Penjelasan 9 Jenis Karya Cipta yang Dilindungi oleh Hukum Hak Cipta Jepang Bersama dengan Studi Kasus Pengadilan

Mengembangkan bisnis di pasar Jepang yang canggih memerlukan pemahaman mendalam tentang hak kekayaan intelektual sebagai isu manajemen yang penting. Sementara banyak hak seperti paten dan merek dagang memerlukan pendaftaran, hak cipta muncul secara otomatis bersamaan dengan penciptaan karya. Karakteristik ini menguntungkan dari sudut pandang perlindungan hak, namun di sisi lain, tanpa pemahaman yang tepat tentang apa yang dianggap sebagai ‘karya cipta’ yang dilindungi, ada risiko konstan untuk secara tidak sengaja melanggar hak orang lain. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami definisi dan jenis karya cipta dari perspektif manajemen risiko dan perlindungan aset intelektual perusahaan Anda. Pasal 2 Ayat 1 Nomor 1 Undang-Undang Hak Cipta Jepang mendefinisikan karya cipta sebagai ‘karya yang secara kreatif mengekspresikan ide atau perasaan, yang termasuk dalam bidang sastra, ilmu pengetahuan, seni, atau musik’. Definisi ini terdiri dari empat elemen: ide atau perasaan, kreativitas, ekspresi, dan domain budaya. Untuk melengkapi definisi abstrak ini, Undang-Undang Hak Cipta Jepang memberikan contoh jenis karya cipta yang dilindungi. Artikel ini akan menjelaskan secara rinci tentang sembilan jenis utama karya cipta yang diilustrasikan dalam Pasal 10 Ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta Jepang, bagaimana masing-masing ditafsirkan secara hukum, dan masalah apa yang dapat muncul dalam skenario bisnis nyata, dengan menyertakan contoh kasus pengadilan yang penting.
Definisi ‘Karya Cipta’ dalam Undang-Undang Hak Cipta Jepang
Untuk mendapatkan perlindungan hak cipta, sebuah karya harus terlebih dahulu memenuhi definisi ‘karya cipta’ sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1 Nomor 1 dari Undang-Undang Hak Cipta Jepang. Definisi ini dapat dibagi menjadi empat syarat penting. Karya yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat ini tidak akan dilindungi sebagai karya cipta.
Pertama, karya tersebut harus mengandung ‘ide atau perasaan’. Ini berarti bahwa fakta atau data semata tidak termasuk dalam karya cipta. Sebagai contoh, fakta bahwa ‘Tinggi Menara Tokyo adalah 333 meter’ merupakan data objektif yang tidak melibatkan ide atau perasaan siapa pun, sehingga tidak termasuk dalam karya cipta.
Kedua, karya tersebut harus diungkapkan secara ‘kreatif’. ‘Kreativitas’ di sini tidak selalu berarti memiliki nilai artistik yang tinggi atau sepenuhnya baru. Cukup jika terdapat beberapa bentuk individualitas dari pencipta yang terwujud dalam ekspresi karya tersebut. Oleh karena itu, karya yang hanya meniru karya orang lain atau ekspresi yang umum yang dapat dihasilkan oleh siapa saja tidak dianggap memiliki kreativitas dan tidak diakui sebagai karya cipta.
Ketiga, karya tersebut harus merupakan ‘ekspresi’. Undang-Undang Hak Cipta melindungi ‘ekspresi’ yang konkret, bukan ‘ide’ yang mendasarinya. Ini dikenal sebagai prinsip dasar hak cipta ‘pemisahan ide dan ekspresi’. Misalnya, konsep atau plot novel tertentu sebagai ide tidak dilindungi, tetapi teks tertulis yang dibuat berdasarkan ide tersebut sebagai ‘ekspresi’ adalah subjek perlindungan. Prinsip ini juga memiliki aspek kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk mendorong persaingan yang sehat dan perkembangan budaya. Jika ide itu sendiri dimonopoli, maka peluang bagi orang lain untuk menciptakan karya yang lebih unggul dengan tema yang sama akan hilang, dan inovasi dapat terhambat. Dengan membiarkan ide tetap di domain publik, hukum memastikan terciptanya lingkungan yang mendukung berbagai macam ekspresi. Keunggulan kompetitif perusahaan juga dibangun atas kualitas ‘ekspresi’ yang konkret dan dilindungi secara hukum, seperti kode perangkat lunak yang diwujudkan, desain merek, atau penulisan manual, bukan pada konsep bisnis abstrak.
Keempat, karya tersebut harus termasuk dalam ‘lingkup sastra, ilmu pengetahuan, seni, atau musik’. Ini adalah syarat yang membatasi objek perlindungan pada aktivitas kreatif budaya, dan berfungsi untuk mengecualikan produk industri murni dari lingkup perlindungan Undang-Undang Hak Cipta. Desain industri umumnya dilindungi oleh hukum kekayaan intelektual lain seperti hukum desain.
Jenis-Jenis Karya Cipta Contoh di Bawah Hukum Hak Cipta Jepang
Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta Jepang menyebutkan sembilan jenis karya cipta sebagai contoh yang sesuai dengan definisi yang telah disebutkan sebelumnya. Meskipun ini hanyalah contoh dan karya cipta yang tidak termasuk dalam daftar ini tetap dapat dilindungi jika memenuhi definisi karya cipta, memahami jenis-jenis ini sangat bermanfaat dalam praktik hukum.
Karya Tulis dalam Bahasa
Karya tulis dalam bahasa (Pasal 10 Ayat 1 Nomor 1 Undang-Undang Hak Cipta Jepang) mencakup berbagai karya kreatif yang diungkapkan melalui bahasa, termasuk novel, skenario, makalah, ceramah, serta teks dan salinan iklan yang dipublikasikan di situs web perusahaan. Namun, Pasal 10 Ayat 2 dari undang-undang yang sama secara eksplisit menyatakan bahwa “laporan yang hanya menyampaikan fakta dan berita aktual” tidak termasuk dalam karya tulis bahasa. Ini adalah ketentuan yang mengonfirmasi kembali definisi dasar dari sebuah karya cipta, yang tidak mengakui kreativitas dalam sekadar pelaporan fakta.
Salah satu keputusan penting dalam bidang ini adalah putusan Mahkamah Agung pada tanggal 28 Juni 2001 (Heisei 13), yang dikenal sebagai ‘Kasus Esashi Oiwake’. Dalam kasus ini, perselisihan muncul atas kemiripan antara bagian prolog sebuah buku dan narasi yang disiarkan dalam program televisi tentang Kota Esashi di Hokkaido. Pengadilan memutuskan bahwa untuk pembuatan karya adaptasi dari karya tulis bahasa (penciptaan karya baru berdasarkan karya yang sudah ada), “ciri khas esensial dalam ekspresi” dari karya asli harus dipertahankan, dan orang yang mengalami karya baru harus dapat “langsung merasakan” ciri tersebut. Yang umum dalam kedua karya adalah fakta historis bahwa Kota Esashi pernah makmur karena perikanan haring dan kesadaran bahwa kota menjadi paling hidup selama Festival Esashi Oiwake Nasional. Pengadilan menilai ini sebagai ide atau fakta yang umum dan tidak dilindungi, dan karena ekspresi teks yang spesifik berbeda, pengadilan tidak mengakui adanya pelanggaran hak cipta.
Putusan ini menjadi pedoman penting bagi aktivitas perusahaan. Membuat laporan baru berdasarkan informasi faktual atau data yang sama dengan laporan atau analisis yang dipublikasikan oleh pesaing, dengan menambahkan analisis atau pandangan unik perusahaan sendiri, pada prinsipnya tidak akan melanggar hak cipta selama tidak meniru ekspresi itu sendiri. Hak cipta melindungi “ekspresi” yang konkret, bukan “fakta” atau “ide” yang mendasarinya, prinsip ini menjadi dasar bagi persaingan bebas dan sirkulasi informasi.
Karya Musik dalam Hukum Hak Cipta Jepang
Karya musik menurut Pasal 10 Ayat (1) Nomor 2 Undang-Undang Hak Cipta Jepang merujuk pada komposisi musik itu sendiri (kombinasi melodi, harmoni, dan ritme). Selain itu, lirik yang menyertai komposisi musik juga dilindungi secara terpisah sebagai karya sastra.
Salah satu keputusan penting terkini terkait penggunaan musik adalah putusan Mahkamah Agung Jepang pada tanggal 24 Oktober 2022 (Reiwa 4), yang dikenal sebagai ‘kasus sekolah musik’. Dalam kasus ini, dipertanyakan siapa yang memiliki kewajiban untuk membayar royalti hak cipta atas pertunjukan musik dalam pelajaran di sekolah musik. Mahkamah Agung memutuskan bahwa pertunjukan oleh guru, yang bertujuan untuk didengarkan oleh ‘publik’ yaitu murid, dilakukan di bawah pengawasan pengusaha sekolah musik, sehingga pengusaha tersebut menjadi subjek pelanggaran hak cipta. Di sisi lain, untuk pertunjukan oleh murid, yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan mereka sendiri dan tidak sepenuhnya di bawah pengawasan pengusaha seperti halnya pertunjukan guru, diputuskan bahwa pengusaha tidak dianggap sebagai subjek penggunaan.
Putusan ini menunjukkan bahwa tidak hanya individu yang secara fisik melakukan tindakan, tetapi juga mereka yang ‘mengelola dan mengendalikan’ kegiatan tersebut sebagai bagian dari bisnis dan mendapatkan keuntungan darinya, dapat dianggap sebagai subjek hukum yang menggunakan hak cipta. Konsep ‘mengelola dan mengendalikan’ ini tidak hanya penting untuk sekolah musik, tetapi juga untuk berbagai layanan yang memungkinkan pelanggan menggunakan karya cipta, seperti toko karaoke atau bisnis platform di mana pelanggan mengunggah konten, dalam menentukan sejauh mana pengusaha bertanggung jawab atas hak cipta.
Karya Tari atau Pantomim di Bawah Hukum Hak Cipta Jepang
Karya tari atau pantomim (sesuai dengan Pasal 10 Ayat (1) Nomor 3 Undang-Undang Hak Cipta Jepang) melindungi ekspresi pikiran atau perasaan melalui gerakan tubuh, seperti koreografi balet, tarian tradisional Jepang, dan tarian lainnya.
Sebagai contoh kasus di mana karya semacam ini diakui adalah putusan Pengadilan Distrik Osaka pada tanggal 20 September 2018 (2018), yang dikenal sebagai ‘Pengadilan Koreografi Hula Dance’. Dalam kasus ini, dipertanyakan apakah koreografi tertentu dari tarian hula dapat dilindungi sebagai karya cipta. Pengadilan membedakan antara langkah-langkah dasar dan tradisional yang telah lama ada dalam hula dance (yang termasuk dalam ranah ide atau fakta) dan bagian yang diciptakan oleh koreografer dengan memilih dan mengatur langkah-langkah tersebut secara unik untuk menciptakan ekspresi baru (yang dilindungi sebagai ekspresi). Pengadilan mengakui adanya kreativitas pada yang terakhir dan menegaskan bahwa itu merupakan karya cipta yang dilindungi.
Putusan ini menunjukkan bahwa bahkan pertunjukan yang bersifat tidak berwujud dan sementara seperti tarian, jika dapat diidentifikasi dan direproduksi dalam bentuk yang tetap melalui video, notasi tari, atau pengajaran yang berkelanjutan, maka dapat menjadi subjek perlindungan hak cipta. Hal ini memiliki arti penting bagi perusahaan yang menugaskan atau menggunakan koreografi unik untuk kampanye iklan, acara, atau pertunjukan hiburan. Koreografi yang diciptakan dapat menjadi properti intelektual berharga bagi perusahaan, sehingga penting untuk menetapkan secara jelas ruang lingkup penggunaan dan kepemilikan hak dalam kontrak dengan koreografer.
Karya Seni dalam Hukum Hak Cipta Jepang
Karya seni menurut Pasal 10 Ayat (1) Nomor 4 Undang-Undang Hak Cipta Jepang mencakup lukisan, cetakan, patung, dan komik. Dalam bidang ini, isu hukum yang sering muncul berkisar pada perlindungan ‘applied art’ atau seni terapan, yaitu penerapan karya seni kreatif pada barang-barang fungsional.
Kasus penting yang membahas masalah ini adalah putusan Pengadilan Tinggi Hak Kekayaan Intelektual Jepang pada tanggal 14 April 2015 (Heisei 27), yang dikenal sebagai kasus ‘TRIPP TRAPP’. Kasus ini mempertanyakan apakah desain kursi anak yang orisinal dapat dilindungi sebagai karya seni. Pengadilan memutuskan bahwa desain kursi tersebut tidak hanya berfungsi sebagai bentuk fungsional, tetapi juga memiliki ciri estetika yang dapat dipisahkan dari fungsi praktisnya dan menjadi objek apresiasi seni, sehingga dapat dianggap sebagai karya seni. Meskipun pada akhirnya dinyatakan tidak terjadi pelanggaran hak cipta karena tidak adanya kesamaan esensial dalam ekspresi antara produk yang bersaing, putusan ini revolusioner karena menunjukkan kemungkinan desain produk industri yang fungsional seperti kursi dapat memiliki sifat karya seni.
Putusan ini mengindikasikan bahwa desain suatu produk dapat dilindungi secara berlapis melalui berbagai hukum kekayaan intelektual seperti hukum desain, hukum merek (termasuk merek tiga dimensi), hukum pencegahan persaingan tidak sehat, dan hukum hak cipta. Sementara periode perlindungan hak desain relatif singkat, hak cipta berlangsung selama 70 tahun setelah kematian pencipta, yang merupakan periode yang sangat panjang. Oleh karena itu, perusahaan disarankan untuk tidak hanya mendaftarkan desain produk unggulan mereka tetapi juga mempertimbangkan apakah desain tersebut memiliki tingkat kreativitas estetika yang cukup tinggi sehingga dapat dilindungi sebagai karya seni, dan dengan demikian membangun strategi kekayaan intelektual yang multifaset.
Karya Arsitektur di Bawah Hukum Hak Cipta Jepang
Karya arsitektur yang dilindungi sebagai objek hak cipta di bawah Pasal 10 Ayat 1 Nomor 5 Undang-Undang Hak Cipta Jepang, ditafsirkan secara sangat terbatas. Umumnya, rumah tinggal dan gedung perkantoran, meskipun memiliki desain yang unggul, tidak dianggap sebagai karya arsitektur dalam konteks hak cipta.
Standar ketat ini ditetapkan oleh keputusan Pengadilan Distrik Osaka pada tanggal 30 Oktober 2003 (2003), yang dikenal sebagai ‘Kasus Sekisui House’. Sebuah perusahaan perumahan besar menggugat perusahaan pesaing yang meniru desain rumah model mereka, namun pengadilan menolak klaim tersebut. Alasannya, agar sebuah bangunan dapat dilindungi sebagai karya cipta, harus memiliki tingkat keartistikan yang tinggi, di mana ide, pemikiran, dan emosi kultural serta spiritual dari perancangnya terwujud dalam ‘seni arsitektur’ yang melebihi sekadar pertimbangan estetika.
Latar belakang penetapan hambatan tinggi ini adalah pertimbangan kebijakan bahwa melindungi desain yang berkaitan dengan fungsi dasar dan struktur bangunan dengan mudah melalui hak cipta dapat memungkinkan monopoli oleh pihak tertentu, yang dapat menghambat persaingan sehat dan perkembangan industri konstruksi secara keseluruhan. Bangunan pada dasarnya adalah objek yang praktis, dan hukum memberikan prioritas pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan daripada perlindungan kreativitas individu. Oleh karena itu, pelaku usaha di industri konstruksi dan real estat harus menyadari bahwa kemungkinan desain arsitektur mereka dilindungi oleh hak cipta sangat rendah, dan perlu mengamankan keunggulan kompetitif melalui faktor lain seperti nilai merek dan kualitas layanan.
Karya Grafis di Bawah Hukum Hak Cipta Jepang
Karya grafis di bawah Hukum Hak Cipta Jepang (Pasal 10 Ayat 1 Nomor 6) mencakup peta, gambar ilmiah, diagram, model, serta desain arsitektur bangunan. Kreativitas dalam konteks ini tidak terletak pada informasi objektif yang ditampilkan oleh gambar itu sendiri, melainkan pada bagaimana informasi tersebut dipilih, disusun, dan diwujudkan dalam bentuk grafis.
Desain arsitektur merupakan contoh khas dari kategori ini. Seperti disebutkan sebelumnya, bangunan yang dibangun berdasarkan desain tersebut jarang dilindungi sebagai ‘karya arsitektur’ di bawah hukum hak cipta, namun desain arsitektur itu sendiri dapat dilindungi sebagai ‘karya grafis’. Hal ini disebabkan oleh penggunaan pengetahuan dan keterampilan teknis oleh desainer untuk menciptakan ekspresi yang unik dalam menentukan struktur dan tata letak bangunan.
Struktur hukum ini memiliki arti penting dalam hubungan antara arsitek dan klien (seperti pengembang). Hak cipta atas desain yang dibuat oleh arsitek secara prinsip dimiliki oleh arsitek tersebut. Oleh karena itu, tindakan klien yang menyalin desain tersebut tanpa izin untuk membangun bangunan lain, atau memberikannya kepada arsitek lain untuk dimodifikasi, dapat menjadi pelanggaran hak cipta karya grafis. Untuk menghindari hal ini, sangat penting dalam kontrak pengadaan jasa desain arsitektur agar klien memastikan mereka memperoleh lisensi (izin penggunaan) yang diperlukan untuk menggunakan desain tersebut untuk tujuan konstruksi, perbaikan di masa depan, pemeliharaan, dan sebagainya.
Karya Cipta Film di Bawah Hukum Hak Cipta Jepang
Karya cipta film menurut Pasal 10 Ayat (1) Nomor 7 Undang-Undang Hak Cipta Jepang (法律第10条第1項第7号) didefinisikan secara luas berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) dari undang-undang yang sama. Definisi ini tidak hanya mencakup film yang ditayangkan di bioskop, tetapi juga “karya cipta yang diekspresikan dengan cara yang menghasilkan efek visual atau audiovisual serupa dengan film dan telah difiksasi dalam suatu benda”. Ini termasuk program televisi, film komersial, dan bahkan video game sebagai bagian dari karya cipta film.
Keputusan pengadilan yang pertama kali menetapkan video game sebagai karya cipta film adalah putusan Pengadilan Distrik Tokyo pada tanggal 28 September 1984 (昭和59年9月28日), yang dikenal sebagai ‘Kasus Pac-Man’. Dalam kasus ini, dipertanyakan apakah tindakan menempatkan mesin game ‘Pac-Man’ yang telah direplikasi tanpa izin di pusat permainan merupakan pelanggaran hak cipta (hak untuk mempertunjukkan). Pengadilan memutuskan bahwa serangkaian gambar yang direkam (difiksasi) dalam ROM game, meskipun berubah sesuai dengan operasi pemain, secara keseluruhan merupakan ekspresi audiovisual kreatif dan oleh karena itu termasuk dalam karya cipta film.
Keputusan ini memberikan dampak besar pada perkembangan industri video game di Jepang. Dengan mengklasifikasikan game sebagai karya cipta film, para pembuat game mendapatkan hak-hak yang kuat (seperti hak untuk mempertunjukkan dan hak distribusi) yang sama dengan yang dimiliki oleh pembuat film. Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Hak Cipta Jepang, hak cipta atas karya cipta film secara prinsipial menjadi milik pembuat film (perusahaan game), yang menyederhanakan penanganan hak dalam pengembangan game yang kompleks dengan banyak kreator terlibat. Ini telah menjadi dasar hukum yang stabil bagi industri game Jepang untuk memperoleh daya saing global.
Hak Cipta Fotografi di Bawah Hukum Jepang
Hak cipta fotografi (Pasal 10 Ayat (1) Nomor 8 Undang-Undang Hak Cipta Jepang) dilindungi oleh hukum hak cipta. Meskipun ambang batas untuk mengakui kreativitas sebuah foto dianggap relatif rendah, tetap diperlukan adanya usaha kreatif tertentu.
Standar untuk menentukan apakah sebuah foto merupakan karya cipta telah dijelaskan dalam putusan Pengadilan Tinggi Tokyo tanggal 21 Juni 2001 (2001), yang dikenal sebagai ‘Kasus Foto Semangka yang Segar’. Pengadilan menyatakan bahwa kreativitas dalam fotografi muncul dari kombinasi berbagai pilihan dan usaha kreatif oleh fotografer, seperti pemilihan subjek, komposisi, pencahayaan dan bayangan, sudut pengambilan gambar, momen penekanan shutter, dan teknik pengembangan. Berdasarkan penilaian ini, hampir semua foto yang melibatkan niat fotografer, kecuali salinan mekanis murni, dilindungi sebagai karya cipta, yang menetapkan interpretasi yang luas.
Perlindungan luas ini menunjukkan kebutuhan penting manajemen risiko bagi perusahaan. Di era modern di mana gambar dapat dengan mudah diperoleh secara online, seringkali kita lupa bahwa gambar tersebut mungkin merupakan karya cipta seseorang. Namun, penggunaan foto yang diambil oleh orang lain tanpa izin pada situs web perusahaan, media sosial, atau materi iklan dapat mengakibatkan pelanggaran hak cipta dan berpotensi mengarah pada tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk membangun sistem manajemen internal yang ketat, seperti menandatangani kontrak lisensi, memeriksa hubungan hak, dan menyimpan bukti izin, untuk semua gambar yang digunakan. Sebagai prinsip, kita harus menganggap bahwa semua foto pada dasarnya adalah karya cipta seseorang.
Ciptaan Program Komputer di Bawah Hukum Hak Cipta Jepang
Ciptaan program komputer (sesuai dengan Pasal 10 Ayat (1) Nomor 9 Undang-Undang Hak Cipta Jepang) merujuk pada program komputer itu sendiri. Yang sangat penting di sini adalah ketentuan dalam Pasal 10 Ayat (3) dari undang-undang yang sama. Menurut ketentuan ini, perlindungan hak cipta hanya berlaku untuk ‘ekspresi’ konkret dari program (penulisan kode sumber), namun tidak berlaku untuk ‘bahasa pemrograman’ yang menjadi dasar, ‘protokol’ seperti prosedur komunikasi, serta ‘algoritma’ yang merupakan prosedur pemrosesan. Ini merupakan penerapan teori pemisahan ide dan ekspresi ke dalam dunia pemrograman.
Sebagai contoh kasus terkini yang menunjukkan isu praktis di bidang ini, ada putusan Pengadilan Distrik Osaka pada tanggal 29 Januari 2024. Dalam kasus ini, dipersoalkan penggunaan program yang dikembangkan melalui kontrak kerja oleh perusahaan pemberi tugas di beberapa lokasi melalui proses duplikasi dan modifikasi. Pengadilan pertama-tama menegaskan bahwa kode sumber program tersebut, meskipun memiliki batasan fungsional, memiliki ‘ruang pilihan yang cukup’ dalam penulisannya, dan dari jumlah halaman yang ditulis (sekitar 120 halaman ukuran A4), dapat dilihat adanya ekspresi individualitas pengembang. Namun, klaim pelanggaran hak cipta itu sendiri ditolak. Alasannya adalah, berdasarkan hubungan transaksi jangka panjang antara kedua belah pihak, pengembang yang telah menyerahkan kode sumber, dan kesadaran pemberi tugas bahwa program tersebut akan digunakan di beberapa lokasi, diakui adanya ‘izin implisit’ dari pemberi tugas untuk duplikasi dan modifikasi program untuk penggunaan internal.
Putusan ini mengandung pelajaran penting bagi para pengusaha yang mengontrak pengembangan perangkat lunak. Kepemilikan hak cipta perangkat lunak dan ruang lingkup izin penggunaannya adalah dua masalah yang berbeda. Bergantung pada praktik perdagangan dan pemahaman implisit dapat menjadi benih konflik di masa depan. Dalam kontrak pengembangan yang diberikan, sangat penting untuk menentukan secara jelas dan spesifik dalam kontrak siapa yang dapat menggunakan program di berapa banyak lokasi atau terminal, apakah modifikasi diperbolehkan, dan bagaimana hak akses ke kode sumber, dari sudut pandang manajemen risiko.
Perbandingan Kriteria Kreativitas dalam Berbagai Jenis Karya Cipta di Bawah Hukum Hak Cipta Jepang
Seperti yang telah kita lihat, persyaratan ‘kreativitas’ dalam Undang-Undang Hak Cipta Jepang tidak diterapkan secara seragam untuk semua jenis karya cipta. Pengadilan di Jepang menafsirkan kriteria ini dengan fleksibel, sesuai dengan sifat dari karya cipta tersebut. Khususnya, untuk karya cipta yang memiliki utilitas tinggi seperti bangunan, standar kreativitas ditetapkan sangat tinggi agar tidak membatasi aktivitas industri secara tidak adil. Sebaliknya, untuk karya cipta yang tujuan utamanya adalah ekspresi, seperti fotografi, kreativitas cenderung diakui dengan standar yang lebih rendah. Memahami perbedaan kriteria ini berguna untuk menentukan aset intelektual mana dari perusahaan Anda yang dapat menerima perlindungan hak cipta yang kuat. Tabel berikut membandingkan poin-poin penting dari kriteria penilaian kreativitas untuk beberapa jenis karya cipta utama yang seringkali memiliki perbedaan dalam penilaian.
Jenis Karya Cipta | Poin Kunci dalam Penilaian Kreativitas | Kasus Hukum Terkait |
Karya Cipta Arsitektur | Harus memiliki tingkat keartistikan yang tinggi dan dapat dinilai sebagai ‘seni arsitektur’ | Kasus Sekisui House |
Karya Cipta Seni Rupa (Seni Terapan) | Dapat dianggap sebagai objek apresiasi estetika terlepas dari tujuan praktisnya | Kasus TRIPP TRAPP |
Karya Cipta Bahasa | Apakah ciri khas esensial dalam ekspresi menunjukkan individualitas pengarang | Kasus Esashi Oiwake |
Karya Cipta Fotografi | Apakah ada inovasi dalam pemilihan subjek, komposisi, pencahayaan, dan bayangan | Kasus Foto Semangka yang Segar |
Karya Cipta Program | Apakah ada alternatif dalam ekspresi dan individualitas pengarang terwujud | Putusan Pengadilan Distrik Osaka, 29 Januari 2024 |
Kesimpulan
Undang-Undang Hak Cipta Jepang melindungi berbagai bentuk ekspresi kreatif mulai dari bahasa, musik, seni rupa, hingga program komputer. Namun, definisi abstrak dan contoh yang diberikan oleh teks hukum seringkali tidak cukup untuk menentukan apakah suatu karya tertentu dilindungi atau tidak. Seperti yang telah diulas dalam artikel ini, ruang lingkup perlindungan untuk setiap karya kreatif secara konkret dibentuk melalui serangkaian putusan pengadilan yang telah dikembangkan selama bertahun-tahun. Putusan-putusan ini memberikan pedoman penting untuk menginterpretasikan dan menerapkan konsep ‘kreativitas’ dalam hukum sesuai dengan karakteristik masing-masing bidang. Oleh karena itu, untuk menilai masalah hak cipta dengan tepat, diperlukan tidak hanya pengetahuan tentang peraturan hukum, tetapi juga pemahaman mendalam tentang keputusan yudisial ini. Monolith Law Office memiliki rekam jejak yang luas dalam memberikan nasihat hukum terkait dengan masalah hak cipta untuk berbagai jenis karya kreatif kepada banyak klien di dalam negeri Jepang. Kantor kami memiliki anggota tim yang fasih berbahasa Inggris, termasuk mereka yang memiliki kualifikasi sebagai pengacara di luar negeri, yang memungkinkan kami untuk memberikan dukungan profesional dan lancar kepada perusahaan internasional yang menghadapi kompleksitas hukum kekayaan intelektual di Jepang.
Category: General Corporate