Perubahan Isi Kontrak Kerja dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang: Kerangka Hukum yang Perlu Diketahui oleh Pengusaha

Lingkungan bisnis modern ditandai dengan perubahan yang konstan, dan perusahaan-perusahaan di Jepang sering kali diharuskan untuk melakukan penyesuaian organisasi dan strategis secara berkelanjutan. Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali memerlukan revisi hubungan kerja. Namun, di Jepang, ketentuan kontrak kerja tidak hanya diatur oleh kesepakatan individu awal saja. Mereka dikuasai oleh hierarki norma yang kompleks dan yurisprudensi yang menekankan pada stabilitas dan perlindungan pekerja. Oleh karena itu, penting bagi para eksekutif perusahaan untuk memiliki pemahaman mendalam tentang kerangka hukum unik ini agar dapat mengimplementasikan perubahan kondisi kerja dan rotasi personel secara legal dan lancar. Artikel ini menyediakan analisis ahli mengenai kerangka hukum yang mengatur perubahan isi kontrak kerja di bawah hukum ketenagakerjaan Jepang. Kami akan membahas peraturan kerja dan perjanjian kerja bersama sebagai sumber utama dalam menentukan kondisi kerja. Selanjutnya, kami akan menjelaskan persyaratan ketat yang harus dipenuhi ketika mengimplementasikan perubahan kondisi kerja yang merugikan pekerja. Terakhir, kami akan menganalisis konstruksi hukum dan batasan yang berlaku untuk tiga jenis perpindahan personel utama, yaitu mutasi, penugasan, dan perpindahan ke entitas lain. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menyediakan pengetahuan rinci yang diperlukan oleh manajer perusahaan dan praktisi hukum untuk mengelola proses-proses ini sesuai dengan hukum Jepang.
Norma Penentu Konten Kontrak Kerja di Jepang
Dalam hukum ketenagakerjaan Jepang, isi dari kontrak kerja yang disepakati antara pekerja dan pengusaha tidak hanya terbatas pada dokumen kontrak itu sendiri. Sebaliknya, isi kontrak tersebut seringkali dilengkapi dan bahkan mungkin digantikan oleh aturan-aturan komprehensif yang berlaku untuk seluruh tempat usaha. Dua aturan yang sangat penting dalam konteks ini adalah “Peraturan Kerja” dan “Perjanjian Kerja Bersama”.
Peran dan Kekuatan Hukum Aturan Kerja di Jepang
Aturan kerja merupakan kumpulan peraturan yang dibuat oleh pengusaha untuk menetapkan secara seragam dan sistematis kondisi kerja dan disiplin di tempat kerja. Pasal 7 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang menetapkan bahwa jika pengusaha membuat aturan kerja dengan kondisi kerja yang wajar dan memberitahukannya kepada pekerja, maka kondisi kerja yang ditetapkan dalam aturan kerja tersebut akan menjadi isi dari kontrak kerja. Dengan demikian, aturan kerja menjadi sarana yang kuat untuk menstandarisasi kondisi kerja.
Salah satu syarat penting agar kekuatan hukum ini berlaku adalah ‘pengetahuan’. Pengusaha harus memastikan bahwa aturan kerja dapat dilihat dengan mudah di tempat kerja, diserahkan dalam bentuk tertulis, atau tersedia dalam data elektronik yang dapat diakses kapan saja, sehingga pekerja dapat memeriksa isinya kapan saja. Kewajiban untuk memberikan pengetahuan ini bukan hanya prosedur formalitas, tetapi jika diabaikan, aturan kerja tidak akan memiliki kekuatan hukum, dan pengusaha tidak dapat mengikat pekerja dengan ketentuan tersebut. Ini merupakan poin kepatuhan yang sangat penting bagi perusahaan.
Lebih lanjut, aturan kerja juga berfungsi sebagai standar minimum terhadap kontrak kerja individu. Menurut Pasal 12 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang, kontrak kerja individu yang menetapkan kondisi kerja yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan dalam aturan kerja akan menjadi tidak sah untuk bagian tersebut. Dan bagian yang menjadi tidak sah tersebut akan diterapkan standar yang ditetapkan dalam aturan kerja. Ketentuan ini, dari sudut pandang pengelola, memberikan keseragaman tertentu pada kondisi kerja seluruh pekerja dan memiliki efek menyederhanakan manajemen tenaga kerja.
Kekuatan Superior Perjanjian Kerja Bersama di Bawah Hukum Jepang
Perjanjian kerja bersama adalah kesepakatan tertulis yang disepakati antara serikat pekerja dan pengguna tenaga kerja mengenai kondisi kerja dan hal-hal lainnya. Perjanjian kerja bersama memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat daripada peraturan kerja. Pasal 16 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang mengakui ‘kekuatan normatif’ perjanjian kerja bersama. Ini berarti bahwa bagian dari peraturan kerja atau kontrak kerja individu yang bertentangan dengan standar kondisi kerja atau perlakuan pekerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama akan menjadi tidak sah, dan bagian yang tidak sah tersebut akan digantikan dengan standar dari perjanjian kerja bersama.
Kekuatan normatif ini mencakup hampir semua aspek substansial dari hubungan kerja seperti upah, uang pensiun, jam kerja, hari libur, keselamatan dan kesehatan kerja, kompensasi bencana, mutasi personil, dan disiplin. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas hukum secara jelas ditetapkan sebagai ‘Perjanjian Kerja Bersama > Peraturan Kerja > Kontrak Kerja Individu’. Bagi perusahaan yang memiliki serikat pekerja, memahami struktur hierarki ini sangat penting. Upaya untuk mengubah kondisi kerja melalui perubahan peraturan kerja akan menjadi tidak sah secara hukum jika bertentangan dengan ketentuan perjanjian kerja bersama.
Oleh karena itu, ketika perusahaan yang memiliki serikat pekerja ingin melakukan perubahan penting terkait kondisi kerja, metode yang paling aman dan stabil secara hukum bukanlah bergantung pada perubahan peraturan kerja, melainkan melalui negosiasi dengan serikat pekerja untuk merevisi perjanjian kerja bersama. Hierarki hukum ini menjadi faktor penting yang mengubah strategi manajemen tenaga kerja dari proses pengelolaan unilateral oleh pengguna tenaga kerja menjadi negosiasi bilateral dengan serikat pekerja.
Perbandingan Antara Peraturan Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama di Jepang
Berikut ini adalah tabel yang merangkum perbandingan antara peraturan kerja dan perjanjian kerja bersama yang telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya.
Item | Peraturan Kerja | Perjanjian Kerja Bersama |
Dasar Hukum | Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang | Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang |
Pihak Terkait | Pemberi Kerja (dibuat secara sepihak) | Pemberi Kerja dan Serikat Pekerja |
Cara Pembentukan | Pembuatan dan pemberitahuan kepada pekerja | Kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja serta pembuatan dokumen tertulis |
Lingkup Penerapan | Secara prinsip, semua pekerja di tempat usaha | Secara prinsip, anggota serikat pekerja yang bersangkutan |
Kekuatan Hukum | Berada di bawah perjanjian kerja bersama | Memprioritaskan atas peraturan kerja dan kontrak kerja |
Perubahan Kondisi Kerja yang Merugikan: Persyaratan Hukum dan Batasannya di Jepang
Untuk menyesuaikan dengan perubahan lingkungan bisnis, terkadang diperlukan perubahan kondisi kerja yang merugikan bagi pekerja, seperti revisi sistem penggajian atau pemotongan tunjangan. Namun, hukum ketenagakerjaan Jepang memberlakukan batasan ketat terhadap perubahan merugikan seperti ini.
Prinsip Kesepakatan Bersama
Karena kontrak kerja merupakan salah satu jenis kontrak, perubahan kondisi kerja yang merupakan isi dari kontrak tersebut memerlukan kesepakatan dari kedua belah pihak yang terlibat. Pasal 8 dari Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang (Japanese Labor Contract Act) menyatakan bahwa pekerja dan pengguna tenaga kerja dapat mengubah kondisi kerja yang merupakan isi dari kontrak kerja berdasarkan kesepakatan bersama. Oleh karena itu, secara prinsip, pengguna tenaga kerja tidak diperbolehkan untuk sepihak mengubah kondisi kerja menjadi tidak menguntungkan bagi pekerja tanpa persetujuan mereka.
Perubahan Aturan Kerja yang Merugikan Secara Sepihak dan ‘Rasionalitas’ dalam Hukum Kerja Jepang
Namun, mendapatkan persetujuan secara individual dari semua pekerja, terutama dalam organisasi berskala besar, tidaklah praktis. Oleh karena itu, Pasal 10 dari Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang menetapkan pengecualian penting. Menurut ketentuan ini, pemberi kerja dapat secara sepihak mengubah kondisi kerja yang merugikan pekerja dengan mengubah aturan kerja. Namun, ada dua persyaratan ketat yang harus dipenuhi: pertama, pemberi kerja harus memberitahukan pekerja tentang aturan kerja yang telah diubah; kedua, perubahan tersebut harus ‘rasional’.
Penilaian ‘rasionalitas’ ini merupakan salah satu poin hukum yang paling penting dan kompleks dalam praktik hukum ketenagakerjaan di Jepang. Menurut yurisprudensi, rasionalitas ditentukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor secara komprehensif. Kerangka penilaian ini didirikan oleh putusan Mahkamah Agung pada tanggal 28 Februari 1997 (kasus Bank Keempat). Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam putusan ini adalah sebagai berikut:
- Tingkat kerugian yang dialami oleh pekerja
- Kebutuhan untuk mengubah kondisi kerja
- Kelayakan isi aturan kerja setelah perubahan
- Situasi negosiasi dengan serikat pekerja atau sejenisnya
- Keadaan terkait lainnya (seperti tindakan pengganti atau peningkatan kondisi kerja lainnya)
Faktor-faktor ini bukan sekadar daftar periksa. Pengadilan akan membandingkan dan menimbang dengan hati-hati antara kebutuhan manajemen pemberi kerja dan kerugian yang ditanggung oleh pekerja. Misalnya, mengenai ‘kebutuhan untuk perubahan’, sekadar keinginan untuk mengurangi biaya saja tidak cukup; diperlukan kebutuhan manajemen yang objektif dan signifikan, seperti kerugian beruntun selama beberapa periode atau perubahan drastis dalam struktur industri. Selain itu, semakin besar ‘tingkat kerugian’, seperti dalam kasus pengurangan besar-besaran gaji atau uang pensiun, pengadilan akan menuntut kebutuhan yang lebih tinggi dan tindakan transisi yang lebih komprehensif (seperti pembayaran tunjangan penyesuaian) untuk meredakan kerugian tersebut.
Yurisprudensi ini berfungsi sebagai kerangka kerja praktis bagi manajer untuk mengelola risiko hukum. Perusahaan yang mempertimbangkan perubahan yang merugikan harus mempersiapkan dari tahap perencanaan dengan memperhatikan faktor-faktor ini untuk mengurangi risiko dipertentangkan rasionalitasnya secara retrospektif. Secara spesifik, (1) mendokumentasikan kebutuhan manajerial secara objektif melalui laporan keuangan, (2) merancang sistem yang adil sehingga tidak ada kelompok karyawan tertentu yang dirugikan secara tidak proporsional, (3) menyediakan tindakan transisi untuk meredakan perubahan yang drastis, dan (4) melakukan negosiasi yang tulus dengan serikat pekerja atau perwakilan pekerja, adalah proses yang sangat efektif untuk membangun rasionalitas perubahan dan memastikan stabilitas hukum.
Efektivitas ‘Persetujuan’: Dari Formalitas ke Substansi di Bawah Hukum Jepang
Ada kalanya pengusaha memilih untuk tidak melakukan perubahan sepihak pada peraturan kerja, melainkan mendapatkan persetujuan tertulis dari pekerja untuk perubahan yang merugikan secara individu. Namun, keberadaan dokumen persetujuan yang telah ditandatangani dan distempel tidak selalu menjamin bahwa persetujuan tersebut sah secara hukum.
Putusan Mahkamah Agung Jepang pada tanggal 19 Februari 2016 (kasus Yamanashi Prefecture Credit Union) menetapkan kriteria penting terkait hal ini. Menurut putusan ini, keabsahan persetujuan pekerja terhadap perubahan yang merugikan tidak hanya dapat dinilai dari formalitas tanda tangan pada dokumen persetujuan, tetapi juga harus dinilai secara substansial berdasarkan apakah ada alasan yang cukup dan objektif untuk mengakui bahwa persetujuan tersebut didasarkan pada kehendak bebas pekerja. Dalam hal ini, informasi dan penjelasan yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja, serta isi dan tingkat kerugian yang ditimbulkan, akan dipertimbangkan. Persetujuan yang diperoleh tanpa penjelasan yang memadai atau dalam situasi yang agak dipaksa dapat berisiko dinyatakan tidak sah di kemudian hari.
Yurisprudensi ini menunjukkan kerentanan proses pengambilan persetujuan yang hanya bersifat formal. Ada dua jalur untuk perubahan kondisi kerja yang merugikan: perubahan sepihak peraturan kerja sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang dan perubahan berdasarkan persetujuan individu sesuai dengan Pasal 8 undang-undang yang sama. Kedua jalur ini tidak terlepas satu sama lain. Pada akhirnya, apa yang dihargai oleh pengadilan Jepang adalah keadilan prosedural. Keadilan prosedural seperti penyediaan informasi yang cukup, penjelasan yang tulus, dan jaminan kesempatan untuk pengambilan keputusan yang bebas, tidak hanya merupakan elemen yang mendasari ‘rasionalitas’ perubahan sepihak, tetapi juga mendukung efektivitas persetujuan individu. Apapun metode hukum yang dipilih, menerapkan proses yang adil dan transparan adalah strategi terbaik untuk menghindari sengketa hukum.
Konfigurasi Hukum Mutasi Personil: Perbedaan dan Pembatasan Antara Penugasan, Delegasi, dan Transfer di Bawah Hukum Jepang
Dalam rangka restrukturisasi bisnis, pengembangan sumber daya manusia, dan revitalisasi organisasi, mengubah penempatan karyawan merupakan kegiatan yang esensial dalam manajemen perusahaan. Di bawah hukum ketenagakerjaan Jepang, mutasi personil umumnya diklasifikasikan menjadi tiga kategori: ‘penugasan’ (‘配転’), ‘delegasi’ (‘出向’), dan ‘transfer’ (‘転籍’), masing-masing dengan konfigurasi hukum dan pembatasan yang berbeda.
Mutasi dalam Perusahaan Jepang
Mutasi adalah perubahan dalam isi pekerjaan atau lokasi kerja di dalam perusahaan yang sama. Pihak pengguna tenaga kerja dalam kontrak kerja tidak berubah. Jika terdapat ketentuan dasar dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan yang memungkinkan pemberian perintah mutasi, maka secara prinsip, pengguna tenaga kerja memiliki wewenang luas untuk memerintahkan mutasi tanpa persetujuan individu dari pekerja (hak perintah mutasi).
Namun, hak perintah mutasi ini tidak tanpa batasan. Hak ini dibatasi oleh prinsip hukum ‘penyalahgunaan hak’. Dalam kasus leading yang diputuskan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 14 Juli 1986 (Kasus Toa Paint), diidentifikasi tiga tipe situasi di mana perintah mutasi dapat dianggap sebagai penyalahgunaan hak:
- Ketika tidak ada kebutuhan bisnis yang mendasarinya
- Apabila dilakukan dengan motif atau tujuan yang tidak adil (contoh: pelecehan, tujuan untuk memaksa pengunduran diri)
- Ketika memberikan kerugian yang jauh melampaui tingkat yang biasanya dapat diterima oleh pekerja
Dari perspektif manajemen, ‘kebutuhan bisnis’ seringkali diinterpretasikan secara luas, dan dianggap cukup jika berkontribusi pada operasional perusahaan yang rasional. Namun, tipe ketiga, yaitu ‘tingkat kerugian bagi pekerja’, sangat penting. Sebagai contoh, kasus di mana pekerja yang memiliki anggota keluarga yang membutuhkan perawatan diperintahkan untuk mutasi ke lokasi yang jauh tanpa adanya alternatif lain, dapat dianggap sebagai penyalahgunaan hak dan kemungkinan besar akan dinyatakan tidak sah.
Penugasan (出向) di Bawah Hukum Jepang
Penugasan, dalam konteks hukum Jepang, adalah situasi di mana seorang pekerja mempertahankan hubungan kontrak kerja dengan perusahaan asalnya (perusahaan pengirim) sambil memberikan layanan di bawah perintah dan pengawasan perusahaan lain (perusahaan penerima). Berbeda dengan perpindahan, ciri khas penugasan adalah adanya perubahan dalam pihak yang memiliki hak untuk memberikan instruksi dan perintah.
Saat memerintahkan penugasan, persetujuan individu dari pekerja tidak selalu diperlukan. Jika peraturan kerja atau perjanjian kerja telah menyediakan ketentuan komprehensif mengenai kemungkinan penugasan, durasi penugasan, status dan kondisi kerja di perusahaan penerima, maka pemberi kerja dapat memberikan perintah penugasan berdasarkan ketentuan tersebut.
Namun, perintah penugasan juga terikat oleh batasan penyalahgunaan hak. Putusan Mahkamah Agung Jepang pada tanggal 18 April 2003 (Kasus Nippon Steel) menunjukkan bahwa dalam menilai penyalahgunaan hak atas perintah penugasan, diperlukan pertimbangan yang lebih detail dibandingkan dengan perpindahan. Secara spesifik, hal-hal yang dipertimbangkan secara komprehensif meliputi: (1) kebutuhan bisnis atas penugasan, (2) rasionalitas pemilihan pekerja yang bersangkutan, (3) tingkat kerugian ekonomi dan kehidupan yang ditanggung oleh pekerja akibat penugasan, dan (4) kelayakan prosedur yang dilakukan sebelum memberikan perintah. Ini menegaskan bahwa diskresi pemberi kerja tidaklah tanpa batas, dan penugasan harus dilakukan untuk tujuan bisnis yang sah seperti bimbingan teknis atau manajemen, serta mempertimbangkan dengan seksama kerugian yang mungkin dialami oleh pekerja.
Pemindahan Keanggotaan Perusahaan di Bawah Hukum Ketenagakerjaan Jepang
Pemindahan keanggotaan perusahaan adalah proses di mana kontrak kerja dengan pengguna tenaga kerja sebelumnya diakhiri dan kontrak kerja baru dibuat dengan pengguna tenaga kerja yang berbeda. Ini merupakan perubahan paling mendasar dalam manajemen sumber daya manusia, di mana pihak pengguna tenaga kerja dalam kontrak kerja berubah.
Mengingat sifat pemindahan keanggotaan perusahaan yang melibatkan pengakhiran kontrak kerja, persetujuan yang jelas dan spesifik dari pekerja adalah esensial. Bahkan jika ada persetujuan umum yang diperoleh saat masuk kerja yang menyatakan “akan menyetujui pemindahan ke perusahaan afiliasi yang diinstruksikan oleh perusahaan di masa depan,” itu saja pada prinsipnya tidak cukup dan tidak dapat dijadikan dasar untuk memerintahkan pemindahan keanggotaan perusahaan. Persetujuan harus diperoleh kembali pada saat pemindahan keanggotaan perusahaan sebenarnya dilakukan, dengan syarat perusahaan tujuan pemindahan dan kondisi kerja yang akan diterapkan di sana harus dijelaskan secara spesifik.
Ketiga jenis perubahan manajemen sumber daya manusia ini dibedakan dengan jelas berdasarkan sifat hukum dan tingkat persetujuan yang diperlukan. Pemindahan tugas memiliki tingkat intervensi yang paling rendah, penugasan sementara berada di tengah, dan pemindahan keanggotaan perusahaan memiliki tingkat intervensi yang paling tinggi. Tingkat persetujuan yang diperlukan juga menjadi semakin ketat sesuai dengan tingkat intervensi ini, mulai dari cukup dengan persetujuan umum hingga persetujuan spesifik dan individual yang menjadi syarat mutlak. Memahami ‘spektrum persetujuan’ ini adalah panduan penting bagi perusahaan dalam memilih metode perubahan manajemen sumber daya manusia yang tepat saat melaksanakan strategi seperti restrukturisasi organisasi atau penjualan bisnis, serta merencanakan prosedur hukum dan sumber daya manusia yang diperlukan.
Perbandingan Tiga Jenis Mutasi Personil di Jepang
Berikut ini adalah tabel yang merangkum perbandingan antara penugasan, delegasi, dan transfer kepemilikan, yang telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya.
Item | Penugasan | Delegasi | Transfer Kepemilikan |
Definisi | Perubahan tugas atau lokasi kerja dalam perusahaan yang sama | Bekerja di perusahaan lain sambil tetap terdaftar di perusahaan asal | Mengakhiri kontrak dengan perusahaan asal dan membuat kontrak dengan perusahaan lain |
Kontrak Kerja Asal | Dipertahankan | Dipertahankan | Berakhir |
Persetujuan Pekerja yang Diperlukan | Prinsipnya tidak diperlukan (dapat dengan persetujuan menyeluruh) | Prinsipnya tidak diperlukan (dapat dengan persetujuan menyeluruh) | Wajib (persetujuan individu dan spesifik) |
Batasan Hukum Utama | Teori Penyalahgunaan Hak (kebutuhan pekerjaan, tingkat kerugian, dll) | Teori Penyalahgunaan Hak (penilaian lebih ketat daripada penugasan) | Adanya persetujuan individu pekerja |
Contoh Penggunaan Umum | Penataan personil dalam organisasi, pengembangan sumber daya manusia | Rotasi talenta antar perusahaan grup, penyesuaian tenaga kerja | Alih usaha, pemisahan perusahaan menjadi entitas baru |
Kesimpulan
Seperti yang telah dijelaskan dalam artikel ini, mengubah hubungan kerja di Jepang merupakan proses yang secara hukum kompleks. Proses tersebut tidak hanya diatur oleh satu kontrak kerja, melainkan oleh hierarki norma yang didominasi oleh perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan yang memainkan peran kunci. Meskipun pengusaha memiliki wewenang untuk mengubah kondisi kerja secara sepihak atau memerintahkan perpindahan personel, wewenang tersebut dibatasi secara signifikan oleh prinsip-prinsip hukum kasus seperti ‘rasionalitas’ dan ‘penyalahgunaan hak’. Tema yang melintasi keseluruhan adalah pentingnya keadilan prosedural. Terlepas dari jenis perubahan yang dilakukan, komunikasi yang transparan, proses yang adil, dan konsultasi yang tulus merupakan kunci untuk menghindari sengketa hukum dan mempertahankan hubungan industrial yang sehat.
Kantor Hukum Monolith memiliki rekam jejak dalam memberikan nasihat yang kaya dan praktis terkait masalah-masalah kompleks yang melibatkan hukum ketenagakerjaan Jepang kepada klien domestik dan internasional yang beragam. Kantor kami memiliki beberapa anggota yang berkualifikasi sebagai pengacara di luar negeri dan berbicara bahasa Inggris, yang dapat menjadi jembatan antara praktik bisnis global dan persyaratan khusus dari sistem hukum Jepang. Kami menyediakan konseling strategis untuk membantu klien menavigasi proses kompleks perubahan kondisi kerja dan perpindahan personel sambil mencapai tujuan bisnis dan memastikan kepatuhan. Kami dapat menyediakan dukungan komprehensif untuk semua masalah yang dibahas dalam artikel ini.
Category: General Corporate