Kerangka Hukum Kewenangan Personalia dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang: Panduan untuk Para Manajer

Kewenangan personalia yang menjadi inti dari manajemen perusahaan adalah hak yang esensial bagi perusahaan untuk mengoperasikan organisasinya dengan lancar, berdasarkan kontrak kerja dengan pekerja. Hak ini mencakup berbagai keputusan yang luas, seperti memerintahkan promosi atau degradasi karyawan, perpindahan tempat kerja atau perubahan isi pekerjaan, penugasan ke perusahaan terkait, dan perintah cuti saat karyawan mengalami cedera atau sakit. Namun, dalam sistem hukum ketenagakerjaan Jepang, kewenangan personalia ini tidaklah tanpa batasan. Kewenangan personalia yang dimiliki perusahaan harus dilaksanakan dalam kerangka hukum yang dibentuk oleh peraturan ketenagakerjaan dan yurisprudensi, dan prinsip dasar yang paling penting adalah ‘doktrin penyalahgunaan hak’. Doktrin ini menyatakan bahwa meskipun secara formal merupakan pelaksanaan hak yang sah, jika melampaui batas yang secara sosial dapat diterima dalam situasi konkret, maka efektivitasnya dapat ditolak. Khususnya, dalam praktik ketenagakerjaan di Jepang, bukanlah hal yang umum untuk mendetailkan setiap situasi personalia dalam kontrak kerja individu, melainkan aturan umum perusahaan yang ditetapkan dalam peraturan kerja menjadi dasar kewenangan personalia. Oleh karena itu, memahami bagaimana kewenangan luas yang ditetapkan dalam peraturan kerja secara hukum dibatasi dalam kasus individu sangat penting bagi menjalankan bisnis di Jepang. Artikel ini akan fokus pada empat tema personalia utama: pelatihan dan pengembangan, promosi dan degradasi, perpindahan dan penugasan, serta cuti karena cedera atau sakit, dan akan menjelaskan persyaratan hukum dan batasan dalam pelaksanaan kewenangan personalia berdasarkan peraturan hukum dan kasus hukum yang spesifik.
Dasar Hukum Kewenangan Personalia: Prinsip Kepercayaan dan Kejujuran serta Larangan Penyalahgunaan Hak di Jepang
Di bawah hukum kontrak kerja Jepang, setiap keputusan yang berkaitan dengan kewenangan personalia perusahaan didasarkan pada dua prinsip dasar. Prinsip pertama adalah prinsip kepercayaan dan kejujuran, yang menetapkan bahwa “hak harus dilaksanakan dan kewajiban harus dipenuhi dengan itikad baik dan kejujuran”. Prinsip kedua adalah larangan penyalahgunaan hak, yang menyatakan bahwa “dalam melaksanakan hak berdasarkan kontrak kerja, tidak boleh ada penyalahgunaan hak tersebut”. Prinsip-prinsip ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 3 Ayat 4 dan Ayat 5 dari Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang, yang menunjukkan pemikiran dasar dalam mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja.
Prinsip larangan penyalahgunaan hak secara khusus diwujudkan dalam pasal-pasal tertentu yang berkaitan dengan penggunaan kewenangan personalia yang memiliki dampak signifikan terhadap pekerja, seperti penugasan (Pasal 14 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang), disiplin (Pasal 15), dan pemutusan hubungan kerja (Pasal 16). Pasal-pasal ini merupakan kodifikasi dari prinsip hukum yang telah dibentuk oleh pengadilan melalui akumulasi putusan hukum selama bertahun-tahun.
Kerangka hukum ini tidak hanya menuntut pengusaha untuk mematuhi pasal-pasal hukum secara pasif. Sebaliknya, ia menuntut tanggung jawab aktif untuk selalu siap membuktikan bahwa setiap keputusan personalia dibuat berdasarkan pertimbangan yang objektif dan rasional, didasarkan pada kebutuhan operasional, dan seimbang dengan kerugian yang mungkin ditimbulkan kepada pekerja. Jika penggunaan kewenangan personalia dipersoalkan di pengadilan, pihak perusahaan memiliki tanggung jawab untuk membuktikan bahwa keputusan tersebut tidak bersifat sewenang-wenang, melainkan merupakan pertimbangan manajemen yang sah berdasarkan prosedur yang adil. Oleh karena itu, penting untuk menyiapkan prosedur internal yang jelas dan adil, mendokumentasikan alasan penilaian kinerja dan perintah mutasi, serta menerapkan operasional yang konsisten untuk mengelola risiko hukum secara efektif.
Pelatihan sebagai Perintah Kerja di Bawah Hukum Jepang
Di Jepang, otoritas perusahaan untuk memerintahkan karyawan mengikuti pelatihan diakui sebagai bagian dari hak perintah kerja yang luas yang melekat pada kontrak kerja. Meskipun Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang dan Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang tidak secara langsung mengatur tentang hak untuk memerintahkan pelatihan, hak ini telah ditegakkan melalui yurisprudensi sebagai bagian dari otoritas untuk memberikan instruksi yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan dan pengembangan kemampuan karyawan. Secara prinsip, pemberi kerja dapat memerintahkan pelatihan kepada karyawan berdasarkan kebutuhan kerja dan atas kebijakannya sendiri.
Namun, hak perintah kerja ini juga dibatasi oleh doktrin penyalahgunaan hak. Jika perintah pelatihan secara signifikan kehilangan kewajaran dalam tujuan, konten, atau metodenya menurut norma sosial dan melanggar hak pribadi karyawan, maka perintah tersebut dapat dianggap sebagai penyalahgunaan hak yang ilegal.
Sebagai contoh penting dari kasus hukum terkait, dapat disebutkan kasus Honjo Maintenance District (putusan Pengadilan Distrik Akita, 14 Desember 1990). Dalam kasus ini, sebuah perusahaan kereta api memerintahkan seorang karyawan untuk menyalin peraturan kerja di depan staf lain selama sekitar satu setengah hari karena pelanggaran peraturan kerja. Pengadilan menilai bahwa meskipun perintah tersebut diberi nama pelatihan, pada kenyataannya tidak memiliki tujuan pendidikan yang sah seperti peningkatan keterampilan, melainkan merupakan tindakan punitif yang dilakukan sebagai peringatan. Pengadilan memutuskan bahwa metode seperti itu merupakan pelanggaran serius terhadap martabat karyawan dan merupakan penyalahgunaan hak perintah kerja yang ilegal karena melampaui batas diskresi yang diperbolehkan.
Seperti yang ditunjukkan oleh kasus ini, pengadilan tidak terikat oleh nama formal “pelatihan” tetapi akan meneliti tujuan dan niat substansial dari pelatihan tersebut. Khususnya, ketika pelatihan dilakukan dengan alasan kurangnya kemampuan karyawan dalam melaksanakan tugasnya, program tersebut harus secara objektif menunjukkan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan kemampuan yang sebenarnya, bukan sebagai hukuman atau pelecehan. Oleh karena itu, perusahaan perlu mendokumentasikan secara jelas tujuan, konten, dan durasi program pelatihan, serta memastikan bahwa metodenya sesuai dengan norma sosial. Hal ini akan menunjukkan bahwa perintah tersebut didasarkan pada pertimbangan manajemen yang konstruktif, bukan niat punitif, dan menjadi argumen yang efektif terhadap klaim penyalahgunaan hak.
Penilaian Promosi, Kenaikan, dan Penurunan Jabatan serta Poin Hukum yang Perlu Diperhatikan di Jepang
Keputusan mengenai promosi, kenaikan, dan penurunan jabatan karyawan merupakan salah satu elemen inti dari wewenang personalia. Khususnya untuk promosi dan kenaikan jabatan, keputusan manajemen perusahaan cenderung dihormati. Namun, dalam hal penurunan jabatan yang merugikan karyawan, diperlukan pertimbangan yang lebih hati-hati agar keputusan tersebut tidak dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Jika perintah penurunan jabatan tidak didasarkan pada kebutuhan pekerjaan yang sah, memiliki motif atau tujuan yang tidak adil (misalnya, pelecehan), atau memberikan kerugian yang jauh melampaui batas yang dapat diterima secara sosial kepada karyawan, maka bisa dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang personalia dan berpotensi dinyatakan tidak sah.
Sebagai contoh, dalam kasus Organisasi Promosi Pariwisata Internasional Jepang (Keputusan Pengadilan Distrik Tokyo, 17 Mei 2007), penurunan jabatan yang didasarkan hanya pada penilaian subjektif dari atasan yang tidak memahami sepenuhnya realitas kerja di luar negeri dianggap tidak memiliki alasan yang objektif dan rasional, sehingga dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang personalia dan dinyatakan tidak sah. Putusan ini menunjukkan bahwa evaluasi personalia yang menjadi dasar penurunan jabatan harus dilakukan berdasarkan kriteria yang adil dan objektif.
Lebih lanjut, saat mempertimbangkan penurunan jabatan, sangat penting untuk membedakan secara hukum antara ‘penurunan jabatan’ dan ‘pengurangan gaji’. Penurunan jabatan tidak serta merta memungkinkan pengurangan gaji secara otomatis. Pengurangan gaji merupakan perubahan kondisi kerja yang merugikan bagi pekerja, sehingga tanpa adanya ketentuan dasar yang jelas dalam peraturan kerja atau skema penggajian yang menghubungkan posisi atau tingkat pekerjaan dengan jumlah gaji, pengurangan gaji tidak dapat dilakukan secara sepihak. Dalam kasus HP Jepang (Keputusan Pengadilan Distrik Tokyo, 9 Juni 2023), pengurangan gaji dasar yang disebabkan oleh penurunan jabatan dari posisi manajerial dinyatakan tidak sah karena aturan pengurangan gaji tersebut tidak cukup diketahui di dalam perusahaan.
Dari kasus-kasus hukum ini, arahan manajemen yang dapat diambil adalah pentingnya membangun dan mengoperasikan sistem personalia yang sistematis dan transparan sebagai prasyarat dalam pelaksanaan wewenang personalia terkait penurunan jabatan. Secara spesifik, perlu untuk menetapkan secara jelas konten pekerjaan dan persyaratan kemampuan yang dibutuhkan untuk setiap posisi, serta menetapkan sistem evaluasi yang objektif berdasarkan hal tersebut. Selain itu, perlu untuk mengaitkan secara jelas tabel gaji dengan tingkat pekerjaan dalam peraturan kerja. Tanpa dasar sistematis seperti ini, penurunan jabatan yang tampak sah sekalipun, terutama jika disertai dengan pengurangan gaji, berisiko tinggi berkembang menjadi sengketa hukum.
Perubahan Penempatan Karyawan: Rotasi dan Penugasan di Jepang
Ada dua jenis utama perubahan penempatan karyawan dalam manajemen sumber daya manusia di Jepang, yaitu ‘rotasi’ dan ‘penugasan’, dan keduanya memiliki karakteristik serta persyaratan hukum yang sangat berbeda.
Mutasi dalam Satu Perusahaan di Jepang
Mutasi adalah perubahan posisi atau lokasi kerja karyawan dalam satu perusahaan yang sama. Perubahan lokasi kerja yang melibatkan pindah tempat disebut juga dengan ‘pemindahan’. Hak perusahaan untuk memerintahkan mutasi didasarkan pada kontrak kerja itu sendiri, dan jika peraturan kerja atau perjanjian kerja bersama menyatakan bahwa ‘perusahaan dapat memerintahkan perubahan penempatan karyawan sesuai dengan kebutuhan bisnis’, maka tidak diperlukan persetujuan individu dari karyawan untuk setiap mutasi yang terjadi.
Namun, hak untuk memerintahkan mutasi ini tidak tanpa batasan dan dibatasi oleh doktrin penyalahgunaan hak. Kasus penting terkait hal ini di Jepang adalah kasus Toa Paint (keputusan Mahkamah Agung Jepang tanggal 14 Juli 1986). Dalam keputusan ini, Mahkamah Agung Jepang menetapkan tiga kriteria untuk menentukan apakah perintah mutasi merupakan penyalahgunaan hak:
- Jika perintah mutasi tidak memiliki kebutuhan bisnis yang nyata.
- Jika perintah mutasi dilakukan dengan motif atau tujuan yang tidak adil.
- Jika perintah mutasi memberikan kerugian yang jauh melebihi tingkat yang biasanya dapat diterima oleh pekerja.
Khususnya, interpretasi modern yang diperlukan adalah pada poin ketiga, ‘kerugian yang jauh melebihi’. Pada saat keputusan itu dibuat, penugasan yang melibatkan hidup terpisah dari keluarga, seperti penugasan satu orang tanpa keluarga, cenderung dianggap sebagai kerugian yang dapat diterima bagi karyawan tetap. Namun, dengan pertimbangan undang-undang yang dibuat setelahnya, seperti ‘Undang-Undang Kesejahteraan Pekerja yang Melakukan Pengasuhan Anak atau Perawatan Keluarga’, saat ini, pertimbangan terhadap kerugian yang ditanggung oleh karyawan dalam kehidupan keluarga, terutama dalam hal pengasuhan anak atau perawatan keluarga, menjadi lebih ditekankan. Oleh karena itu, ketika perusahaan memerintahkan mutasi yang melibatkan pindah rumah, sangat penting untuk memeriksa situasi keluarga karyawan yang bersangkutan dan mempertimbangkan keadaan tersebut secara menyeluruh sebelum membuat keputusan, agar dapat menghindari risiko dianggap sebagai penyalahgunaan hak.
Pemindahan ke Perusahaan Lain (Penugasan)
Penugasan adalah situasi di mana seorang karyawan tetap mempertahankan kontrak kerja dengan perusahaan asalnya, namun bekerja di bawah perintah dan pengawasan perusahaan lain (perusahaan tujuan penugasan) untuk periode waktu tertentu. Karena otoritas perintah dan pengawasan berpindah dari perusahaan asal ke perusahaan tujuan penugasan, hal ini dapat membawa perubahan signifikan pada lingkungan kerja karyawan. Oleh karena itu, penugasan memerlukan dasar hukum yang lebih ketat dibandingkan dengan perpindahan posisi biasa.
Menurut Pasal 625 Ayat (1) dari Hukum Perdata Jepang, pemberi kerja dilarang untuk mentransfer hak-hak pekerja kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pekerja, dan prinsip ini juga berlaku untuk penugasan. Dengan demikian, secara prinsip, penugasan memerlukan persetujuan dari pekerja. Namun, berdasarkan yurisprudensi, meskipun tidak ada persetujuan individu, jika terdapat ketentuan dalam peraturan kerja atau perjanjian kerja yang menyatakan bahwa penugasan dapat terjadi, dan jika syarat-syarat kerja di perusahaan tujuan penugasan, durasi penugasan, dan aturan tentang kembali ke perusahaan asal telah ditetapkan dengan jelas, maka penugasan dapat dianggap sah dengan adanya persetujuan secara menyeluruh.
Lebih lanjut, Pasal 14 dari Hukum Kontrak Kerja Jepang secara eksplisit mengatur tentang penyalahgunaan hak dalam konteks perintah penugasan. Menurut pasal ini, meskipun pemberi kerja memiliki hak untuk memberikan perintah penugasan, jika perintah tersebut dianggap sebagai penyalahgunaan hak dengan mempertimbangkan kebutuhan, situasi pemilihan pekerja yang bersangkutan, dan keadaan lainnya, maka perintah tersebut dapat dinyatakan tidak sah.
Sebagai poin penting dalam manajemen, penting untuk mengklarifikasi ‘tujuan’ dari penugasan. Hukum Stabilitas Pekerjaan Jepang pada prinsipnya melarang ‘bisnis penyediaan tenaga kerja’ yang menyediakan pekerja kepada perusahaan lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, penugasan harus dilakukan dengan tujuan manajemen yang jelas dan sah, seperti bimbingan teknis antar perusahaan dalam satu grup, pengembangan sumber daya manusia, atau penyesuaian tenaga kerja sementara. Mendokumentasikan tujuan tersebut dan dapat menjelaskan kebutuhan bisnis secara objektif tidak hanya memenuhi persyaratan yang diminta oleh Pasal 14 Hukum Kontrak Kerja, tetapi juga penting untuk menghindari dugaan bisnis penyediaan tenaga kerja yang ilegal.
Perbandingan Antara Penugasan dan Delegasi di Bawah Hukum Ketenagakerjaan Jepang
Untuk memahami perbedaan hukum antara penugasan dan delegasi dengan jelas, kami telah merangkum poin-poin utama dalam tabel di bawah ini.
Item Perbandingan | Penugasan | Delegasi |
Definisi | Perubahan isi pekerjaan dan lokasi kerja dalam perusahaan yang sama | Bekerja di bawah perintah perusahaan lain sambil tetap terdaftar di perusahaan asal |
Pemberi Perintah | Perusahaan asal (tanpa perubahan) | Perusahaan tempat delegasi |
Dasar Hukum | Kontrak kerja (terutama ketentuan komprehensif dalam peraturan kerja) | Persetujuan pekerja (persetujuan individu atau persetujuan komprehensif yang sah) |
Prinsip Hukum yang Berlaku | Yurisprudensi (Kasus Toa Paint) | Artikel 14 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang (pengkodifikasian prinsip penyalahgunaan hak) |
Kebutuhan Persetujuan | Jika ada dasar dalam peraturan kerja, prinsipnya persetujuan individu tidak diperlukan | Persetujuan individu adalah prinsip. Persetujuan komprehensif memiliki persyaratan yang ketat |
Penanganan Cuti Karyawan dan Respons yang Tepat di Bawah Hukum Jepang
Proses Pemberian Cuti kepada Karyawan
Ketika seorang karyawan tidak dapat bekerja untuk jangka waktu yang lama karena penyakit atau cedera pribadi yang tidak terkait dengan pekerjaan (shishoubyou), perusahaan dapat memberikan cuti sesuai dengan ketentuan dalam peraturan kerja yang telah ditetapkan.
Di bawah hukum ketenagakerjaan Jepang, tidak ada ketentuan hukum langsung yang mengatur tentang cuti karena shishoubyou, dan sistem ini ditetapkan oleh masing-masing perusahaan dalam peraturan kerjanya. Secara hukum, sistem cuti karena shishoubyou dianggap sebagai “tindakan penangguhan pemecatan”. Pada dasarnya, ketidakmampuan untuk bekerja dalam jangka waktu panjang karena shishoubyou dapat dianggap sebagai pelanggaran kewajiban kontrak kerja yang dapat menjadi alasan pemecatan, namun dengan menetapkan sistem cuti, perusahaan dapat menunggu pemulihan karyawan selama periode tertentu dan menahan hak untuk melakukan pemecatan selama waktu tersebut.
Saat memberikan cuti, sangat penting untuk memiliki prosedur yang jelas. Bukan hanya instruksi lisan atau membiarkan karyawan terus absen dalam keadaan yang tidak jelas, tetapi penting untuk memberikan “Surat Perintah Cuti” kepada karyawan yang mencantumkan dasar hukum dari peraturan kerja, tanggal mulai dan berakhirnya periode cuti, metode komunikasi selama cuti, dan penanganan jika karyawan tidak dapat kembali bekerja setelah periode cuti berakhir (biasanya dianggap sebagai pengunduran diri alami atau pemecatan). Ini penting untuk menghindari sengketa di kemudian hari.
Proses Penentuan Kembali Bekerja
Ketika periode cuti hampir berakhir dan ada permintaan dari karyawan untuk kembali bekerja, perusahaan harus membuat keputusan dengan hati-hati tentang apakah akan mengizinkan karyawan tersebut kembali bekerja. Proses penentuan ini bukan hanya prosedur untuk memverifikasi pemulihan medis, tetapi juga merupakan proses manajemen risiko yang penting yang berkaitan dengan kewajiban perusahaan untuk mempertimbangkan keselamatan.
Keputusan akhir tentang apakah akan mengizinkan karyawan kembali bekerja ada pada perusahaan. Dan, secara prinsip, kriteria untuk kembali bekerja adalah “pemulihan kondisi kesehatan sehingga dapat melakukan pekerjaan yang sama seperti sebelum cuti, pada tingkat yang normal”. Keputusan ini harus dibuat berdasarkan bukti objektif dan secara komprehensif.
Peran sentral dalam proses ini adalah pandangan medis dari dokter yang merawat karyawan dan dokter perusahaan yang ditunjuk oleh perusahaan. Meskipun surat keterangan “dapat kembali bekerja” dari dokter yang merawat adalah dokumen penting, itu saja tidak cukup untuk membuat keputusan kembali bekerja. Dokter yang merawat adalah ahli yang bertanggung jawab atas perawatan rutin, tetapi tidak selalu mengetahui secara mendalam tentang tugas-tugas spesifik pasien atau lingkungan kerja. Di sisi lain, dokter perusahaan adalah ahli yang dapat memberikan pendapat tentang kelayakan bekerja dari sudut pandang medis, dengan memahami lingkungan kerja perusahaan dan konten pekerjaan karyawan yang bersangkutan.
Dalam praktik, tidak jarang terjadi perbedaan pendapat antara dokter yang merawat dan dokter perusahaan. Dalam kasus hukum terbaru, ketika ada konflik pendapat antara keduanya, kecenderungan untuk memberikan bobot lebih pada pendapat dokter perusahaan telah terlihat. Dalam kasus Hope Net (Putusan Pengadilan Distrik Tokyo, 10 April 2023), meskipun dokter yang merawat menilai bahwa karyawan dapat kembali bekerja, dokter perusahaan yang mengamati perilaku dan perkembangan gejala karyawan menyatakan bahwa kembali bekerja sulit, dan tindakan perusahaan yang tidak mengizinkan kembali bekerja dan menganggap karyawan tersebut mengundurkan diri setelah periode cuti berakhir, telah disetujui oleh pengadilan.
Oleh karena itu, perusahaan harus menetapkan proses dalam peraturan kerja untuk mendapatkan surat keterangan dari dokter yang merawat dan kemudian melakukan wawancara dengan dokter perusahaan untuk mendengarkan pendapatnya. Jika masih ragu dalam membuat keputusan, menggunakan sistem “coba kerja” yang memungkinkan karyawan untuk bekerja dengan beban kerja yang lebih ringan untuk periode tertentu dapat menjadi cara yang efektif untuk menilai secara objektif kondisi pemulihan karyawan. Keputusan kembali bekerja yang terburu-buru dapat menyebabkan kambuhnya penyakit karyawan dan menimbulkan risiko pelanggaran kewajiban perusahaan untuk mempertimbangkan keselamatan, sehingga diperlukan pertimbangan yang hati-hati dan dari berbagai sudut pandang.
Kesimpulan
Seperti yang telah diuraikan dalam artikel ini, pelaksanaan wewenang personalia di bawah sistem hukum ketenagakerjaan Jepang memerlukan keseimbangan antara diskresi luas perusahaan dan batasan hukum yang ketat melalui doktrin penyalahgunaan hak. Di berbagai situasi seperti pelatihan dan pengembangan, promosi dan degradasi, mutasi dan penugasan, serta cuti, penting untuk menunjukkan secara objektif bahwa keputusan tersebut didasarkan pada kebutuhan rasional bisnis, dilakukan melalui prosedur yang adil, dan tidak mengabaikan pertimbangan terhadap pekerja. Hal ini merupakan kunci untuk menghindari risiko hukum dan mempertahankan hubungan industrial yang sehat. Isu-isu personalia ini tidak hanya erat kaitannya dengan pengelolaan organisasi perusahaan tetapi juga merupakan area yang rentan terhadap konflik hukum.
Kantor Hukum Monolith memiliki rekam jejak yang luas dalam memberikan nasihat hukum ketenagakerjaan kepada klien dari berbagai sektor industri di Jepang, termasuk tema-tema yang dibahas dalam artikel ini. Kantor kami memiliki spesialis yang tidak hanya berkualifikasi sebagai pengacara Jepang tetapi juga memiliki kualifikasi pengacara dari negara lain dan merupakan penutur bahasa Inggris. Mereka memiliki pemahaman mendalam tentang perspektif manajemen internasional dan regulasi hukum Jepang. Ini memungkinkan kami untuk menjembatani kesenjangan yang mungkin timbul antara budaya perusahaan dan sistem personalia luar negeri dengan persyaratan hukum ketenagakerjaan Jepang, serta menyediakan dukungan hukum praktis dan efektif yang disesuaikan dengan situasi masing-masing perusahaan. Mulai dari pembangunan sistem personalia hingga konsultasi mengenai perubahan personalia individu, Kantor Hukum Monolith siap mendukung aktivitas bisnis Anda dari sisi hukum dengan kuat.
Category: General Corporate