Kekuatan Hukum dan Prosedur Perubahan Peraturan Ketenagakerjaan dalam Hukum Tenaga Kerja Jepang

Dalam manajemen perusahaan di Jepang, peraturan kerja tidak hanya sekedar kumpulan prosedur internal, tetapi memegang peran hukum yang sangat penting. Ini merupakan dokumen hukum yang membentuk inti dari penerapan kondisi kerja yang seragam dan standar bagi banyak karyawan, serta menjaga tatanan perusahaan. Berbeda dengan banyak yurisdiksi hukum lainnya di mana kontrak kerja individu menjadi sarana utama dalam menentukan kondisi kerja, di Jepang, peraturan kerja memiliki karakteristik khusus dimana secara komprehensif mengatur isi dari kontrak kerja individu dan bahkan memiliki fungsi kuat untuk mengubahnya. Namun, wewenang luas yang diberikan kepada pemberi kerja ini tidaklah tanpa batasan. Sistem hukum yang berpusat pada Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang (Japanese Labor Contract Act) menjaga keseimbangan yang cermat antara hak pemberi kerja untuk menetapkan dan mengubah peraturan kerja dengan kebutuhan untuk melindungi pekerja dari perubahan sepihak yang merugikan. Kerangka hukum ini telah dibentuk melalui penumpukan putusan pengadilan selama bertahun-tahun dan telah disistematisasi sebagai hukum tertulis. Artikel ini akan menjelaskan secara rinci tentang sifat hukum dari peraturan kerja, hubungannya dengan kontrak kerja individu, dan khususnya, kriteria penilaian ‘rasionalitas’ yang merupakan persyaratan hukum ketat ketika melakukan perubahan yang merugikan bagi karyawan, yang penting sebagai keputusan manajerial, berdasarkan peraturan hukum konkret dan kasus hukum.
Sifat Hukum dari Peraturan Ketenagakerjaan dan Pengaruhnya terhadap Kontrak Kerja di Jepang
Sumber hukum yang memberikan kekuatan mengikat secara hukum kepada peraturan ketenagakerjaan terhadap kontrak kerja individu dengan karyawan terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang. Pasal ini menetapkan bahwa jika pengusaha telah memberitahukan peraturan ketenagakerjaan yang menetapkan kondisi kerja yang wajar kepada pekerja, maka isi kontrak kerja akan sesuai dengan kondisi kerja yang ditetapkan oleh peraturan ketenagakerjaan tersebut. Ini merupakan penegasan hukum atas ‘kekuatan normatif’ yang dimiliki oleh peraturan ketenagakerjaan. Agar kekuatan ini berlaku, perlu memenuhi dua persyaratan penting: ‘kewajaran’ dan ‘pengetahuan’.
Persyaratan pertama adalah ‘kewajaran’ isi dari peraturan ketenagakerjaan itu sendiri. Ketentuan yang secara signifikan tidak wajar menurut norma sosial atau yang melanggar hak-hak pekerja secara tidak adil, dianggap tidak wajar dan bagian tersebut dapat ditolak kekuatan hukumnya. Misalnya, ketentuan tentang hukuman disiplin yang terlalu keras atau klausul yang hanya memberatkan karyawan dengan kewajiban sepihak termasuk dalam hal ini.
Persyaratan kedua, dan sangat penting dari segi prosedur, adalah ‘pengetahuan’ kepada karyawan. Peraturan ketenagakerjaan tidak akan memiliki kekuatan hukum hanya dengan dibuatnya saja, tetapi baru akan memiliki kekuatan mengikat secara hukum setelah isi dari peraturan tersebut diberitahukan dengan tepat kepada karyawan. Pasal 106 Ayat 1 Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang dan peraturan pelaksanaan terkait menuntut metode pengetahuan yang spesifik, seperti pemasangan yang terus-menerus di tempat yang mudah dilihat di tempat usaha, penyediaan dokumen tertulis kepada pekerja, atau pemasangan perangkat yang memungkinkan pekerja untuk selalu memeriksa isi peraturan dalam bentuk data elektronik. Dalam kasus hukum, bahkan jika metode formal ini tidak sepenuhnya dipatuhi, tetapi karyawan ditempatkan dalam keadaan di mana mereka dapat mengetahui isi peraturan ketenagakerjaan kapan saja, ‘pengetahuan yang substansial’ dapat dianggap ada dan kekuatan hukumnya diakui.
Persyaratan ini bukan sekadar prosedur administratif. Ini adalah dasar hukum yang menjamin legitimasi kekuasaan manajemen tenaga kerja pengusaha. Jika pengetahuan diabaikan, peraturan ketenagakerjaan tersebut dapat dianggap tidak memiliki kekuatan hukum. Akibatnya, ketika keabsahan perintah kerja atau hukuman disiplin yang didasarkan pada peraturan ketenagakerjaan dipertanyakan, argumen pihak pengusaha mungkin tidak diakui. Oleh karena itu, penyebaran informasi yang menyeluruh tentang peraturan ketenagakerjaan merupakan tanggung jawab yang sangat penting dari sudut pandang pemeliharaan tatanan perusahaan dan manajemen risiko hukum.
Hubungan Prioritas Antara Peraturan Kerja dan Kesepakatan Individu di Bawah Hukum Ketenagakerjaan Jepang
Di Jepang, penetapan norma kondisi kerja dalam hukum ketenagakerjaan memiliki struktur hierarki yang berlapis. Urutan prioritas kekuatan hukumnya secara umum adalah sebagai berikut: peraturan perundang-undangan (hukum yang bersifat memaksa), perjanjian kerja bersama, peraturan kerja, dan kontrak kerja individu. Dalam hierarki ini, hubungan antara peraturan kerja yang berlaku secara seragam untuk semua karyawan dan kontrak kerja individu yang dibuat dengan karyawan tertentu menjadi sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Hukum Kontrak Kerja Jepang menetapkan aturan yang jelas mengenai prioritas mana yang berlaku ketika isi kedua dokumen tersebut berbeda.
Pertama, peraturan kerja berperan sebagai ‘standar minimum’ untuk kondisi kerja. Pasal 12 Hukum Kontrak Kerja Jepang menyatakan bahwa kontrak kerja yang menetapkan kondisi kerja di bawah standar yang ditetapkan dalam peraturan kerja adalah tidak sah untuk bagian tersebut. Dalam kasus ini, bagian yang tidak sah tersebut akan diterapkan sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam peraturan kerja. Ini merupakan aspek dari prinsip ‘kondisi yang lebih menguntungkan harus diutamakan’, yang berfungsi untuk melindungi pekerja dengan mencegah pemberi kerja mempekerjakan karyawan di bawah standar yang telah ditetapkan dalam peraturan kerja. Misalnya, meskipun gaji pokok yang ditetapkan dalam peraturan kerja adalah 300.000 yen per bulan, kesepakatan individu dengan seorang karyawan untuk gaji 280.000 yen akan menjadi tidak sah, dan secara hukum kewajiban untuk membayar 300.000 yen akan timbul.
Di sisi lain, kontrak kerja individu dapat menetapkan kondisi yang ‘lebih menguntungkan’ daripada standar peraturan kerja. Catatan pada Pasal 7 Hukum Kontrak Kerja Jepang mengakui bahwa bagian dari kontrak kerja yang disepakati oleh pekerja dan pemberi kerja yang berbeda dari isi peraturan kerja akan diutamakan. Ini memungkinkan perusahaan untuk menawarkan kompensasi dan perlakuan yang melebihi standar peraturan kerja kepada individu dengan keahlian khusus atau posisi penting, sehingga memungkinkan penggunaan sumber daya manusia yang fleksibel. Sebagai contoh, meskipun peraturan kerja menetapkan 120 hari libur tahunan, kesepakatan individu dengan seorang karyawan untuk memberikan 125 hari libur tahunan adalah sah, dan karyawan tersebut akan diberlakukan 125 hari libur.
Interaksi antara kedua pasal ini menciptakan hubungan di mana peraturan kerja menetapkan ‘garis dasar minimum (lantai)’ untuk kondisi kerja, yang tidak boleh di bawahnya, sementara kesepakatan individu dapat menetapkan ‘kondisi yang lebih menguntungkan (plafon)’ yang melebihi garis tersebut tanpa hambatan. Memahami hubungan ini sangat penting untuk mencapai keseimbangan antara manajemen tenaga kerja yang seragam dan perlakuan sumber daya manusia yang individual dan strategis.
Situasi | Kondisi Kerja yang Berlaku | Dasar Hukum |
Isi kontrak kerja individu di bawah standar peraturan kerja | Standar peraturan kerja yang berlaku | Pasal 12 Hukum Kontrak Kerja Jepang |
Isi kontrak kerja individu melebihi standar peraturan kerja | Isi kontrak kerja individu yang berlaku | Catatan pada Pasal 7 Hukum Kontrak Kerja Jepang |
Perubahan Ketentuan Kerja yang Merugikan di Jepang: Prinsip dan Pengecualian
Ketentuan kerja merupakan isi dari kontrak antara pengguna tenaga kerja dan pekerja, sehingga perubahannya memerlukan kesepakatan dari kedua belah pihak sebagai prinsip dasar. Pasal 8 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang (Japanese Labor Contract Act) menetapkan bahwa pekerja dan pengguna tenaga kerja dapat mengubah ketentuan kerja yang merupakan isi dari kontrak kerja berdasarkan kesepakatan bersama, yang menjelaskan prinsip kesepakatan ini secara tegas.
Berdasarkan prinsip ini, Pasal 9 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang menegaskan bahwa pengguna tenaga kerja tidak dapat mengubah ketentuan kerja yang merugikan pekerja tanpa kesepakatan dengan mereka melalui perubahan peraturan kerja. Ini secara prinsip melarang pengguna tenaga kerja untuk melakukan perubahan yang merugikan seperti penurunan gaji atau pengurangan hari libur hanya dengan pernyataan sepihak. Inilah prinsip utama dalam perubahan ketentuan kerja yang merugikan.
Namun, manajemen perusahaan harus selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah, dan terkadang peninjauan ulang ketentuan kerja menjadi tak terelakkan. Untuk menjawab kebutuhan manajemen tersebut, Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang mengizinkan pengecualian di bawah persyaratan yang ketat, yang diatur dalam Pasal 10. Pasal ini membuka jalan bagi perubahan yang secara hukum sah, bahkan jika pengguna tenaga kerja mengubah ketentuan kerja secara sepihak menjadi merugikan melalui perubahan peraturan kerja, asalkan dua syarat terpenuhi. Syarat pertama adalah memberitahukan peraturan kerja yang telah diubah kepada pekerja. Syarat kedua, dan yang paling penting, adalah perubahan peraturan kerja tersebut harus ‘rasional’.
Struktur hukum yang menetapkan ‘larangan prinsip’ dalam Pasal 9 dan ‘pengecualian’ dalam Pasal 10 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang sangat penting. Ini secara hukum menempatkan perubahan ketentuan kerja yang merugikan bukan sebagai hak yang wajar dari pengguna tenaga kerja, melainkan sebagai tindakan yang bersifat pengecualian. Oleh karena itu, jika keabsahan perubahan yang merugikan tersebut diperdebatkan di pengadilan, beban pembuktian bahwa perubahan tersebut ‘rasional’ sepenuhnya berada pada pihak pengguna tenaga kerja. Pengadilan akan memulai dari prinsip (perubahan tidak sah) dan secara ketat menilai apakah argumen dan bukti yang diajukan oleh pihak pengguna tenaga kerja memiliki kekuatan persuasif yang cukup untuk menerapkan ketentuan pengecualian (Pasal 10). Karena itu, sebagai pengelola perusahaan, ketika mempertimbangkan perubahan yang merugikan, tidak hanya perlu menyadari kebutuhan tersebut, tetapi juga persiapan strategis dalam membangun dan membuktikan ‘rasionalitas’ dari sudut pandang hukum menjadi sangat penting.
Kriteria Penilaian ‘Rasionalitas’ Perubahan yang Merugikan di Bawah Hukum Ketenagakerjaan Jepang
Untuk agar perubahan yang merugikan dalam peraturan ketenagakerjaan di Jepang dapat dianggap sah, penilaian ‘rasionalitas’ tidak ditentukan secara mekanis berdasarkan satu kriteria saja, melainkan melalui pertimbangan komprehensif dari berbagai faktor. Kerangka penilaian ini, yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang, telah terbentuk melalui akumulasi putusan pengadilan selama bertahun-tahun sebelum undang-undang tersebut diberlakukan. Khususnya, putusan Mahkamah Agung Jepang pada tahun 1968 dalam kasus Autumn North Bus menetapkan prinsip dasar bahwa perubahan yang rasional dalam peraturan ketenagakerjaan memiliki kekuatan mengikat bahkan tanpa persetujuan individu pekerja. Kemudian, mengenai bagaimana menilai rasionalitas tersebut berdasarkan elemen-elemen tertentu, putusan Mahkamah Agung Jepang pada tahun 1997 dalam kasus Fourth Bank memberikan kriteria rinci yang kini tercermin dengan kuat dalam teks Pasal 10 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang saat ini.
Pasal 10 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang menjabarkan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menilai rasionalitas, antara lain:
- Tingkat kerugian yang ditanggung pekerja: Ini berkaitan dengan seberapa serius kerugian yang akan dialami oleh karyawan akibat perubahan tersebut. Semakin besar dampaknya terhadap kehidupan karyawan, seperti pengurangan gaji atau uang pensiun yang signifikan, semakin tinggi pula hambatan untuk mengakui rasionalitasnya.
- Kebutuhan akan perubahan kondisi kerja: Alasan mengapa pemberi kerja harus melakukan perubahan tersebut, dan tingkat kebutuhan manajerialnya. Kebutuhan yang tinggi diperlukan, bukan hanya untuk meningkatkan keuntungan, tetapi sebagai respons terhadap krisis manajemen yang serius atau perubahan struktur bisnis yang tidak dapat dihindari.
- Kelayakan isi peraturan ketenagakerjaan setelah perubahan: Apakah sistem kondisi kerja baru yang diubah itu sendiri tidak tidak rasional atau apakah isinya dapat diterima menurut norma sosial. Hal ini juga mempertimbangkan apakah standar tersebut secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan sejenis lainnya.
- Situasi negosiasi dengan serikat pekerja dan lainnya: Bagaimana negosiasi dilakukan antara pemberi kerja dan serikat pekerja yang terdiri dari mayoritas pekerja atau perwakilan mayoritas pekerja terkait perubahan tersebut. Jika kesepakatan telah tercapai dengan serikat pekerja setelah negosiasi yang tulus, perubahan tersebut cenderung dianggap rasional.
- Keadaan lain yang berkaitan dengan perubahan peraturan ketenagakerjaan: Ini mencakup semua keadaan terkait lainnya. Misalnya, keberadaan langkah-langkah transisi untuk meredakan kerugian (langkah-langkah mitigasi perubahan drastis) atau kompensasi untuk kerugian tersebut menjadi elemen penting.
Salah satu contoh yang menunjukkan bagaimana faktor-faktor ini dinilai secara komprehensif adalah kasus Fourth Bank yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam kasus ini, bank mengubah peraturan ketenagakerjaan dengan memperpanjang usia pensiun dari 55 menjadi 60 tahun, sementara menurunkan tingkat gaji setelah usia 55 tahun. Mahkamah Agung Jepang menekankan bahwa meskipun kerugian yang ditanggung karyawan dalam bentuk pengurangan gaji cukup besar, manfaat dari perpanjangan usia pensiun (kompensasi) telah diberikan, kebutuhan untuk mempertahankan pekerjaan di masyarakat yang menua, dan yang paling penting, telah tercapai kesepakatan melalui negosiasi yang memadai dengan serikat pekerja yang diikuti oleh sekitar 90% pegawai. Oleh karena itu, perubahan tersebut dianggap rasional dan sah.
Sebagaimana ditunjukkan oleh kasus ini, pengadilan sangat memperhatikan ‘proses’ yang mengarah pada perubahan ketika menilai rasionalitas perubahan yang merugikan. Apakah pihak pemberi kerja telah memberikan penjelasan yang cermat kepada karyawan, melakukan negosiasi dengan sungguh-sungguh, dan berusaha sebisa mungkin untuk meredakan kerugian, akan sangat mempengaruhi penilaian hukum akhir. Oleh karena itu, untuk berhasil melakukan perubahan yang merugikan, tidak hanya kelayakan isi perubahan yang penting, tetapi juga memastikan transparansi dan keadilan proses perubahan adalah esensial dalam manajemen risiko hukum.
Kesimpulan
Dalam sistem hukum ketenagakerjaan Jepang, peraturan kerja merupakan alat hukum yang kuat bagi perusahaan untuk menetapkan kondisi kerja yang seragam dan mengelola organisasi secara lancar. Kekuatan ini mencakup kemampuan untuk mengatur secara komprehensif isi dari setiap kontrak kerja dan, dalam kondisi tertentu, bahkan memungkinkan perubahan sepihak. Namun, wewenang yang kuat ini berada di bawah kontrol ketat hukum. Khususnya, ketika perubahan yang merugikan pekerja dilakukan, pemberi kerja harus membuktikan bahwa perubahan tersebut “rasional”, dan standar untuk ini tidaklah rendah. Penilaian rasionalitas tidak hanya didasarkan pada aspek substansial seperti kebutuhan perubahan dan tingkat kerugian, tetapi juga pada keadilan proses, termasuk sejarah negosiasi dengan serikat pekerja dan keberadaan tindakan untuk meredakan kerugian. Oleh karena itu, bagi para manajer dan staf hukum, pemahaman mendalam tentang persyaratan hukum dan manajemen proses yang hati-hati dan strategis saat membuat atau mengubah peraturan kerja, terutama perubahan yang merugikan, menjadi kunci untuk mencegah konflik industrial di masa depan dan mewujudkan manajemen perusahaan yang stabil. Monolith Law Office memiliki rekam jejak yang luas dalam memberikan nasihat hukum terkait peraturan kerja yang telah dijelaskan dalam artikel ini kepada banyak klien di Jepang. Kantor kami juga memiliki beberapa pengacara yang fasih berbahasa Inggris dengan kualifikasi hukum asing, memungkinkan kami untuk memenuhi kebutuhan unik perusahaan dengan perspektif internasional. Kami menyediakan dukungan hukum yang optimal dan disesuaikan dengan strategi bisnis perusahaan Anda, mulai dari pembuatan peraturan kerja baru, peninjauan peraturan yang ada, penyesuaian terhadap perubahan hukum, hingga pelaksanaan perubahan yang merugikan yang memerlukan penanganan yang sangat hati-hati.
Category: General Corporate