Kerangka Hukum Tata Tertib Perusahaan dalam Hukum Ketenagakerjaan Jepang: Peraturan Pelayanan, Perlindungan Whistleblower, dan Efektivitas Sanksi Disiplin

Untuk menjalankan aktivitas perusahaan secara lancar dan mencapai pertumbuhan berkelanjutan, pemeliharaan tatanan internal yang jelas dan adil adalah esensial. Namun, tatanan perusahaan di Jepang tidak hanya didirikan atas dasar kebiasaan atau instruksi sepihak dari manajemen, melainkan diatur secara ketat oleh kerangka hukum yang berbasis pada kontrak kerja. Memahami dan mematuhi kerangka hukum ini merupakan salah satu tantangan terpenting dalam manajemen untuk mencegah potensi sengketa tenaga kerja dan membangun hubungan industrial yang sehat. Khususnya, tiga elemen yang membentuk inti dari tatanan perusahaan—’Peraturan Pelayanan’ yang mendefinisikan kode perilaku karyawan secara spesifik, ‘Sistem Perlindungan Whistleblower’ yang mendorong fungsi pembersihan internal organisasi, dan ‘Sanksi Disiplin’ sebagai hukuman atas pelanggaran tatanan—adalah krusial. Sistem-sistem ini diatur secara detail oleh hukum-hukum seperti Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang (Japanese Labor Contract Act), Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang (Japanese Labor Standards Act), dan Undang-Undang Perlindungan Whistleblower Publik Jepang (Japanese Whistleblower Protection Act), dan pengoperasiannya memerlukan perhatian yang sangat teliti. Artikel ini akan fokus pada ketiga tema penting tersebut dan menjelaskan persyaratan hukum serta poin-poin penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan, dengan menyertakan peraturan hukum spesifik dan contoh kasus pengadilan. Tujuannya adalah untuk membantu para pengelola perusahaan dan praktisi hukum dalam mengelola risiko hukum secara tepat dan mewujudkan pengelolaan organisasi yang efektif dan legal.
Dasar Hukum Tata Kelola Perusahaan di Jepang
Di Jepang, hak perusahaan untuk menuntut dan memelihara tata tertib dari karyawannya bersumber pada kontrak kerja yang disepakati antara pengusaha dan pekerja. Hubungan ini tidak hanya sekedar hubungan perintah dan pengendalian, melainkan sebuah hubungan kontrak yang didasarkan pada kesepakatan antara pihak-pihak yang secara hukum setara.
Hubungan yang Berpusat pada Kontrak Kerja
Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang Pasal 6 menetapkan bahwa kontrak kerja terbentuk “melalui kesepakatan antara pekerja dan pengusaha di mana pekerja bekerja untuk pengusaha dan pengusaha membayar upah sebagai gantinya”. Berdasarkan kesepakatan ini, pekerja memiliki kewajiban untuk menyediakan tenaga kerja, dan pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar upah. Kewajiban yang dipikul oleh pekerja tidak hanya terbatas pada pelaksanaan tugas yang ditentukan. Sebagai bagian dari kontrak, terdapat kewajiban yang lebih luas seperti menjaga aset perusahaan, berkolaborasi dalam operasional yang lancar, dan memperhatikan kepentingan keseluruhan perusahaan. Kewajiban untuk mematuhi tata kelola perusahaan diakui secara hukum sebagai salah satu kewajiban tambahan yang inheren dalam kontrak kerja. Artinya, ketaatan karyawan terhadap aturan perusahaan diinterpretasikan sebagai tanggung jawab dasar dalam pemenuhan isi kontrak.
Prinsip ‘Kejujuran dan Kepatuhan’ serta ‘Larangan Penyalahgunaan Hak’
Prinsip dasar yang lebih lanjut mengatur hubungan kontrak ini ditetapkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang. Ayat 4 dari pasal tersebut menetapkan prinsip ‘kejujuran dan kepatuhan’, yang menyatakan “pekerja dan pengusaha harus mematuhi kontrak kerja dan melaksanakan hak serta memenuhi kewajiban dengan kejujuran dan kepatuhan”. Pelanggaran tata kelola perusahaan oleh karyawan dapat dinilai sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip kejujuran dan kepatuhan ini.
Di sisi lain, ayat 5 dari pasal yang sama menetapkan prinsip ‘larangan penyalahgunaan hak’, yang menyatakan “pekerja dan pengusaha tidak boleh menyalahgunakan hak yang dimiliki berdasarkan kontrak kerja dalam pelaksanaannya”. Prinsip ini menjadi batasan hukum penting terhadap pelaksanaan wewenang oleh pengusaha. Jika hak disiplin yang dilaksanakan untuk memelihara tata kelola perusahaan dinilai tidak proporsional dalam tujuan atau metodenya, maka dapat dianggap sebagai penyalahgunaan hak dan dinyatakan tidak sah secara hukum.
Dengan demikian, tata kelola perusahaan dalam hukum ketenagakerjaan Jepang didirikan atas dasar hubungan timbal balik kontrak kerja, di mana kewajiban ketaatan karyawan ditegakkan melalui prinsip kejujuran dan kepatuhan, sementara pelaksanaan wewenang pengusaha dibatasi secara ketat oleh prinsip larangan penyalahgunaan hak. Memahami kewajiban hukum dua arah ini merupakan langkah pertama dalam mempertimbangkan masalah yang berkaitan dengan tata kelola perusahaan.
Penetapan Aturan: Peraturan Pelayanan dan Peraturan Kerja di Jepang
Untuk menunjukkan dan menuntut kepatuhan terhadap tatanan perusahaan secara konkret dan jelas kepada karyawan, dokumen hukum yang paling penting adalah ‘Peraturan Kerja’. Di dalamnya, terdapat ‘Peraturan Pelayanan’ yang secara khusus berfokus pada kode perilaku karyawan.
Peran Sentral Peraturan Kerja
Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang (Japanese Labor Standards Act) Pasal 89 mengharuskan pengusaha yang secara konstan mempekerjakan lebih dari sepuluh pekerja untuk membuat Peraturan Kerja dan melaporkannya kepada kepala kantor pengawasan standar tenaga kerja yang berwenang. Peraturan Kerja ini harus mencakup ‘item yang mutlak perlu dicantumkan’ seperti waktu mulai dan selesai kerja serta hal-hal yang berkaitan dengan upah, dan ‘item yang relatif perlu dicantumkan’ yang harus dijelaskan jika ada ketentuan yang dibuat. Ketentuan mengenai sanksi terhadap karyawan, yaitu disiplin, termasuk dalam item yang relatif perlu dicantumkan, dan untuk melaksanakan disiplin, perusahaan harus secara eksplisit menyebutkan alasan dan jenis hukuman dalam Peraturan Kerja sebagai prasyarat hukum yang utama.
Posisi Peraturan Pelayanan
Peraturan Pelayanan secara spesifik menetapkan disiplin yang harus dipatuhi oleh karyawan dalam pekerjaan, seperti kewajiban untuk berdedikasi pada pekerjaan, menjaga kerahasiaan, penggunaan fasilitas dan barang milik perusahaan secara tepat, serta larangan terhadap pelecehan. Secara hukum, Peraturan Pelayanan ini diperlakukan sebagai bagian dari Peraturan Kerja. Perusahaan dapat menetapkan bab ‘Disiplin Pelayanan’ dalam Peraturan Kerja atau membuat dokumen terpisah dengan nama ‘Peraturan Pelayanan’. Bahkan dalam kasus yang terakhir, peraturan tersebut secara hukum dianggap sebagai satu kesatuan dengan Peraturan Kerja, sehingga pembuatan atau perubahan harus mengikuti prosedur hukum yang sama seperti Peraturan Kerja.
Prosedur Wajib dalam Pembuatan dan Perubahan
Dalam pembuatan atau perubahan Peraturan Kerja (termasuk Peraturan Pelayanan), pengusaha harus mematuhi prosedur ketat yang ditetapkan oleh Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang. Pengusaha harus terlebih dahulu mendengarkan pendapat dari serikat pekerja yang mewakili mayoritas pekerja jika ada, atau perwakilan yang mewakili mayoritas pekerja jika tidak ada serikat pekerja, dan membuat dokumen tertulis (surat pendapat) yang mencatat pendapat tersebut. Yang dituntut oleh hukum adalah ‘mendengarkan’ pendapat, bukan mendapatkan ‘persetujuan’ dari perwakilan. Namun, prosedur mendengarkan pendapat ini adalah wajib, dan jika dianggap tidak memenuhi prosedur ini melalui komunikasi dengan kantor pengawasan tenaga kerja, pelaporan Peraturan Kerja mungkin tidak akan diterima.
Setelah itu, Peraturan Kerja yang telah dibuat atau diubah, beserta surat pendapat, harus dilaporkan kepada kantor pengawasan standar tenaga kerja yang berwenang, dan kemudian diwajibkan untuk memberitahukan kepada semua karyawan melalui cara seperti pemasangan di tempat yang mudah dilihat di dalam perusahaan, penyerahan dokumen tertulis, atau penerbitan di intranet. Jika perusahaan mengabaikan kewajiban untuk memberitahukan ini, bahkan jika Peraturan Kerja secara hukum telah berlaku, perusahaan mungkin tidak dapat melakukan klaim hak berdasarkan isi Peraturan Kerja kepada karyawan (misalnya pelaksanaan disiplin). Prosedur-prosedur ini bukan hanya formalitas, tetapi merupakan persyaratan mendasar untuk memberikan efektivitas hukum kepada Peraturan Kerja.
Perlindungan Kejujuran: Sistem Perlindungan Whistleblower di Jepang
Pemeliharaan tata kelola perusahaan tidak hanya melibatkan kepatuhan terhadap aturan internal, tetapi juga mencakup kemampuan untuk mendeteksi dan memperbaiki tindakan tidak etis di dalam organisasi. Sistem yang mendukung fungsi pembersihan diri ini secara hukum adalah ‘Undang-Undang Perlindungan Whistleblower’ di Jepang.
Gambaran Umum Undang-Undang Perlindungan Whistleblower di Jepang
Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi individu seperti pekerja yang melaporkan pelanggaran hukum dan kecurangan lainnya di tempat kerja kepada pihak yang ditentukan tanpa motif yang tidak benar (whistleblowing). Secara spesifik, undang-undang ini secara eksplisit melarang pengusaha dari memberikan perlakuan yang merugikan kepada pekerja karena telah melakukan whistleblowing, termasuk degradasi jabatan, pemotongan gaji, atau bentuk perlakuan merugikan lainnya. Tindakan balas dendam semacam ini dinyatakan tidak sah menurut hukum.
Penguatan Kewajiban Pengusaha dengan Amandemen Tahun 2022
Amandemen Undang-Undang Perlindungan Whistleblower yang diberlakukan pada tanggal 1 Juni 2022 (2022) telah secara signifikan memperkuat tindakan yang harus diambil oleh pengusaha. Khususnya, bagi pengusaha yang memiliki lebih dari 300 pekerja yang digunakan secara tetap, kini menjadi ‘kewajiban’ hukum untuk menyiapkan sistem yang memadai untuk menanggapi whistleblowing internal (bagi pengusaha dengan kurang dari 300 pekerja, ini merupakan ‘kewajiban usaha’).
Kewajiban untuk menyiapkan sistem ini secara spesifik mencakup hal-hal berikut. Pertama, harus ada penunjukan ‘petugas yang bertugas menangani whistleblowing’ yang akan menangani penerimaan, investigasi, dan tindakan korektif terhadap whistleblowing internal. Selanjutnya, petugas ini diberikan kewajiban kerahasiaan yang ketat terkait informasi yang dapat mengidentifikasi whistleblower. Jika petugas tersebut membocorkan informasi tanpa alasan yang sah, mereka dapat dikenakan sanksi pidana berupa denda hingga 300.000 yen. Amandemen ini telah mengubah sistem whistleblowing internal dari sekadar rekomendasi menjadi fungsi kepatuhan yang wajib dengan tanggung jawab hukum yang jelas.
Ketidakberlakuan Hukum atas Tindakan Balas Dendam di Pengadilan
Pengadilan Jepang menerapkan larangan terhadap perlakuan merugikan terhadap whistleblower secara ketat. Sebagai contoh, pada tanggal 14 April 2022, Pengadilan Distrik Yokohama memutuskan sebuah kasus. Dalam kasus ini, sebuah perusahaan yang mengelola toko pachinko melakukan tindakan yang melanggar hukum terkait dengan bisnis hiburan dewasa di Jepang. Sebagai tanggapan, beberapa karyawan perusahaan tersebut melaporkan kejahatan tersebut kepada polisi. Akibatnya, perusahaan tersebut mendegradasikan dan memotong gaji karyawan-karyawan tersebut secara signifikan. Pengadilan menetapkan bahwa laporan kepada polisi tersebut merupakan whistleblowing yang dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Whistleblower dan memutuskan bahwa degradasi dan pemotongan gaji yang dilakukan berdasarkan laporan tersebut melanggar undang-undang dan oleh karena itu tidak sah. Putusan ini dengan jelas menunjukkan bahwa meskipun perusahaan melakukan tindakan balas dendam terhadap whistleblower, pengadilan dapat menolak efektivitas tindakan tersebut.
Pelaksanaan Aturan: Syarat-syarat Efektif untuk Disiplin Hukuman di Bawah Hukum Jepang
Sebagai langkah terakhir dalam menjaga tatanan perusahaan, pengusaha dapat memberikan hukuman disiplin kepada karyawan yang melanggar disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan kerja. Namun, penerapan hak disiplin ini tidak diberikan tanpa batas dan tunduk pada persyaratan ketat yang ditetapkan oleh hukum ketenagakerjaan Jepang.
Jenis-jenis Disiplin Hukuman di Bawah Hukum Jepang
Di bawah hukum Jepang, terdapat beberapa jenis disiplin hukuman yang bervariasi berdasarkan tingkat keparahannya. Umumnya, jenis-jenis hukuman ini diurutkan dari yang paling ringan sebagai berikut:
- Teguran & Kecaman: Sebuah sanksi di mana individu diberi peringatan keras secara lisan atau tertulis untuk mencegah pelanggaran di masa depan. Dalam kasus kecaman, umumnya diminta untuk menyerahkan laporan penjelasan.
- Potongan Gaji: Sebagai bentuk sanksi, sejumlah tertentu dari gaji yang seharusnya dibayarkan akan dipotong.
- Suspensi Kerja: Sebuah sanksi di mana karyawan dilarang bekerja untuk periode tertentu, sementara kontrak kerja tetap dipertahankan. Gaji untuk periode tersebut tidak akan dibayarkan.
- Demosi: Sebuah sanksi yang menurunkan posisi atau jabatan seseorang.
Batasan Ketat Hukum Terhadap Penjatuhan Sanksi Pemotongan Gaji di Jepang
Terutama dalam hal pemotongan gaji, dari perspektif perlindungan kehidupan pekerja, Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang (Japanese Labor Standards Act) Pasal 91 menetapkan batasan ketat atas jumlah maksimum yang dapat dipotong. Secara spesifik, jumlah pemotongan gaji untuk satu kasus tidak boleh melebihi setengah dari gaji harian rata-rata pekerja. Selain itu, bahkan jika terdapat beberapa pelanggaran disiplin dalam satu periode pembayaran gaji, total jumlah pemotongan gaji tidak boleh melebihi sepuluh persen dari total gaji periode pembayaran tersebut. Batasan ini diterapkan pada ‘pemotongan gaji’ sebagai hukuman disiplin dan tidak langsung berlaku untuk kasus-kasus seperti tidak dibayarnya gaji akibat penghentian kehadiran kerja atau tidak diberikannya tunjangan jabatan karena degradasi posisi.
Prinsip Penyalahgunaan Hak Disiplin di Bawah Hukum Jepang
Salah satu prinsip hukum terpenting dalam pelaksanaan hak disiplin adalah “Prinsip Penyalahgunaan Hak Disiplin,” yang diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang. Pasal ini menyatakan, “Dalam kasus di mana pemberi kerja dapat mendisiplinkan pekerja, jika disiplin tersebut, berdasarkan sifat dan cara tindakan pekerja yang bersangkutan serta keadaan lainnya, dianggap tidak memiliki alasan yang objektif dan rasional dan tidak dianggap wajar menurut norma sosial, maka hak tersebut dianggap disalahgunakan, dan tindakan disiplin tersebut dinyatakan tidak sah.”
Pasal ini menunjukkan bahwa agar tindakan disiplin dianggap sah, harus memenuhi dua persyaratan berikut:
- Objektivitas dan Rasionalitas: Tindakan karyawan harus secara objektif sesuai dengan alasan disiplin yang ditetapkan dalam peraturan kerja. Diperlukan bukti yang cukup untuk mendukung fakta tersebut.
- Kewajaran Menurut Norma Sosial: Tingkat keparahan hukuman harus seimbang dengan sifat, cara, dan hasil tindakan yang dipermasalahkan, niat karyawan, tingkat kerugian yang ditimbulkan, sikap kerja di masa lalu, riwayat disiplin, dan tingkat penyesalan, serta mempertimbangkan berbagai keadaan lainnya.
Keputusan Yudisial dan Preseden Hukum di Jepang
Pengadilan Jepang menerapkan doktrin penyalahgunaan wewenang disiplin secara ketat, menilai keabsahan tindakan berdasarkan standar objektif, bukan atas dasar penilaian subjektif pemberi kerja.
Sebagai contoh, dalam kasus seorang associate professor di sebuah universitas yang menerima hukuman suspensi kerja selama enam bulan karena perilaku pelecehan (putusan Pengadilan Distrik Kanazawa, 25 Januari 2011), pengadilan mengakui beberapa perilaku tidak pantas yang dilakukan oleh associate professor tersebut. Namun, pengadilan menilai bahwa perilaku tersebut tidak cukup serius untuk membenarkan suspensi kerja selama enam bulan. Mengingat associate professor tersebut tidak memiliki riwayat disiplin sebelumnya dan telah menunjukkan penyesalan, pengadilan memutuskan bahwa hukuman tersebut terlalu berat dan “tidak sesuai dengan norma sosial”, sehingga dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang disiplin dan tidak sah.
Lebih lanjut, terkait hukuman disiplin atas perilaku pribadi karyawan, keabsahan hukuman tersebut hanya diakui jika perilaku tersebut “secara objektif dinilai memiliki dampak negatif yang cukup signifikan terhadap reputasi sosial perusahaan”. Misalnya, dalam kasus pelanggaran ringan yang dilakukan oleh karyawan biasa, yang tidak dilaporkan oleh media dan tidak diketahui oleh semua orang di perusahaan, hukuman disiplin yang berat mungkin dianggap tidak proporsional. Sebaliknya, jika individu yang menempati posisi penting dalam perusahaan melakukan kejahatan serius yang mendapat perhatian besar dari masyarakat, hukuman berat dapat dianggap wajar karena telah merusak kredibilitas perusahaan secara signifikan. Pada akhirnya, keabsahan hukuman disiplin ditentukan dengan mempertimbangkan secara komprehensif keadaan spesifik dari setiap kasus.
Dalam mempertimbangkan keabsahan hukuman disiplin, sangat penting untuk memahami karakteristik dan batasan hukum dari setiap jenis hukuman. Berikut adalah tabel perbandingan hukuman disiplin utama.
Jenis Hukuman | Definisi | Batasan dan Karakteristik Hukum |
Teguran & Kecaman | Peringatan keras untuk masa depan. Kecaman dapat melibatkan pengajuan surat penjelasan. | Hukuman disiplin paling ringan. Catatan hukuman dapat mempengaruhi evaluasi kinerja. |
Potong Gaji | Sebagai sanksi, sebagian gaji dikurangi. | Menurut Pasal 91 Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang, ada batasan ketat. Jumlah satu kali tidak boleh melebihi setengah dari gaji rata-rata harian, dan total tidak boleh melebihi sepuluh persen dari jumlah gaji periode pembayaran. |
Suspensi Kerja | Larangan bekerja untuk periode tertentu, tanpa pembayaran gaji selama periode tersebut. | Durasi suspensi harus sesuai dengan norma sosial. Suspensi yang tidak wajar lama dapat dianggap tidak sah. |
Demosi | Menurunkan jabatan atau posisi. | Demosi sebagai hukuman disiplin memerlukan dasar dalam peraturan kerja. Ini melibatkan pengurangan tunjangan jabatan, tetapi berbeda dengan sanksi potong gaji. |
Kesimpulan
Pemeliharaan tata tertib perusahaan di Jepang didasarkan pada kerangka hukum yang berlapis, yang mencakup kewajiban kedua belah pihak dalam Undang-Undang Kontrak Kerja Jepang, prosedur ketat peraturan kerja yang ditetapkan oleh Undang-Undang Standar Tenaga Kerja Jepang, serta pengawasan ketat oleh yudisial terhadap penyalahgunaan hak disiplin. Untuk mencapai operasional organisasi yang efektif dan legal, penting untuk memahami ketiga pilar ini dengan akurat. Pertama, menyiapkan dan menyebarkan peraturan kerja sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kedua, membangun sistem kepatuhan yang diminta oleh Undang-Undang Perlindungan Whistleblower yang direvisi di Jepang, untuk melindungi whistleblower dari pembalasan. Ketiga, saat memberikan sanksi disipliner, penting untuk mempertimbangkan dengan hati-hati apakah dapat memenuhi standar ketat ‘rasionalitas objektif’ dan ‘kesesuaian dengan norma sosial’ yang diterapkan oleh pengadilan Jepang. Mematuhi tuntutan hukum ini akan melindungi perusahaan dari risiko hukum yang tidak perlu dan menjadi dasar yang kuat untuk pertumbuhan berkelanjutan.
Firma Hukum Monolith memiliki rekam jejak yang luas dalam menangani masalah kompleks yang terkait dengan hukum ketenagakerjaan Jepang untuk klien domestik dan internasional. Firma kami memiliki pengacara dengan berbagai keahlian khusus, termasuk mereka yang berkualifikasi sebagai pengacara di luar negeri dan penutur bahasa Inggris, yang dapat menyediakan dukungan hukum komprehensif terkait dengan tema yang dibahas dalam artikel ini, termasuk pembuatan dan tinjauan peraturan kerja, pembangunan sistem kepatuhan, serta penilaian dan nasihat tentang risiko hukum dalam kasus disipliner tertentu. Kami berkomitmen untuk mendukung Anda dengan pengetahuan dan pengalaman kami dalam menjaga tata tertib perusahaan dan mengelola risiko hukum secara bersamaan.
Category: General Corporate