manajemen perusahaan modern. Mematuhi peraturan-peraturan ini tidak hanya mengelola risiko hukum, tetapi juga menjadi dasar dalam membangun lingkungan kerja yang adil dan produktif, di mana talenta dengan berbagai latar belakang dapat mengoptimalkan kemampuan mereka.
Kantor Hukum Monolith kami memiliki rekam jejak yang luas dalam memberikan nasihat kepada banyak klien domestik dan internasional mengenai masalah hukum yang kompleks seperti yang dijelaskan dalam artikel ini. Kantor kami memiliki beberapa pengacara yang fasih berbahasa Inggris, termasuk mereka yang memiliki kualifikasi sebagai pengacara di luar negeri, yang memungkinkan kami untuk memberikan dukungan yang lancar dan profesional ketika perusahaan global harus menanggapi tuntutan hukum ketenagakerjaan yang kompleks di Jepang. Kami siap mendukung dengan sistem yang komprehensif dalam memeriksa keabsahan kebijakan sumber daya manusia perusahaan Anda, menangani masalah ketenagakerjaan individu, dan mengurangi risiko hukum di Jepang.
Category: General Corporate