MONOLITH LAW OFFICE+81-3-6262-3248Hari kerja 10:00-18:00 JST [English Only]

MONOLITH LAW MAGAZINE

General Corporate

Penjelasan Hukum tentang Perjanjian Kerja Bersama dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang

General Corporate

Penjelasan Hukum tentang Perjanjian Kerja Bersama dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang

Hubungan industrial di Jepang sangat dipengaruhi oleh perjanjian kerja bersama, yang merupakan dokumen hukum sangat penting. Ini bukan sekadar kesepakatan antara serikat pekerja dan pengusaha, melainkan norma khusus yang memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengutamakan dirinya atas kontrak kerja individu dan peraturan perusahaan. Hukum Serikat Pekerja Jepang memberikan perjanjian kerja bersama kekuatan untuk secara langsung mengatur dan mengubah kondisi kerja setiap pekerja. Oleh karena itu, bagi para pengusaha dan praktisi hukum, memahami sifat hukum perjanjian kerja bersama, persyaratan pembentukannya, lingkup efektivitasnya, serta aturan terkait pengakhiran sangatlah penting, tidak hanya untuk memenuhi kepatuhan tetapi juga untuk membangun hubungan industrial yang stabil dan dapat diprediksi serta mengelola risiko hukum. Penandatanganan perjanjian kerja bersama berarti pengusaha menyerahkan sebagian dari otoritasnya untuk menentukan kondisi kerja secara sepihak kepada hasil negosiasi bilateral dengan serikat pekerja. Dampaknya mencakup berbagai aspek, mulai dari kondisi kerja inti seperti upah dan jam kerja, hingga prosedur yang berkaitan dengan keputusan manajemen seperti mutasi dan pemecatan. Artikel ini akan menjelaskan secara rinci posisi hukum perjanjian kerja bersama dalam hukum ketenagakerjaan Jepang, persyaratan pembentukannya, dua kekuatan khas yang dimilikinya, yaitu ‘kekuatan mengikat umum’ yang juga berlaku bagi karyawan non-anggota serikat pekerja, serta prosedur dan hal-hal yang perlu diperhatikan ketika perjanjian kerja bersama berakhir, berdasarkan peraturan hukum dan contoh kasus pengadilan yang spesifik.

Pengaturan Hukum Perjanjian Kerja Bersama dan Hubungannya dengan Norma Lain di Jepang

Kondisi kerja di tempat kerja Jepang diatur oleh beberapa norma yang memiliki hierarki prioritas yang jelas. Memahami struktur hierarki ini adalah kunci untuk mengerti posisi hukum dari perjanjian kerja bersama. Pada tingkat tertinggi terdapat undang-undang seperti Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang dan Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang. Kemudian, yang memiliki kekuatan hukum berikutnya adalah perjanjian kerja bersama, yang memiliki prioritas lebih tinggi daripada peraturan kerja dan kontrak kerja individu.  

Prioritas ini ditetapkan oleh beberapa undang-undang di Jepang. Pertama, Pasal 92 dari Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang menyatakan bahwa “peraturan kerja tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau perjanjian kerja bersama yang berlaku di tempat usaha tersebut”. Ini melarang peraturan kerja yang dibuat secara sepihak oleh pengusaha untuk melanggar isi dari perjanjian kerja bersama yang merupakan hasil kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.  

Selanjutnya, Pasal 13 dari Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang lebih memperkuat hubungan ini dengan menyatakan bahwa “jika peraturan kerja bertentangan dengan perjanjian kerja bersama, ketentuan Pasal 7, Pasal 10, dan pasal sebelumnya tidak berlaku untuk kontrak kerja dengan pekerja yang menerima perjanjian kerja bersama tersebut”. Ini secara efektif berarti bahwa bagian dari peraturan kerja yang bertentangan dengan perjanjian kerja bersama tidak memiliki kekuatan hukum terhadap pekerja yang tercakup dalam perjanjian tersebut.  

Lebih lanjut, mengenai hubungan antara kontrak kerja individu dan perjanjian kerja bersama, Pasal 16 dari Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang menetapkan aturan yang krusial. Pasal tersebut menyatakan bahwa “bagian dari kontrak kerja yang melanggar standar kondisi kerja atau perlakuan lain terhadap pekerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama adalah tidak sah”, dan bagian yang tidak sah tersebut akan digantikan oleh standar yang ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama.  

Ketika kita menggabungkan semua ketentuan ini, prioritas norma yang mengatur kondisi kerja adalah: undang-undang, perjanjian kerja bersama, peraturan kerja, dan kontrak kerja. Struktur hierarki ini menunjukkan bahwa perjanjian kerja bersama bukan hanya sekedar kontrak, tetapi berfungsi seperti undang-undang kecil yang menetapkan standar minimum untuk kelompok pekerja tertentu.  

Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa prinsip keuntungan, yang berlaku dalam hubungan antara peraturan kerja dan kontrak kerja, biasanya tidak berlaku untuk hubungan antara perjanjian kerja bersama dan kontrak kerja. Menurut Pasal 12 dari Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang, bagian dari kontrak kerja yang tidak memenuhi standar peraturan kerja menjadi tidak sah dan standar peraturan kerja yang berlaku, tetapi jika kontrak kerja menetapkan kondisi yang lebih menguntungkan bagi pekerja daripada peraturan kerja, maka kondisi yang lebih menguntungkan tersebut yang akan diprioritaskan. Namun, dalam hal perjanjian kerja bersama, Pasal 16 dari Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang hanya menyatakan kontrak kerja yang “bertentangan” dengan standar perjanjian kerja bersama sebagai tidak sah, tanpa mempertimbangkan apakah kondisinya menguntungkan atau merugikan pekerja. Ini berarti bahwa perjanjian kerja bersama dapat memiliki kekuatan untuk mengesampingkan bahkan kondisi yang lebih menguntungkan yang disepakati oleh pekerja individu dengan pengusaha, demi memastikan keseragaman dan keadilan kondisi kerja bagi semua anggota serikat. Ini memiliki aspek yang berguna bagi pihak manajemen dalam menjaga konsistensi perlakuan antar karyawan, tetapi juga menunjukkan potensi untuk membatasi kemampuan mereka untuk memberikan insentif khusus yang menyimpang dari perjanjian kepada talenta yang luar biasa.  

Tabel berikut ini merangkum prioritas antara norma-norma tersebut.

Jenis NormaDeskripsi
1. Undang-UndangUndang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang dan undang-undang lain yang ditetapkan oleh negara. Standar minimum absolut dalam semua hubungan kerja.
2. Perjanjian Kerja BersamaKesepakatan tertulis antara pengusaha dan serikat pekerja. Memiliki kekuatan hukum yang prioritas setelah undang-undang.
3. Peraturan KerjaAturan yang ditetapkan oleh pengusaha mengenai kondisi kerja di tempat usaha. Tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
4. Kontrak KerjaKontrak antara pengusaha dan pekerja individu. Tidak boleh lebih rendah dari standar peraturan kerja.

Persyaratan Pembentukan dan Kekuatan Hukum dari Perjanjian Kerja Bersama di Jepang

Agar Perjanjian Kerja Bersama di Jepang dapat mengeluarkan kekuatan hukumnya yang signifikan, perjanjian tersebut harus memenuhi persyaratan formal yang ketat sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang, dan perjanjian yang telah terbentuk memiliki dua jenis kekuatan hukum yang berbeda: ‘kekuatan normatif’ dan ‘kekuatan obligasi’.

Persyaratan Pendirian

Untuk pembentukan perjanjian kerja bersama, mematuhi persyaratan formal yang ditetapkan oleh Pasal 14 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang adalah esensial. Pasal tersebut menyatakan, “Perjanjian kerja bersama harus dibuat secara tertulis, dan kedua belah pihak harus menandatangani atau memberikan nama dan cap mereka agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum.” Kesepakatan lisan atau dokumen tanpa tanda tangan atau nama dan cap, meskipun mungkin ada kesepakatan substantif antara pengusaha dan pekerja, tidak akan diakui sebagai perjanjian kerja bersama dengan kekuatan hukum khusus (terutama kekuatan normatif yang akan dibahas lebih lanjut).

Signifikansi formalisme ketat ini telah ditegakkan melalui preseden Mahkamah Agung Jepang. Dalam kasus Tomin Auto Driving School (keputusan Mahkamah Agung Jepang tanggal 13 Maret 2001), Mahkamah Agung memutuskan bahwa meskipun ada kesepakatan yang jelas antara pengusaha dan pekerja mengenai kenaikan gaji, karena tidak dibuat dalam bentuk dokumen tertulis dengan tanda tangan atau nama dan cap, perjanjian kerja bersama tersebut tidak memiliki kekuatan normatif. Alasan yang diberikan oleh pengadilan adalah bahwa perjanjian kerja bersama, yang memiliki efek kuat dalam mengatur langsung isi kontrak kerja individu, harus jelas keberadaan dan isinya untuk mencegah sengketa di masa depan.

Formalisme ketat yang ditunjukkan oleh kasus ini juga berfungsi sebagai mekanisme perlindungan bagi pihak pengusaha. Artinya, kesepakatan sementara atau janji lisan yang dibuat selama negosiasi kolektif tidak akan secara tidak sengaja memiliki kekuatan hukum mengikat sebagai perjanjian kerja bersama. Kewajiban hukum yang kuat hanya timbul ketika dokumen resmi yang ditandatangani atau diberi nama dan cap oleh kedua belah pihak akhirnya dibuat, sehingga perusahaan dapat mengurangi ketidakpastian hukum selama proses negosiasi.

Dua Jenis Kekuatan dari Perjanjian Kerja Bersama di Bawah Hukum Jepang

Perjanjian kerja bersama yang berlaku efektif di Jepang menghasilkan dua jenis kekuatan yang berbeda sifatnya secara bersamaan. Kedua kekuatan tersebut adalah “kekuatan normatif” dan “kekuatan obligasi”.  

Kekuatan normatif adalah kekuatan yang berasal dari Pasal 16 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang, di mana standar yang ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama mengenai upah, jam kerja, hari libur, prosedur pemecatan, dan ‘standar lainnya terkait kondisi kerja dan perlakuan terhadap pekerja’ akan langsung diterapkan pada kontrak kerja individu dan peraturan kerja, serta memiliki prioritas atasnya. Jika ada ketentuan dalam kontrak kerja atau peraturan kerja yang bertentangan dengan standar perjanjian kerja bersama, bagian tersebut akan otomatis menjadi tidak berlaku, dan standar dari perjanjian kerja bersama yang akan diterapkan. Kekuatan ini berfungsi untuk menjadikan perjanjian kerja bersama sebagai norma hukum yang langsung membentuk hak dan kewajiban pekerja secara individu.  

Di sisi lain, kekuatan obligasi adalah kekuatan yang mengikat para pihak yang menandatangani perjanjian kerja bersama, yaitu pengusaha dan serikat pekerja sebagai organisasi itu sendiri, serupa dengan kekuatan yang dimiliki oleh kontrak biasa. Kekuatan ini terutama diterapkan pada hal-hal yang mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja, seperti aturan negosiasi kolektif, izin penggunaan fasilitas perusahaan untuk aktivitas serikat, dan kewajiban untuk tidak melakukan tindakan perselisihan terhadap hal-hal yang telah ditetapkan dalam perjanjian selama periode berlakunya perjanjian. Jika ada pelanggaran terhadap kekuatan obligasi, salah satu pihak dapat menuntut pihak lainnya untuk memenuhi kewajiban kontraktual atau menuntut ganti rugi atas dasar wanprestasi.  

Pembedaan antara kedua jenis kekuatan ini sangat penting dalam menanggapi pelanggaran dari segi hukum. Misalnya, jika pengusaha tidak membayar upah yang telah ditetapkan dalam perjanjian, ini merupakan masalah kekuatan normatif, dan pekerja yang terpengaruh dapat langsung menuntut pembayaran upah yang belum dibayar sebagai hak mereka berdasarkan kontrak kerja. Sebaliknya, jika pengusaha menolak menyediakan kantor serikat seperti yang dijanjikan dalam perjanjian, ini merupakan masalah kekuatan obligasi, dan bukan pekerja individu, melainkan serikat pekerja sebagai organisasi yang akan mengajukan gugatan terhadap pengusaha untuk memenuhi kewajiban tersebut. Para pengelola perlu menilai dan mengelola risiko yang timbul dari perjanjian kerja bersama pada dua tingkat yang berbeda: tuntutan dari pekerja individu (kekuatan normatif) dan perselisihan dengan serikat pekerja sebagai organisasi (kekuatan obligasi).

Tabel berikut ini membandingkan perbedaan antara kekuatan normatif dan kekuatan obligasi.

FiturKekuatan NormatifKekuatan Obligasi
Dasar HukumPasal 16 Undang-Undang Serikat Pekerja JepangPrinsip Kontrak Umum
Subjek yang TerpengaruhPengusaha dan pekerja anggota serikat secara individuPengusaha dan Serikat Pekerja (sebagai organisasi)
Contoh IsiUpah, jam kerja, prosedur pemecatanAturan negosiasi kolektif, penyediaan fasilitas serikat, kewajiban untuk menjaga perdamaian
Konsekuensi jika DilanggarBagian kontrak kerja yang relevan menjadi tidak berlaku dan standar perjanjian diterapkanPihak lain dapat menuntut pemenuhan kewajiban atau ganti rugi

Pengembangan Kekuatan Hukum Perjanjian Kerja Bersama: Kekuatan Mengikat Umum di Jepang

Kekuatan normatif dari perjanjian kerja bersama di Jepang, secara prinsip, hanya berlaku bagi anggota serikat pekerja yang menandatangani perjanjian tersebut. Namun, terdapat ketentuan penting dalam Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang yang menjadi pengecualian dari prinsip ini, yaitu ‘kekuatan mengikat umum’. Ini adalah sistem di mana, di bawah kondisi tertentu, kekuatan hukum perjanjian kerja bersama secara otomatis diperluas ke karyawan yang bukan anggota serikat pekerja.

Pasal 17 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang mengatur tentang kekuatan mengikat umum ini, dengan menyatakan bahwa “ketika tiga perempat atau lebih dari jumlah pekerja yang melakukan jenis pekerjaan yang sama dan biasa digunakan di satu pabrik atau tempat usaha tertentu telah menerima penerapan satu perjanjian kerja bersama, maka perjanjian tersebut juga akan berlaku bagi pekerja lain yang melakukan jenis pekerjaan yang sama di pabrik atau tempat usaha tersebut”.

Jika kita memecah persyaratan dalam pasal tersebut, kita mendapatkan poin-poin berikut:

  1. ‘Satu pabrik atau tempat usaha’: Ini berarti penilaian dilakukan bukan pada perusahaan secara keseluruhan, melainkan pada unit-unit lokasi tertentu seperti pabrik, cabang, atau kantor penjualan.
  2. ‘Pekerja yang melakukan jenis pekerjaan yang sama dan biasa digunakan’: Penilaian ini tidak didasarkan pada bentuk kontrak kerja (pegawai tetap, kontrak, dll.) atau jabatan, melainkan pada kesamaan isi pekerjaan secara objektif. Pekerja yang dipekerjakan secara sementara juga dapat termasuk jika mereka dipekerjakan secara berkelanjutan.
  3. ‘Tiga perempat atau lebih’: Diperlukan bahwa 75% atau lebih dari pekerja dalam unit tersebut yang melakukan jenis pekerjaan yang sama harus menjadi anggota serikat pekerja yang menerima penerapan satu perjanjian kerja bersama.

Ketika persyaratan ini terpenuhi, bagian normatif dari perjanjian kerja bersama (seperti upah dan jam kerja) secara otomatis berlaku juga bagi pekerja yang bukan anggota serikat pekerja dan yang jumlahnya kurang dari seperempat di tempat kerja tersebut. Tujuan dari sistem ini adalah untuk menghilangkan ketidaksetaraan kondisi kerja di antara pekerja yang melakukan pekerjaan yang sama, menyatukan manajemen tenaga kerja, serta mencegah pengusaha dari memperlakukan pekerja non-anggota serikat lebih menguntungkan, yang dapat melemahkan solidaritas serikat pekerja.

Namun, terdapat batasan penting dalam penerapan kekuatan mengikat umum ini. Terutama, apakah perjanjian kerja bersama yang mengubah kondisi kerja menjadi tidak menguntungkan dapat diterapkan juga kepada pekerja non-anggota serikat menjadi sebuah isu. Kasus penting yang berkaitan dengan hal ini adalah insiden Asahi Fire & Marine Insurance (keputusan Mahkamah Agung Jepang tanggal 26 Maret 1996). Dalam kasus ini, Mahkamah Agung Jepang menyatakan bahwa, secara prinsip, kekuatan mengikat umum dari perjanjian kerja bersama yang memenuhi syarat tiga perempat atau lebih berlaku, bahkan jika isinya merugikan bagi pekerja non-anggota serikat. Namun, pengadilan juga menetapkan pengecualian penting. Yaitu, jika penerapan perjanjian kerja bersama kepada pekerja tersebut ‘dianggap sangat tidak masuk akal karena adanya keadaan khusus’, maka kekuatan hukumnya tidak berlaku. Dan, keberadaan ‘keadaan khusus’ ini harus dinilai dengan mempertimbangkan secara komprehensif tingkat dan isi kerugian yang diterima oleh pekerja non-anggota serikat, bagaimana perjanjian tersebut disepakati, dan apakah pekerja non-anggota tersebut memiliki kualifikasi untuk bergabung dengan serikat atau tidak.

Kasus ini memberikan implikasi penting bagi pengusaha. Fakta bahwa mereka telah mencapai kesepakatan dengan serikat pekerja mayoritas tidak berarti mereka dapat menerapkan kondisi kerja apa pun secara sepihak kepada pekerja minoritas yang bukan anggota serikat. Terutama, ketika menandatangani perjanjian kerja bersama yang mencakup perubahan merugikan seperti penurunan usia pensiun atau pemotongan gaji, dan ingin memperluas kekuatannya kepada pekerja non-anggota serikat, perlu dilakukan pemeriksaan hati-hati apakah perubahan tersebut tidak menghasilkan hasil yang sangat tidak masuk akal bagi pekerja non-anggota tertentu. Jika pengadilan menilai perubahan tersebut ‘sangat tidak masuk akal’, maka kekuatan hukum perjanjian kerja bersama terhadap pekerja non-anggota tersebut dapat ditolak, yang merupakan risiko hukum yang ada.

Pengakhiran Perjanjian Kerja Bersama di Jepang

Perjanjian kerja bersama di Jepang tidak bersifat permanen setelah disepakati dan dapat berakhir karena berbagai alasan tertentu. Namun, prosedur pengakhiran dan efek hukum setelah pengakhiran memerlukan pertimbangan khusus.

Alasan utama pengakhiran perjanjian kerja bersama adalah sebagai berikut:

  1. Berakhirnya masa berlaku: Menurut Pasal 15 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang, masa berlaku perjanjian kerja bersama tidak dapat melebihi tiga tahun. Perjanjian yang menetapkan masa berlaku akan kehilangan kekuatan hukumnya setelah masa tersebut berakhir. Namun, melalui kesepakatan antara pengusaha dan pekerja, dimungkinkan untuk menetapkan ‘klausul perpanjangan otomatis’ yang memperbarui perjanjian secara otomatis dengan kondisi yang sama saat masa berlaku berakhir.
  2. Pengakhiran berdasarkan kesepakatan bersama: Baik ada ketentuan masa berlaku atau tidak, perjanjian kerja bersama dapat diakhiri kapan saja jika kedua belah pihak, pengusaha dan pekerja, sepakat.
  3. Pengakhiran sepihak: Perjanjian kerja bersama yang tidak menetapkan masa berlaku (termasuk perjanjian yang diperbarui melalui klausul perpanjangan otomatis) dapat diakhiri secara sepihak oleh salah satu pihak dengan memberikan pemberitahuan tertulis yang ditandatangani atau disegel paling tidak 90 hari sebelumnya kepada pihak lainnya (Pasal 15 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang).

Ketika pengusaha ingin menggunakan hak pengakhiran sepihak ini, mereka harus berhati-hati. Meskipun peraturan hukum tidak menuntut alasan khusus untuk pengakhiran, jika motif pengakhiran tersebut tidak sah, hal ini dapat menimbulkan masalah hukum. Pasal 7 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang melarang pengusaha dari mengendalikan atau mengintervensi operasional serikat pekerja, yang dikenal sebagai ‘tindakan buruh yang tidak adil’. Dan, menurut yurisprudensi, jika pengakhiran perjanjian kerja bersama oleh pengusaha dianggap dilakukan tanpa alasan bisnis yang sah dan semata-mata bertujuan untuk melemahkan serikat pekerja, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai tindakan buruh yang tidak adil (Kasus Bank Suruga, Putusan Pengadilan Tinggi Tokyo, 26 Desember 1990). Oleh karena itu, penting bagi pengusaha untuk mempersiapkan penjelasan yang rasional atas keputusan mereka untuk mengakhiri perjanjian secara sepihak, guna menghindari risiko tindakan buruh yang tidak adil.

Lebih lanjut, terdapat poin hukum yang perlu diperhatikan mengenai hubungan antara pengusaha dan pekerja setelah perjanjian kerja bersama berakhir. Konsep ini dikenal sebagai ‘efek sisa’. Ini berarti bahwa meskipun perjanjian kerja bersama secara formal kehilangan kekuatan hukumnya karena berakhirnya masa berlaku, kondisi kerja yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut tetap berlaku secara faktual sebagai bagian dari kontrak kerja individu. Kondisi kerja yang terbentuk melalui perjanjian tidak akan kembali ke keadaan sebelum perjanjian atau diturunkan ke standar minimum hukum, kecuali jika perjanjian kerja bersama baru disepakati atau diubah melalui prosedur hukum yang sah (misalnya, perubahan yang merugikan secara rasional pada peraturan kerja). Keberadaan efek sisa ini berarti bahwa pengusaha tidak dapat langsung menurunkan kondisi kerja secara sepihak setelah mengakhiri perjanjian kerja bersama, dan ini merupakan batasan hukum penting yang harus disadari sepenuhnya saat membuat keputusan manajemen.

Kesimpulan

Seperti yang telah dijelaskan dalam artikel ini, perjanjian kerja bersama memiliki posisi yang sangat penting dalam sistem hukum ketenagakerjaan Jepang sebagai dokumen hukum yang sangat kuat. Efektivitasnya mengutamakan aturan kerja yang ditetapkan oleh pengusaha dan kontrak kerja individu dengan pekerja, serta secara langsung mengatur kondisi kerja. Para manajer dan staf hukum harus memahami bahwa penandatanganan perjanjian kerja bersama memerlukan persyaratan ketat berupa dokumen tertulis dan tanda tangan atau cap, sehingga mereka harus menghindari kesepakatan lisan yang dapat menimbulkan ikatan hukum yang tidak diinginkan. Selain itu, mereka perlu membedakan antara ‘efek normatif’ yang membentuk hak dan kewajiban individu pekerja dan ‘efek obligasi’ sebagai janji antarorganisasi dengan serikat pekerja, serta mengelola risiko hukum yang berbeda yang timbul dari masing-masing aspek tersebut. Juga, ketika anggota serikat pekerja mencakup lebih dari tiga perempat tempat kerja, ada sistem ‘kekuatan mengikat umum’ yang memperluas efek perjanjian kepada non-anggota, tetapi jika ada perubahan yang merugikan, perlu diingat bahwa hal tersebut dapat diperiksa keadilannya oleh pengadilan. Ketika mengakhiri perjanjian, prosedur yang hati-hati diperlukan karena pembatalan sepihak dapat dianggap sebagai tindakan buruh yang tidak adil dan ada prinsip hukum ‘efek sisa’ yang menyatakan bahwa kondisi kerja tetap berlaku setelah perjanjian berakhir. Perjanjian kerja bersama berkontribusi pada stabilitas hubungan industrial, namun sekali disepakati, dapat memberikan dampak jangka panjang dan signifikan terhadap keputusan manajemen perusahaan.

Kantor Hukum Monolith kami memiliki rekam jejak yang kuat dalam memberikan nasihat dan dukungan yang luas kepada banyak klien di Jepang terkait masalah hukum perjanjian kerja bersama yang dijelaskan dalam artikel ini. Kantor kami juga memiliki beberapa anggota yang berkualifikasi sebagai pengacara di luar negeri dan berbicara bahasa Inggris, yang memungkinkan kami untuk mendukung perusahaan yang melakukan ekspansi bisnis internasional dalam menangani regulasi ketenagakerjaan yang kompleks di Jepang dari sudut pandang strategis. Kami menyediakan layanan hukum profesional di semua tahapan, mulai dari negosiasi penandatanganan perjanjian kerja bersama baru, peninjauan perjanjian yang ada, hingga penanganan sengketa dengan serikat pekerja.

Managing Attorney: Toki Kawase

The Editor in Chief: Managing Attorney: Toki Kawase

An expert in IT-related legal affairs in Japan who established MONOLITH LAW OFFICE and serves as its managing attorney. Formerly an IT engineer, he has been involved in the management of IT companies. Served as legal counsel to more than 100 companies, ranging from top-tier organizations to seed-stage Startups.

Kembali ke atas