Periode Percobaan dan Status Hukum Pekerja Non-Reguler dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang

Hukum ketenagakerjaan di Jepang telah membangun sistem yang kuat untuk melindungi pekerja. Perlindungan ini muncul dalam bentuk pembatasan yang signifikan terhadap kemampuan pemberi kerja untuk mengakhiri kontrak kerja secara sepihak, yaitu pemutusan hubungan kerja, setelah kontrak kerja resmi terbentuk. Namun, dari sudut pandang manajemen perusahaan, ada kebutuhan untuk menilai apakah talenta yang baru direkrut benar-benar cocok dengan budaya dan tugas-tugas perusahaan melalui pekerjaan sehari-hari. Mekanisme hukum yang dirancang untuk menyeimbangkan tuntutan manajemen ini dengan prinsip perlindungan pekerja adalah sistem ‘periode percobaan’. Meskipun banyak perusahaan menggunakan periode percobaan sebagai bagian dari proses perekrutan, sering terjadi kesalahpahaman mengenai sifat hukumnya dan legalitas mengakhiri kontrak kerja selama atau setelah periode percobaan. Secara hukum, kontrak kerja selama periode percobaan dikategorikan sebagai ‘kontrak kerja dengan hak pembatalan yang ditangguhkan’, dan tindakan mengakhiri kontrak tersebut dianggap sebagai ‘pemutusan hubungan kerja’. Oleh karena itu, keabsahannya harus dinilai dalam kerangka peraturan pemutusan hubungan kerja yang ketat yang ditetapkan oleh hukum ketenagakerjaan Jepang. Artikel ini akan menjelaskan legalitas penggunaan hak pembatalan yang ditangguhkan selama periode percobaan, berdasarkan kriteria penilaian pengadilan Jepang dan contoh kasus konkret. Selain itu, kami juga akan mempertimbangkan masalah hukum yang berkaitan dengan bentuk pekerjaan non-reguler yang memiliki fungsi serupa dengan periode percobaan, khususnya pada sistem penempatan kerja dengan rencana pengenalan pekerjaan.
Karakteristik Hukum Masa Percobaan: Kontrak Kerja dengan Hak Pemutusan Bersyarat di Jepang
Dalam praktik hukum ketenagakerjaan di Jepang, karakteristik hukum masa percobaan telah didefinisikan dengan jelas melalui prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan oleh yurisprudensi. Masa percobaan yang banyak diterapkan oleh perusahaan pada saat perekrutan bukan sekadar periode evaluasi, melainkan diinterpretasikan sebagai periode di mana kontrak kerja resmi telah terbentuk antara pengguna tenaga kerja dan pekerja sejak hari pertama. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan mendasar dalam status hukum antara pekerja selama masa percobaan dan pekerja yang telah diterima secara penuh.
Ciri khas yang membedakan kontrak kerja selama masa percobaan dengan kontrak kerja biasa terletak pada hak ‘pemutusan’ yang disimpan oleh pengguna tenaga kerja. Keputusan Mahkamah Agung Jepang pada tanggal 12 Desember 1973 (dalam kasus yang dikenal sebagai Peristiwa Mitsubishi Jushi) masih berlaku hingga hari ini sebagai preseden yang memandu di bidang ini. Dalam keputusan tersebut, Mahkamah Agung mendefinisikan kontrak kerja selama masa percobaan sebagai ‘kontrak kerja dengan hak pemutusan bersyarat’. Ini merupakan kontrak yang bertujuan untuk memungkinkan pengguna tenaga kerja mengamati kelayakan, sifat, dan kemampuan pekerja terkait dengan pekerjaannya selama periode tertentu, karena informasi yang dapat dikumpulkan pada tahap awal perekrutan terbatas, dan berdasarkan evaluasi tersebut, pengguna tenaga kerja memiliki hak untuk membuat keputusan akhir tentang penerimaan pekerja secara penuh.
Oleh karena itu, tindakan menolak penerimaan pekerja sepenuhnya setelah berakhirnya masa percobaan, atau mengakhiri kontrak selama masa percobaan, bukan merupakan penolakan untuk membuat kontrak baru, melainkan tindakan pemutusan kontrak kerja yang sudah ada dari pihak pengguna tenaga kerja secara sepihak, yang sesuai dengan ‘pemecatan’. Pemahaman tentang karakteristik hukum ini sangat penting dalam mengelola sumber daya manusia dan tenaga kerja yang berkaitan dengan masa percobaan. Hal ini karena, sebagaimana tindakan tersebut merupakan ‘pemecatan’, maka akan tunduk pada regulasi pemecatan yang ketat sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang yang akan dibahas lebih lanjut.
Batasan Penggunaan Hak Pembatalan Bersyarat: Prinsip Penyalahgunaan Hak Pemutusan Hubungan Kerja di Jepang
Hak pembatalan bersyarat yang disimpan oleh pengguna selama periode percobaan dalam kontrak kerja tidak dapat digunakan tanpa batas. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan hak pembatalan bersyarat secara hukum dianggap sebagai “pemutusan hubungan kerja” dan oleh karena itu, tunduk pada regulasi ketat dari prinsip penyalahgunaan hak pemutusan hubungan kerja yang ditetapkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang.
Pasal 16 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang menyatakan bahwa “pemutusan hubungan kerja yang tidak memiliki alasan yang objektif dan rasional serta tidak dianggap wajar menurut norma sosial akan dianggap sebagai penyalahgunaan hak dan oleh karena itu, tidak sah.” Berdasarkan ketentuan ini, pengguna harus memenuhi dua persyaratan yaitu “alasan yang objektif dan rasional” serta “kesesuaian dengan norma sosial” ketika ingin memutuskan hubungan kerja dengan pekerja. Hal ini juga berlaku untuk pemutusan hubungan kerja selama periode percobaan.
Namun, dalam kasus pemutusan hubungan kerja selama periode percobaan, yurisprudensi mempertimbangkan kekhususan dari periode percobaan tersebut. Dalam putusan kasus Mitsubishi Jushi, diputuskan bahwa pemutusan hubungan kerja berdasarkan hak pembatalan bersyarat tidak dapat dibahas sama persis dengan pemutusan hubungan kerja setelah penerimaan pekerja secara resmi, dan untuk yang pertama, “kebebasan yang lebih luas dalam pemutusan hubungan kerja harus diakui” dibandingkan dengan yang terakhir. Ekspresi “kebebasan yang lebih luas” ini tidak berarti bahwa persyaratan untuk pemutusan hubungan kerja menjadi lebih longgar. Sebaliknya, ini berarti bahwa jangkauan alasan pemutusan hubungan kerja menjadi lebih luas. Secara spesifik, karena tujuan dari periode percobaan adalah untuk menilai kelayakan pekerja, jika hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa pekerja tersebut tidak memenuhi kelayakan berdasarkan bukti yang objektif dan rasional, maka itu dapat menjadi alasan yang sah untuk pemutusan hubungan kerja. Meskipun sangat sulit untuk memutuskan hubungan kerja dengan pekerja yang telah diterima secara resmi hanya dengan alasan “kurangnya kelayakan,” selama periode percobaan, hal ini menjadi aspek penilaian utama.
Selain itu, ketika melaksanakan pemutusan hubungan kerja, pengguna juga harus mematuhi persyaratan prosedural. Pasal 20 Undang-Undang Standar Kerja Jepang mewajibkan pengguna untuk memberikan pemberitahuan setidaknya 30 hari sebelumnya atau membayar upah rata-rata selama 30 hari atau lebih (tunjangan pemberitahuan pemutusan hubungan kerja) ketika ingin memutuskan hubungan kerja dengan pekerja. Namun, untuk pekerja selama periode percobaan, jika pemutusan hubungan kerja dilakukan dalam waktu 14 hari setelah penerimaan, kewajiban pemberitahuan pemutusan hubungan kerja ini tidak berlaku.
Penilaian Keabsahan Penggunaan Hak Pembatalan dengan Penahanan Menurut Preseden Pengadilan di Jepang
Apakah penggunaan hak pembatalan dengan penahanan (留保解約権) dianggap “secara objektif rasional” dan “sesuai dengan norma sosial” atau tidak, akan dinilai oleh pengadilan Jepang berdasarkan kasus per kasus. Oleh karena itu, menganalisis preseden pengadilan adalah esensial untuk memahami kriteria penilaian keabsahan secara konkret.
Contoh Kasus di Mana Pemecatan Dianggap Sah di Bawah Hukum Jepang
Dalam kasus di mana pengadilan Jepang memutuskan bahwa pemecatan selama masa percobaan adalah sah, sering kali terdapat pengakuan bahwa karyawan tersebut secara objektif memiliki kekurangan yang signifikan dalam kemampuan atau kesesuaian yang diharapkan saat perekrutan. Khususnya, dalam kasus di mana seseorang direkrut sebagai profesional dengan keterampilan atau pengalaman tertentu, namun ternyata kekurangan kemampuan dasar, pemecatan cenderung lebih mudah diterima.
Sebagai contoh, dalam kasus di mana seorang karyawan yang direkrut sebagai ahli yang berkualifikasi dalam manajemen tenaga kerja sosial tidak dapat melaksanakan tugas dasar (Kasus Pakaian Ber-AC, Pengadilan Tinggi Tokyo, 3 Agustus 2016 (2016)), pengadilan memutuskan bahwa pemecatan tersebut sah. Dalam jenis kasus ini, kewajiban perusahaan untuk memberikan pelatihan yang luas seringkali diinterpretasikan sebagai terbatas. Demikian pula, dalam kasus di mana seorang karyawan perusahaan sekuritas yang direkrut sebagai tenaga kerja yang siap pakai tetap melakukan kesalahan berulang-ulang meskipun telah mendapat banyak arahan dan tidak menunjukkan perbaikan (Kasus Perusahaan G, Pengadilan Distrik Tokyo, 25 Februari 2019 (2019)), penolakan penerimaan sebagai karyawan tetap dianggap sah. Putusan-putusan ini menunjukkan bahwa, ketika kekurangan kemampuan inti yang menjadi prasyarat perekrutan jelas terlihat, penggunaan hak untuk membatalkan kontrak secara bersyarat dapat dibenarkan.
Kasus di Mana Pemecatan Dinyatakan Tidak Sah di Bawah Hukum Jepang
Di sisi lain, terdapat kasus di mana pengadilan di Jepang memutuskan pemecatan tidak sah karena ada masalah dalam cara pihak pengguna tenaga kerja menangani situasi tersebut. Tipe kasus yang umum meliputi situasi di mana alasan pemecatan kekurangan bukti objektif, atau pengguna tenaga kerja gagal memberikan bimbingan atau pendidikan yang diperlukan kepada karyawan.
Dalam kasus di mana sebuah perusahaan desain menolak pengangkatan tetap seorang karyawan yang direkrut sebagai tenaga berpengalaman karena kemampuan membuat gambar teknisnya dianggap rendah (Kasus Pemecatan Karyawan Perusahaan Desain, Pengadilan Distrik Tokyo, 28 Januari 2015), pengadilan menyatakan pemecatan tersebut tidak sah. Alasan yang diberikan adalah instruksi dari pihak perusahaan yang kurang spesifik dan kekurangan bukti objektif yang cukup untuk menyatakan bahwa kemampuan karyawan tersebut tidak memadai. Selain itu, dalam kasus di mana seorang karyawan yang direkrut sebagai dokter hewan melakukan kesalahan dalam pekerjaannya tetapi tidak dapat dikatakan bahwa tidak ada ruang untuk perbaikan, dan perusahaan menolak pengangkatan tetapnya (Kasus Fanimedik, Pengadilan Distrik Tokyo, 23 Juli 2013), pemecatan juga dinyatakan tidak sah. Dari kasus-kasus ini, dapat dilihat bahwa pengadilan Jepang menganggap periode percobaan bukan hanya sebagai waktu untuk menilai karyawan, tetapi juga sebagai waktu di mana pengguna tenaga kerja harus memberikan bimbingan yang tepat dan kesempatan untuk memperbaiki. Jika pihak pengguna tenaga kerja mengabaikan proses ini, bahkan jika karyawan memiliki masalah, risiko pemecatan dinyatakan tidak sah menjadi lebih tinggi.
Analisis Perbandingan
Ketika membandingkan kasus-kasus pengadilan ini, kita dapat melihat garis pemisah yang menentukan keabsahan pemecatan selama masa percobaan. Keputusan tersebut tidak hanya didasarkan pada kinerja karyawan, tetapi juga pada deskripsi pekerjaan saat perekrutan (apakah posisi tersebut adalah posisi profesional atau tidak), sifat dan keparahan masalah, dan yang paling penting, proses keseluruhan yang meliputi bimbingan dan kesempatan perbaikan yang diberikan oleh pemberi kerja. Pemecatan cenderung lebih mudah dibenarkan jika seorang profesional yang direkrut tidak dapat menunjukkan keahliannya, sementara bagi mereka yang tidak berpengalaman atau lulusan baru, perusahaan diharapkan memberikan bimbingan dan pendidikan yang lebih intensif. Pemecatan yang didasarkan pada ‘ketidakcukupan kemampuan’ yang ambigu sangat mungkin dianggap tidak sah secara hukum jika tidak didukung oleh catatan bimbingan yang konkret dan penilaian objektif.
Tabel berikut ini membandingkan poin-poin penting dari keputusan dalam kasus pengadilan yang representatif.
Alasan Pemecatan | Respon Perusahaan (Bimbingan, dll) | Keputusan Pengadilan | Implikasi bagi Manajemen | |
Kasus Pakaian Pendingin (2016) | Kekurangan keterampilan dasar yang diharapkan dari posisi profesional | Karena perekrutan posisi profesional, bimbingan dasar tidak diasumsikan | Sah | Dalam perekrutan posisi profesional, kekurangan keterampilan inti yang jelas dapat menjadi alasan pemecatan yang sah |
Kasus Perusahaan Desain (2015) | Kemampuan membuat gambar desain yang tidak memadai | Bimbingan dan instruksi yang tidak memadai atau tidak jelas | Tidak sah | Klaim ketidakcukupan kemampuan yang ambigu tanpa bimbingan konkret dan bukti objektif merupakan risiko tinggi |
Kasus Funimedik (2013) | Masalah dalam pekerjaan seperti kesalahan jumlah tagihan | Ada masalah, tetapi tidak dapat dipastikan tidak ada ruang untuk perbaikan | Tidak sah | Jika ada kemungkinan perbaikan bagi karyawan, pemecatan harus menjadi langkah terakhir dan dapat dianggap tidak sah |
Masalah Hukum yang Mirip dengan Masa Percobaan bagi Pekerja Non-Reguler di Jepang
Sama seperti masa percobaan, mekanisme untuk menilai kelayakan pekerja juga ada dalam lingkup pekerja non-reguler di Jepang. Khususnya, kerangka kerja pekerja lepas (dispatch work) menawarkan kemungkinan manajemen risiko hukum yang berbeda dari pekerjaan langsung.
Penolakan Pengangkatan Resmi dalam Sistem Pengiriman Tenaga Kerja dengan Rencana Pengangkatan di Jepang
“Sistem Pengiriman Tenaga Kerja dengan Rencana Pengangkatan” adalah bentuk penugasan tenaga kerja di mana pekerja lepas dipekerjakan secara langsung oleh perusahaan penerima setelah periode penugasan. Berdasarkan Undang-Undang Penugasan Pekerja di Jepang, periode penugasan dibatasi hingga maksimal enam bulan, yang berfungsi sebagai periode percobaan secara de facto.
Perbedaan hukum yang signifikan antara periode percobaan pengangkatan langsung dan Sistem Pengiriman Tenaga Kerja dengan Rencana Pengangkatan terletak pada sifat penolakan pengangkatan resmi setelah periode penugasan berakhir. Sementara penolakan pengangkatan resmi setelah periode percobaan pengangkatan langsung dianggap sebagai “pemecatan,” penolakan pengangkatan resmi dalam Sistem Pengiriman Tenaga Kerja dengan Rencana Pengangkatan pada prinsipnya diinterpretasikan sebagai “penolakan penandatanganan kontrak kerja langsung.”
Sebagai contoh kasus penting dalam hal ini, ada kasus Nintendo (Keputusan Pengadilan Distrik Kyoto pada tanggal 27 Februari tahun Reiwa 6 (2024)). Dalam kasus ini, pengadilan menunjukkan bahwa sistem Pengiriman Tenaga Kerja dengan Rencana Pengangkatan “secara sistematis mengasumsikan bahwa mungkin tidak akan terjadi pengangkatan langsung,” dan harapan pekerja untuk dipekerjakan secara langsung tidak merupakan hak yang dilindungi secara hukum. Akibatnya, pengadilan menyimpulkan bahwa penolakan pengangkatan langsung oleh perusahaan penerima adalah sah. Keputusan ini menunjukkan bahwa ketika menggunakan Sistem Pengiriman Tenaga Kerja dengan Rencana Pengangkatan, perusahaan penerima dapat menilai kelayakan pekerja dengan risiko hukum yang lebih rendah dibandingkan dengan periode percobaan pengangkatan langsung. Hal ini disebabkan karena tidak adanya hubungan kontrak kerja langsung antara perusahaan penerima dan pekerja selama periode penugasan.
Batas Waktu Tenaga Kerja Outsourcing dan Pekerjaan Langsung di Bawah Hukum Jepang
Undang-Undang Tenaga Kerja Outsourcing Jepang menetapkan bahwa suatu perusahaan dapat menerima tenaga kerja outsourcing di unit organisasi yang sama dalam satu tempat usaha secara berkelanjutan hingga maksimal tiga tahun. Setelah mencapai batas waktu tersebut, jika perusahaan penerima ingin terus menggunakan jasa tenaga kerja tersebut, perusahaan dianggap telah menawarkan pekerjaan langsung kepada pekerja tersebut. Namun, kewajiban untuk menawarkan pekerjaan ini tidak selalu mengharuskan pekerjaan sebagai karyawan tetap tanpa batas waktu; perusahaan juga dapat menawarkan kontrak kerja untuk jangka waktu tertentu.
Kesimpulan
Di bawah sistem hukum ketenagakerjaan Jepang, masa percobaan merupakan alat manajemen yang penting untuk menilai kelayakan karyawan baru yang direkrut. Namun, masa ini bukanlah periode di mana pemberi kerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja secara bebas. Kontrak kerja selama masa percobaan adalah ‘kontrak kerja dengan hak pengakhiran yang ditangguhkan’, dan pengakhiran kontrak tersebut dianggap sebagai ‘pemecatan’, yang menjadi subjek pemeriksaan ketat berdasarkan doktrin penyalahgunaan hak pemecatan. Untuk membenarkan penggunaan hak pengakhiran yang ditangguhkan secara hukum, diperlukan alasan yang objektif dan rasional yang mendukung kurangnya kelayakan, proses evaluasi yang adil, dan yang terpenting, penyediaan bimbingan yang cermat dan kesempatan untuk perbaikan. Yurisprudensi cenderung memberikan penilaian keras terhadap pemecatan yang dilakukan tanpa proses-proses tersebut. Di sisi lain, kerangka kerja seperti pekerjaan lepas dengan rencana pengenalan dapat menawarkan profil risiko yang berbeda dari pekerjaan langsung dan dapat menjadi alternatif yang efektif dalam situasi tertentu. Memahami kerangka hukum ini dengan akurat dan menerapkan manajemen sumber daya manusia yang tepat adalah kunci untuk mencegah sengketa hukum dan mencapai operasi bisnis yang stabil.
Kantor Hukum Monolith telah menyediakan layanan hukum profesional kepada banyak klien domestik dan internasional terkait dengan masalah hukum ketenagakerjaan yang kompleks seperti yang dijelaskan dalam artikel ini. Kantor kami memiliki beberapa anggota yang berkualifikasi sebagai pengacara di luar negeri dan berbicara bahasa Inggris, yang memahami nuansa praktik ketenagakerjaan dan regulasi hukum Jepang, dan mampu memberikan dukungan kuat kepada perusahaan yang melakukan ekspansi bisnis secara internasional. Kami siap membantu dalam pengaturan masa percobaan, penyusunan peraturan kerja, penanganan masalah pemecatan, dan konsultasi terkait manajemen sumber daya manusia lainnya.
Category: General Corporate