Organisasi dan Operasional Serikat Pekerja dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang

Dalam lingkungan bisnis Jepang, serikat pekerja merupakan entitas yang memberikan pengaruh besar terhadap manajemen perusahaan dan hubungan industrial. Konstitusi Jepang menjamin hak pekerja untuk berserikat, hak untuk negosiasi kolektif, dan hak untuk aksi kolektif, dan berdasarkan hal ini, undang-undang seperti Undang-Undang Serikat Pekerja telah disusun. Oleh karena itu, interaksi perusahaan dengan serikat pekerja bukanlah masalah pilihan, melainkan tantangan manajerial yang harus dihadapi dalam kerangka hukum. Memahami secara akurat struktur organisasi serikat pekerja, prinsip operasionalnya, serta regulasi hukum yang mengaturnya adalah esensial untuk membangun hubungan industrial yang sehat dan mengelola risiko hukum. Artikel ini akan fokus pada tiga aspek penting dalam organisasi dan operasi serikat pekerja di bawah hukum ketenagakerjaan Jepang, yaitu ‘Otonomi Serikat Pekerja dan Regulasi Hukumnya’, ‘Perjanjian Union Shop’, dan ‘Lembaga Serikat Pekerja’, dengan menjelaskan secara rinci dari sudut pandang hukum dan praktik. Analisis ini bertujuan untuk membantu para pengusaha Jepang dalam membangun hubungan dengan serikat pekerja secara strategis dan sesuai dengan peraturan hukum.
Otonomi Serikat Pekerja dan Persyaratan Hukumnya di Jepang
Di dalam sistem hukum Jepang, serikat pekerja diberikan otonomi yang tinggi sebagai sebuah entitas. Prinsip otonomi ini bertujuan untuk menghindari intervensi yang tidak adil dari negara atau pengusaha terhadap pengelolaan internal serikat, sehingga pekerja dapat bernegosiasi dengan pengusaha pada posisi yang setara. Namun, agar serikat pekerja dapat menikmati perlindungan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang, mereka harus memenuhi persyaratan ketat yang ditetapkan oleh undang-undang tersebut. Memahami persyaratan ini sangat penting bagi perusahaan untuk menentukan apakah organisasi yang mereka hadapi merupakan mitra negosiasi yang sah secara hukum.
Pasal 28 Konstitusi Jepang menjamin hak pekerja untuk berserikat, hak untuk negosiasi kolektif, dan hak untuk melakukan aksi kolektif. Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang merupakan perwujudan dari hak-hak konstitusional ini. Pasal 2 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang mendefinisikan serikat pekerja sebagai “organisasi atau federasi yang dibentuk oleh pekerja secara sukarela dengan tujuan utama untuk memelihara dan meningkatkan kondisi kerja serta status ekonomi lainnya”. Definisi ini mencakup persyaratan positif yang harus dipenuhi agar serikat diakui secara hukum, yaitu: pekerja sebagai subjek utama, organisasi yang independen, dan tujuan utama adalah pemeliharaan dan peningkatan kondisi kerja.
Di sisi lain, Pasal 2 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang juga menetapkan persyaratan negatif yang mengecualikan organisasi dengan karakteristik tertentu dari penerapan undang-undang serikat pekerja. Jika suatu organisasi memenuhi salah satu dari persyaratan ini, maka organisasi tersebut tidak dianggap sebagai serikat pekerja dalam arti hukum dan tidak dapat menerima perlindungan kuat yang diberikan oleh undang-undang (misalnya, perlindungan dari tindakan buruh yang tidak adil). Bagi manajemen perusahaan, pemahaman tentang persyaratan negatif ini sangat penting.
Pertama, organisasi yang memperbolehkan partisipasi individu yang mewakili kepentingan pengusaha tidak akan diakui sebagai serikat pekerja. Ini termasuk pejabat eksekutif, pekerja yang memiliki wewenang langsung atas perekrutan atau pemecatan, promosi, dan mereka yang memiliki akses ke informasi rahasia tentang rencana atau kebijakan hubungan kerja pengusaha. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk memastikan otonomi serikat dan menghilangkan pengaruh pengusaha.
Kedua, secara prinsip, organisasi yang menerima bantuan keuangan dari pengusaha untuk biaya operasionalnya tidak diakui sebagai serikat pekerja. Ini bertujuan untuk mencegah serikat menjadi finansial tergantung pada pengusaha dan mempertahankan independensinya. Namun, Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang mengakui beberapa pengecualian. Misalnya, pengusaha yang mengizinkan pekerja untuk bernegosiasi selama jam kerja tanpa kehilangan upah, kontribusi pengusaha ke dana kesejahteraan, dan penyediaan kantor dengan ukuran minimal tidak dianggap sebagai bantuan keuangan yang dilarang.
Ketiga, organisasi yang tujuan utamanya adalah untuk menjalankan bisnis asuransi atau kesejahteraan, atau yang terutama bertujuan untuk melakukan aktivitas politik atau sosial, juga dikecualikan dari penerapan Undang-Undang Serikat Pekerja.
Persyaratan hukum ini tidak hanya sekadar definisi. Ketika perusahaan dihadapkan dengan permintaan negosiasi kolektif dari suatu organisasi, memastikan bahwa organisasi tersebut memenuhi persyaratan Pasal 2 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang sebagai serikat pekerja yang sah merupakan langkah pertama dalam menentukan kewajiban hukum perusahaan. Jika organisasi tersebut memperbolehkan partisipasi pejabat atau menerima bantuan keuangan yang tidak tepat dari pengusaha, maka organisasi tersebut mungkin tidak memiliki hak hukum untuk bernegosiasi. Oleh karena itu, meneliti persyaratan ini merupakan bagian penting dari due diligence dalam manajemen hukum dan risiko perusahaan.
Konstitusi Serikat Pekerja: Kunci Tata Kelola Internal di Bawah Hukum Jepang
Agar serikat pekerja berfungsi sebagai entitas hukum yang efektif, “konstitusi serikat pekerja” yang menetapkan prinsip dasar organisasi dan operasinya adalah esensial. Konstitusi ini berperan sebagai ‘konstitusi’ internal serikat dan mengatur hubungan hak dan kewajiban anggota serta proses pengambilan keputusan. Selain itu, Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang mengharuskan serikat untuk memasukkan ketentuan demokratis tertentu dalam konstitusi mereka sebagai syarat kelayakan untuk menerima perlindungan hukum. Oleh karena itu, memahami isi konstitusi serikat pekerja sangat penting dalam menilai legitimasi dan demokrasi operasional serikat tersebut.
Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang menetapkan bahwa serikat pekerja harus membuktikan kepada Komisi Hubungan Industrial bahwa konstitusi mereka sesuai dengan ketentuan Ayat 2 dari pasal yang sama untuk berpartisipasi dalam prosedur yang diatur oleh undang-undang tersebut, seperti pengajuan tuntutan terhadap tindakan buruh yang tidak adil. Meskipun serikat dengan konstitusi yang tidak memadai (serikat dengan konstitusi cacat) dibatasi dalam partisipasi mereka dalam prosedur hukum serikat pekerja, perlindungan individu pekerja berdasarkan Pasal 7 Nomor 1 undang-undang tersebut tidak ditolak, dan mereka juga diakui mendapat perlindungan Konstitusi Jepang Pasal 28 terhadap tindakan kolektif yang sah.
Ketentuan demokratis yang diwajibkan oleh Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang sebagai isi wajib konstitusi adalah sebagai berikut:
- Nama serikat
- Lokasi kantor pusat utama
- Hak anggota untuk berpartisipasi dalam semua masalah serikat dan menerima perlakuan yang sama
- Tidak ada orang yang kehilangan kualifikasi sebagai anggota serikat karena ras, agama, jenis kelamin, asal-usul, atau status sosial
- Pemilihan pejabat melalui pemungutan suara langsung dan rahasia oleh anggota (dalam kasus serikat gabungan, pemungutan suara langsung dan rahasia oleh delegasi yang dipilih melalui pemungutan suara langsung dan rahasia oleh anggota serikat unit)
- Rapat umum diadakan setidaknya sekali setahun
- Laporan keuangan diterbitkan setidaknya sekali setahun kepada anggota serikat bersama dengan sertifikat dari auditor yang berkualifikasi profesional
- Pemogokan (pemogokan serikat) tidak dapat dimulai tanpa keputusan mayoritas melalui pemungutan suara langsung dan rahasia oleh anggota
- Amendemen konstitusi memerlukan dukungan mayoritas melalui pemungutan suara langsung dan rahasia oleh anggota
Ketentuan-ketentuan ini bertujuan untuk menjamin demokrasi dan transparansi dalam pengelolaan serikat. Misalnya, dengan menuntut pemungutan suara langsung dan rahasia oleh anggota untuk keputusan penting seperti pemilihan pejabat, keputusan pemogokan, dan amandemen konstitusi, hal ini mencegah pengelolaan otoriter oleh sekelompok kecil pemimpin dan menjamin aktivitas yang didasarkan pada kehendak kolektif anggota. Selain itu, kewajiban untuk menerbitkan laporan keuangan menjamin transparansi keuangan serikat dan penggunaan dana serikat yang tepat.
Ketentuan-ketentuan konstitusi ini berfungsi sebagai ‘tiket masuk’ agar serikat pekerja memiliki kekuatan hukum. Ketika serikat pekerja mengajukan tuntutan terhadap tindakan buruh yang tidak adil oleh pengusaha (misalnya, penolakan negosiasi kolektif tanpa alasan yang sah) ke Komisi Hubungan Industrial, komisi tersebut pertama-tama akan memeriksa apakah serikat tersebut memenuhi syarat hukum, yaitu apakah konstitusi mereka memenuhi persyaratan Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang. Jika konstitusi tersebut cacat, pengajuan tuntutan itu sendiri mungkin ditolak. Dari perspektif perusahaan, ini berarti bahwa memeriksa apakah konstitusi serikat memenuhi persyaratan hukum dapat menjadi strategi hukum ketika menghadapi tindakan hukum dari serikat pekerja. Masalah tata kelola internal serikat tidak hanya terbatas pada masalah internal serikat tetapi juga dapat menjadi titik kontroversi penting dalam sengketa hukum antara pekerja dan pengusaha.
Kewenangan dan Organisasi Serikat Pekerja di Jepang
Serikat pekerja di Jepang mendirikan berbagai organ internal seperti organ pengambilan keputusan dan organ eksekutif untuk mencapai tujuannya. Memahami bagaimana organ-organ ini terstruktur dan kewenangan apa yang mereka miliki sangat penting bagi perusahaan saat bernegosiasi dengan serikat pekerja, untuk mengetahui siapa yang merupakan perwakilan yang sah dan bagaimana keputusan serikat diambil melalui prosedur apa.
Organ pengambilan keputusan tertinggi dalam serikat pekerja biasanya adalah ‘kongres’ (atau rapat umum). Kongres ini setara dengan rapat umum pemegang saham di perusahaan, dan memiliki kewenangan untuk menentukan hal-hal penting terkait pengelolaan serikat seperti kebijakan aktivitas, anggaran, pemilihan pejabat, amandemen peraturan serikat, dan persetujuan penandatanganan perjanjian kerja. Menurut Pasal 5 Ayat 2 Nomor 6 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang, kongres diwajibkan untuk diadakan setidaknya sekali setahun.
Organ yang bertugas melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh kongres sehari-hari adalah ‘komite eksekutif’. Komite eksekutif terdiri dari pejabat yang dipilih dalam kongres, seperti ketua, wakil ketua, sekretaris jenderal, dan lain-lain. Komite eksekutif bertanggung jawab atas persiapan negosiasi yang konkret, pengumpulan pendapat anggota serikat, dan urusan administratif serikat sehari-hari, menjadi inti dari pengelolaan serikat.
Dari semua pejabat tersebut, ‘ketua’ umumnya memiliki peran sebagai penanggung jawab tertinggi yang mewakili serikat di hadapan publik. Pasal 6 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang menyatakan bahwa “perwakilan serikat pekerja atau orang yang diberi mandat oleh serikat pekerja memiliki kewenangan untuk bernegosiasi dengan pengusaha atau asosiasi pengusaha dalam hal penandatanganan perjanjian kerja dan masalah lainnya” yang menjamin secara hukum bahwa perwakilan seperti ketua memiliki kewenangan untuk melakukan negosiasi kolektif dengan pengusaha.
Saat perusahaan menghadapi negosiasi dengan serikat pekerja, memahami struktur organisasi ini sangat penting dalam praktik. Biasanya, anggota komite eksekutif yang duduk di meja negosiasi. Mereka memiliki kewenangan yang sah untuk bernegosiasi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang. Namun, kewenangan yang mereka miliki adalah ‘kewenangan negosiasi’ dan tidak selalu sama dengan ‘kewenangan untuk menyetujui kesepakatan akhir’.
Dalam banyak serikat, peraturan serikat menetapkan bahwa kewenangan untuk memberikan persetujuan akhir atas rancangan perjanjian kerja yang telah dinegosiasikan dengan pengusaha diserahkan kepada kongres sebagai organ pengambilan keputusan tertinggi. Ini adalah mekanisme kontrol demokratis untuk mencegah negosiator membuat kompromi yang bertentangan dengan kepentingan anggota serikat secara keseluruhan. Struktur ini memiliki dampak besar pada strategi negosiasi pihak perusahaan. Bahkan jika telah tercapai kesepakatan sementara dengan komite eksekutif, selalu ada risiko bahwa kesepakatan tersebut dapat ditolak oleh suara anggota dalam kongres yang diadakan kemudian. Oleh karena itu, bagi negosiator perusahaan, bijaksana untuk memahami proses persetujuan internal serikat selama negosiasi dan mempertimbangkan risiko persetujuan tersebut dalam merumuskan strategi negosiasi.
Struktur Hukum dan Praktik Union Shop di Bawah Hukum Jepang
Union shop agreement merupakan sistem yang luas digunakan dalam hubungan industrial di Jepang untuk memperkuat kekuatan organisasi serikat pekerja. Perjanjian ini pada dasarnya mewajibkan karyawan perusahaan untuk bergabung dengan serikat pekerja tertentu, dan memahami kekuatan hukum serta batasannya sangat penting dalam manajemen sumber daya manusia dan hubungan kerja perusahaan.
Menurut Pasal 7 Ayat 1 dari Undang-Undang Serikat Pekerja Jepang, prinsipnya adalah tindakan yang merugikan seperti pemecatan karena pekerja tidak bergabung atau keluar dari serikat pekerja dianggap sebagai “tindakan buruh yang tidak adil” dan dilarang. Namun, pengecualian penting terhadap prinsip ini diberikan dalam catatan tambahan yang menyatakan bahwa “tidak menghalangi penutupan perjanjian kerja yang menetapkan bahwa pekerja harus menjadi anggota serikat pekerja yang mewakili mayoritas pekerja di pabrik atau tempat kerja tertentu.” Ini adalah dasar hukum untuk union shop agreement.
Syarat paling penting untuk keabsahan union shop agreement adalah “syarat representasi mayoritas”. Hanya serikat pekerja yang terdiri dari lebih dari setengah dari pekerja di tempat kerja (serikat mayoritas) yang dapat menandatangani union shop agreement. Jika serikat pekerja memiliki mayoritas pada saat perjanjian ditandatangani tetapi kemudian kehilangan mayoritas karena anggota keluar, union shop agreement secara otomatis kehilangan kekuatannya. Dalam kasus ini, kewajiban perusahaan untuk memecat karyawan karena tidak bergabung dengan serikat pekerja menjadi tidak berlaku.
Perusahaan tidak harus selalu setuju dengan isi union shop agreement yang paling ketat ketika diminta oleh serikat pekerja. Tergantung pada negosiasi, mungkin untuk menandatangani perjanjian dengan bentuk yang lebih fleksibel yang mempertahankan diskresi perusahaan. Dua tipe yang sering terlihat dalam praktik adalah sebagai berikut:
Satu adalah yang disebut “union shop dengan celah”. Dalam hal ini, meskipun perjanjian menyatakan bahwa prinsipnya adalah memecat mereka yang keluar atau dipecat dari serikat pekerja, keputusan akhir tentang pemecatan diserahkan kepada diskusi antara perusahaan dan serikat pekerja, sehingga mempertahankan hak diskresi perusahaan.
Yang lainnya adalah “union shop deklaratif”. Ini adalah bentuk yang paling lemah di mana perjanjian hanya menyatakan bahwa “karyawan harus menjadi anggota serikat pekerja” dan tidak menetapkan kewajiban pemecatan karena tidak menjadi anggota serikat pekerja.
Untuk membedakan union shop agreement dengan sistem lain yang terkait, kami mengatur perbandingannya dalam tabel berikut. Meskipun konsep-konsep ini digunakan secara internasional, keabsahan mereka di bawah hukum Jepang berbeda-beda.
Jenis Perjanjian | Definisi | Kewajiban Bergabung dengan Serikat Pekerja | Keabsahan di Bawah Hukum Jepang |
Open Shop | Sistem yang menyerahkan kebebasan penuh kepada karyawan untuk bergabung dengan serikat pekerja. | Tidak ada | Sah |
Union Shop | Sistem yang menjadikan bergabung dengan serikat pekerja tertentu dalam jangka waktu tertentu setelah dipekerjakan sebagai syarat kelanjutan pekerjaan. | Ada | Sah dengan syarat tertentu (seperti representasi mayoritas) |
Closed Shop | Sistem yang menjadikan keanggotaan dalam serikat pekerja tertentu sebagai syarat pada saat perekrutan. | Syarat prasyarat perekrutan | Pada prinsipnya tidak sah (hanya pengecualian yang sangat terbatas untuk serikat pekerja tertentu) |
Seperti yang dapat dilihat dari perbandingan ini, closed shop yang kuat yang memerlukan kualifikasi anggota serikat pekerja pada tahap perekrutan pada prinsipnya tidak diakui di Jepang. Di sisi lain, union shop hanya diakui di bawah syarat yang ketat seperti representasi mayoritas. Perusahaan harus memahami persyaratan hukum dan pilihan praktis ini dengan baik ketika mempertimbangkan untuk menandatangani union shop agreement, dan membuat keputusan yang hati-hati sesuai dengan realitas hubungan industrial mereka.
Kasus Penting Terkait Perjanjian Union Shop di Bawah Hukum Jepang
Perjanjian union shop memberikan fondasi organisasi yang kuat bagi serikat pekerja, namun juga memiliki kekuatan yang signifikan dalam mempengaruhi pekerjaan individu, sehingga pengoperasiannya sering menimbulkan sengketa hukum. Mahkamah Agung Jepang telah menegaskan melalui serangkaian putusan bahwa efektivitas perjanjian union shop memiliki batasan hukum. Putusan-putusan ini sangat penting untuk dipahami oleh perusahaan dalam mengenali risiko hukum saat memenuhi kewajiban pemecatan berdasarkan perjanjian tersebut.
Pertama, ada putusan terkait efektivitas pemecatan jika pemecatan anggota serikat pekerja dinyatakan tidak sah. Dalam kasus Japan Salt Manufacturing (putusan Mahkamah Agung Jepang tanggal 25 April 1975), Mahkamah Agung memutuskan bahwa jika serikat pekerja secara tidak adil memecat anggotanya, pemecatan pekerja tersebut oleh pengusaha berdasarkan pemecatan yang tidak sah tersebut merupakan penyalahgunaan hak pemecatan dan tidak sah. Putusan ini memberikan peringatan penting bagi perusahaan. Bahkan jika serikat pekerja meminta pemecatan anggota berdasarkan perjanjian union shop, perusahaan tidak boleh hanya menjadi ‘alat eksekusi’ yang mengikuti permintaan serikat pekerja. Sebelum melaksanakan pemecatan, perusahaan memiliki kewajiban hukum untuk melakukan pemeriksaan dan konfirmasi apakah prosedur pemecatan oleh serikat pekerja telah dilakukan sesuai dengan aturan serikat dan apakah ada rasionalitas dalam alasan pemecatan. Jika perusahaan mengabaikan hal ini dan melakukan pemecatan berdasarkan pemecatan yang tidak adil, pemecatan tersebut dapat dinyatakan tidak sah, dan perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban hukum terhadap karyawan yang bersangkutan.
Kedua, ada putusan penting terkait efektivitas pemecatan ketika pekerja bergabung dengan serikat pekerja lain. Dalam kasus Mitsui Warehouse Port Transport (putusan Mahkamah Agung Jepang tanggal 14 Desember 1989), Mahkamah Agung memutuskan bahwa pengusaha tidak berkewajiban untuk memecat pekerja yang keluar dari serikat pekerja mayoritas yang telah menandatangani perjanjian union shop dan segera bergabung dengan serikat pekerja minoritas atau membentuk serikat baru. Mahkamah Agung menyatakan bahwa tujuan perjanjian union shop adalah untuk mempertahankan dan memperkuat solidaritas serikat pekerja, namun hal tersebut tidak boleh menginjak-injak hak dasar pekerja untuk memilih serikat pekerja, yang merupakan hak yang lebih mendasar. Oleh karena itu, permintaan pemecatan terhadap pekerja yang keluar dari serikat pekerja mayoritas tetapi tetap mempertahankan solidaritas sebagai pekerja dengan bergabung dengan serikat lain dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan moral yang diatur dalam Pasal 90 KUH Perdata Jepang dan dinyatakan tidak sah.
Putusan ini sangat penting karena menjelaskan batasan efektivitas perjanjian union shop. Perjanjian ini memiliki kekuatan untuk mendorong pekerja yang tidak tergabung dalam serikat pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja mayoritas, namun tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi kebebasan pekerja untuk berpindah dari satu serikat ke serikat lain. Terutama dalam situasi di mana ada beberapa serikat pekerja yang beroperasi di dalam perusahaan, putusan ini berperan dalam melindungi keberadaan hukum serikat pekerja minoritas.
Yang umum dalam kedua putusan Mahkamah Agung ini adalah bahwa pengadilan melakukan penimbangan kepentingan yang hati-hati antara efektivitas kontraktual perjanjian union shop dan hak-hak dasar individu pekerja (hak untuk prosedur yang adil dan hak untuk solidaritas dan kebebasan memilih serikat pekerja). Sikap yudisial ini menunjukkan kepada para pengusaha bahwa perjanjian union shop bukanlah mekanisme pemecatan otomatis. Pemecatan berdasarkan perjanjian ini selalu berpotensi menjadi subjek pemeriksaan yudisial setelahnya, yang merupakan tindakan dengan risiko hukum yang tinggi. Oleh karena itu, sangat penting untuk selalu mencari nasihat dari ahli hukum profesional sebelum mempertimbangkan pemecatan semacam ini.
Kesimpulan
Organisasi dan pengelolaan serikat pekerja dalam sistem hukum ketenagakerjaan Jepang diatur oleh kerangka hukum yang rinci, yang menghormati otonomi serikat pekerja sambil menjamin bahwa aktivitas mereka dilakukan secara demokratis dan adil. Dari perspektif manajemen perusahaan, memahami secara akurat persyaratan kualifikasi yang diperlukan agar serikat pekerja mendapatkan perlindungan hukum, prinsip-prinsip pengelolaan demokratis yang harus ditetapkan dalam anggaran dasar serikat, serta kekuatan efektif dan batasan hukum dari sistem paksaan organisasi seperti perjanjian union shop, merupakan dasar untuk membangun hubungan industrial yang stabil dan konstruktif. Pengetahuan hukum ini akan menjadi kompas bagi perusahaan dalam menanggapi negosiasi kolektif, menandatangani perjanjian kerja, dan membuat keputusan terkait manajemen sumber daya manusia, untuk menghindari risiko hukum dan membuat keputusan manajemen yang tepat.
Kantor Hukum Monolith memiliki rekam jejak yang luas dalam menyediakan layanan hukum kepada banyak klien perusahaan domestik dan internasional terkait dengan masalah kompleks dalam hukum ketenagakerjaan Jepang. Kantor kami memiliki beberapa pengacara yang fasih berbahasa Inggris dengan kualifikasi sebagai pengacara Jepang dan juga pengacara asing, memungkinkan kami untuk menangani berbagai masalah tenaga kerja yang muncul dalam lingkungan bisnis internasional. Kami menawarkan dukungan hukum lengkap terkait dengan organisasi dan pengelolaan serikat pekerja, termasuk konsultasi, penanganan negosiasi kolektif, dan peninjauan perjanjian kerja.
Category: General Corporate