Kerangka Hukum Bisnis Penanganan Pengangkutan dalam Hukum Dagang Jepang

Di era ekonomi global modern, rantai pasokan Jepang merupakan elemen krusial yang menentukan keberhasilan bisnis internasional. Untuk memanfaatkan jaringan distribusi yang kompleks ini secara efektif, pengetahuan operasional semata tidaklah cukup; pemahaman yang akurat tentang kerangka hukum yang mengatur penyedia layanan utama menjadi sangat penting. Di antara ini, ‘Forwarder’ memegang peranan sentral dalam logistik Jepang, namun status hukumnya seringkali disalahpahami. Artikel ini bertujuan untuk menyediakan analisis hukum yang spesialis tentang peran, tanggung jawab, dan hak-hak forwarder di bawah Hukum Dagang Jepang. Kami akan menjelaskan bagaimana status hukum forwarder berbeda dari agen biasa atau pengangkut sebenarnya. Secara spesifik, kami akan membahas definisi hukum dari bisnis pengurusan transportasi, sifat kontrak pengurusan transportasi, sistem tanggung jawab yang ketat, kondisi di mana forwarder dapat bertanggung jawab sebagai pengangkut, serta alat hukum yang kuat seperti hak penahanan. Melalui analisis ini, kami menyediakan panduan praktis bagi semua perusahaan yang mengelola logistik dan transaksi komersial di Jepang.
Definisi Hukum Bisnis Pengurusan Transportasi di Jepang
Hukum Dagang Jepang memberikan definisi yang jelas mengenai bisnis pengurusan transportasi. Menurut Pasal 559 Ayat (1) Hukum Dagang Jepang, ‘pengurus transportasi’ adalah mereka yang menjalankan bisnis sebagai perantara pengangkutan barang atas nama diri sendiri. Definisi ini mencakup dua elemen penting yang sangat krusial untuk memahami status hukum pengurus transportasi.
Elemen pertama adalah ‘atas nama diri sendiri’. Ini berarti bahwa pengurus transportasi menjadi pihak dalam kontrak dengan perusahaan pengangkutan atau perusahaan pelayaran, yang merupakan pengangkut sebenarnya. Dalam hal ini, pengurus transportasi berbeda dengan ‘agen’, yang hanya memfasilitasi terjadinya kontrak antara pengirim (pemilik barang) dan pengangkut. Pengurus transportasi menandatangani kontrak pengangkutan sebagai subjek yang bertanggung jawab secara hukum.
Elemen kedua adalah ‘untuk perhitungan orang lain’. Ini menunjukkan bahwa manfaat dan risiko ekonomi akhir dari pengangkutan tidak ditanggung oleh pengurus transportasi, melainkan oleh pengirim barang yang menjadi klien mereka. Pengurus transportasi bertindak demi kepentingan pengirim, namun sebagai sarana mereka menandatangani kontrak atas nama diri sendiri sebagai perantara yang independen secara hukum.
Dalam praktik, para pelaku usaha yang sesuai dengan definisi hukum ini termasuk pengusaha pengangkutan barang yang terdaftar berdasarkan ‘Undang-Undang Bisnis Pengangkutan Barang’ dan pengusaha pengangkutan pelabuhan.
Yang paling penting dalam memahami definisi ini adalah membedakan antara pengurus transportasi dan ‘pengangkut’. Pasal 569 Hukum Dagang Jepang mendefinisikan pengangkut sebagai ‘mereka yang menjalankan bisnis pengangkutan barang atau penumpang di darat, danau, sungai, atau pelabuhan’, yang merujuk pada subjek yang secara fisik melaksanakan pengangkutan. Dengan kata lain, pengurus transportasi mengatur pengangkutan, sedangkan pengangkut melaksanakannya. Perbedaan ini sangat krusial, terutama dalam menentukan tanggung jawab yang akan dibahas lebih lanjut.
Lebih lanjut, pengurus transportasi juga berbeda dengan loket perantara seperti toko serba ada yang menyediakan layanan pengiriman barang. Yang terakhir tidak bertanggung jawab atas kontrak pengangkutan itu sendiri, sedangkan pengurus transportasi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengangkutan yang mereka atur.
Untuk memahami lebih dalam tentang sifat hukum pengurus transportasi, perlu melihat konsep ‘toko grosir’ dalam Hukum Dagang Jepang. Toko grosir adalah mereka yang menjalankan bisnis menjual atau membeli barang atas nama diri sendiri untuk perhitungan orang lain. Struktur ini sama persis dengan pengurus transportasi, dan Pasal 559 Ayat (2) Hukum Dagang Jepang secara eksplisit menyatakan bahwa ketentuan yang berlaku untuk toko grosir juga berlaku untuk pengurus transportasi, kecuali ada ketentuan khusus. Ini menunjukkan bahwa pengurus transportasi bukanlah entitas hukum yang sepenuhnya baru, melainkan ditempatkan sebagai salah satu jenis pedagang perantara tradisional dalam Hukum Dagang Jepang. Karakter hukum sebagai toko grosir inilah yang menjadi sumber hak-hak kuat seperti ‘hak intervensi’ dan ‘hak penahanan’ yang diberikan kepada pengurus transportasi.
Untuk mengklarifikasi hubungan ini, tabel berikut membandingkan peran hukum pengurus transportasi, pengangkut, dan agen.
Item | Pengurus Transportasi di Jepang | Pengangkut di Jepang | Agen di Jepang |
Dasar Hukum | Pasal 559 Hukum Dagang Jepang | Pasal 569 Hukum Dagang Jepang | Pasal 27 Hukum Dagang Jepang |
Aktivitas Kontrak | Atas nama diri sendiri, untuk perhitungan pengirim | Atas nama diri sendiri, untuk perhitungan sendiri | Atas nama pengirim, untuk perhitungan pengirim |
Kewajiban Utama | Perantaraan pengangkutan | Pengangkutan barang/penumpang | Perwakilan/perantaraan transaksi untuk prinsipal |
Titik Berat Tanggung Jawab | Kewajiban perhatian dalam pengaturan pengangkutan | Kehilangan, kerusakan, atau keterlambatan barang pengangkutan | Kewajiban kesetiaan kepada prinsipal |
Sifat dan Isi Kontrak Penanganan Pengiriman Barang di Bawah Hukum Jepang
Kontrak penanganan pengiriman barang yang disepakati dengan pengurus pengiriman barang memiliki sifat hukum sebagai ‘kontrak mandat’, yang berarti penugasan untuk menangani urusan tertentu. Namun, karena ini merupakan transaksi komersial, ketentuan khusus dari Hukum Dagang Jepang diberlakukan dengan prioritas yang lebih tinggi daripada prinsip umum Hukum Sipil Jepang. Selain itu, kontrak ini juga dianggap memiliki elemen ‘kontrak pekerjaan’ karena bertujuan untuk mencapai hasil yang sukses dalam pengaturan pengiriman.
Berdasarkan kontrak ini, pengurus pengiriman barang memiliki ‘kewajiban perhatian pengelola yang baik’ (kewajiban perhatian yang baik). Kewajiban abstrak ini telah diperjelas dalam Pasal 560 Hukum Dagang Jepang sebelum revisi pada tahun 2018 (sebelumnya, Hukum Dagang lama). Menurut pasal tersebut, pengurus pengiriman barang tidak dapat dibebaskan dari tanggung jawab kecuali mereka dapat membuktikan bahwa mereka tidak lalai dalam menerima, menyerahkan, menyimpan barang, memilih pengangkut atau pengurus pengiriman barang lainnya, serta dalam semua aktivitas terkait pengiriman.
Di sisi lain, pengurus pengiriman barang juga diberikan hak-hak penting. Salah satunya adalah hak untuk menuntut pembayaran. Pasal 561 ayat (1) Hukum Dagang lama menetapkan bahwa pengurus pengiriman barang dapat segera menuntut pembayaran saat barang dikirimkan kepada pengangkut. Hak ini muncul terlepas dari apakah barang telah tiba di tujuan akhir atau tidak, yang merupakan ketentuan menguntungkan bagi pengurus pengiriman barang.
Lebih lanjut, ayat (2) dari pasal yang sama mengandung ketentuan penting dalam praktik bisnis. Aturan tersebut menyatakan bahwa jika dalam kontrak penanganan pengiriman barang, pembayaran pengurus pengiriman barang tidak ditentukan secara individual tetapi ditetapkan sebagai ‘ongkos pengiriman’ yang mencakup jumlah total, maka ongkos pengiriman tersebut dianggap sudah termasuk pembayaran. Dalam hal ini, pengurus pengiriman barang tidak dapat menuntut pembayaran tambahan kecuali ada perjanjian khusus.
Aturan ongkos pengiriman yang menyeluruh ini memiliki arti lebih dari sekadar praktik akuntansi. Dalam praktik bisnis, umum bagi pengurus pengiriman barang untuk menawarkan tarif tunggal kepada pelanggan demi penyederhanaan estimasi dan pemeliharaan daya saing. Struktur ini menciptakan insentif ekonomi bagi pengurus pengiriman barang untuk memaksimalkan selisih antara ongkos pengiriman yang mereka tagihkan kepada pelanggan dan biaya yang mereka bayarkan kepada pengangkut sebenarnya. Hal ini diharapkan membuat pengurus pengiriman barang berfungsi sebagai pengelola biaya yang efisien. Di sisi lain, praktik ini secara halus mengubah karakter peran pengurus pengiriman barang dari sekadar agen transparan menjadi pengusaha independen yang menjual layanan pengiriman dengan harga tetap. Realitas ekonomi seperti ini menjadi jembatan menuju konsep hukum ‘hak intervensi’, di mana pengurus pengiriman barang berpotensi bertransformasi menjadi pengangkut, membentuk dasar praktis dan hukum untuk kemungkinan tersebut.
Tanggung Jawab Operator Pengangkutan di Bawah Hukum Jepang
Tanggung jawab operator pengangkutan diatur dengan sangat ketat di bawah hukum perdagangan Jepang. Prinsip inti dari tanggung jawab ini adalah ‘presumption of negligence’. Pasal 560 dari Hukum Perdagangan lama menyatakan bahwa jika kerusakan, kehilangan, atau keterlambatan barang yang diangkut menyebabkan kerugian, operator pengangkutan tidak dapat terlepas dari tanggung jawab ganti rugi kecuali mereka dapat membuktikan bahwa mereka dan karyawan mereka tidak lalai.
Ciri khas dari ketentuan ini terletak pada pergeseran beban pembuktian. Menurut prinsip umum Hukum Sipil Jepang, pihak yang mengklaim wanprestasi (pengirim) harus membuktikan kelalaian pihak lain (operator pengangkutan). Namun, dalam tanggung jawab operator pengangkutan, hubungan ini terbalik. Pengirim yang mengalami kerugian hanya perlu membuktikan terjadinya kerugian, tanpa perlu membuktikan adanya kelalaian. Sebaliknya, operator pengangkutan harus secara aktif membuktikan bahwa mereka tidak lalai untuk dapat terlepas dari tanggung jawab.
Namun, tanggung jawab ketat ini tidak berlaku tanpa batas waktu. Hak untuk menuntut ganti rugi terhadap operator pengangkutan, menurut Pasal 566 dari Hukum Perdagangan lama, tunduk pada batas waktu yang singkat, yaitu satu tahun. Periode ini dihitung mulai dari hari penerima barang menerima barang tersebut, dan dalam kasus kehilangan total, hitungan dimulai dari hari barang seharusnya diserahkan.
Namun, periode satu tahun ini bukanlah mutlak. Ayat ketiga dari pasal yang sama mengecualikan penerapan batas waktu singkat ini jika operator pengangkutan bertindak dengan ‘niat jahat’. ‘Niat jahat’ di sini, misalnya, merujuk pada kasus di mana operator pengangkutan sengaja menyebabkan kerugian atau menyembunyikan fakta kerugian dari pengirim meskipun mengetahuinya.
Yurisprudensi menunjukkan bagaimana prinsip tanggung jawab ini diterapkan dalam praktik. Sebagai contoh, dalam kasus kehilangan paspor yang dikirim melalui layanan kurir tanpa alasan yang jelas, Pengadilan Distrik Tokyo dalam putusannya tanggal 20 April 1989 (Hanrei Jihō No. 1337, halaman 129) membuat keputusan yang patut diperhatikan. Putusan tersebut menyatakan bahwa mengingat kehilangan terjadi di bawah pengawasan operator pengangkutan dan penyebabnya tidak diketahui, maka wajar untuk menganggap bahwa operator pengangkutan bersalah karena ‘kelalaian berat’. Kehilangan yang tidak diketahui penyebabnya sendiri menunjukkan kekurangan dalam sistem penyimpanan dan pengelolaan operator pengangkutan, dan hal tersebut dinilai sebagai kelalaian berat.
Dalam mempertimbangkan tanggung jawab operator pengangkutan, batas waktu satu tahun ini tampaknya memberikan perlindungan yang kuat. Namun, dalam sistem hukum Jepang, ada prinsip hukum penting yang merelativisasi perlindungan ini, yaitu konsep yang disebut ‘kompetisi hak klaim’. Konsep ini mengizinkan pengejaran tanggung jawab berdasarkan kontrak (wanprestasi) dan tanggung jawab delik yang tidak berdasarkan hubungan kontrak untuk peristiwa kerugian yang sama. Putusan Mahkamah Agung tanggal 5 November 1963 mengakui bahwa prinsip kompetisi hak klaim ini berlaku juga untuk operator pengangkutan, dan tanggung jawab delik dapat didirikan atas dasar kelalaian sederhana operator pengangkutan. Batas waktu untuk klaim ganti rugi berdasarkan delik adalah tiga tahun sejak kerugian dan pelaku diketahui, yang jauh lebih lama daripada satu tahun berdasarkan kontrak. Ini memberikan jalan bagi pengirim yang telah melewati periode satu tahun untuk mengajukan gugatan terhadap operator pengangkutan berdasarkan delik. Selain itu, biasanya ada klausul dalam perjanjian pengangkutan yang menetapkan batas maksimum tanggung jawab ganti rugi, tetapi jika operator pengangkutan terbukti memiliki niat jahat atau ‘kelalaian berat’, klausul pembatasan tanggung jawab ini umumnya menjadi tidak berlaku. Seperti yang ditunjukkan oleh contoh kasus tahun 1989, pengadilan dapat menyimpulkan adanya kelalaian berat dari kecelakaan barang yang penyebabnya tidak diketahui. Oleh karena itu, operator pengangkutan menghadapi risiko yang kompleks: tanggung jawab kontraktual jangka pendek, tanggung jawab delik jangka panjang, dan risiko pembatalan klausul pembatasan tanggung jawab.
Tanggung Jawab Sebagai Pengangkut: Pelaksanaan Hak Intervensi di Jepang
Seorang pengurus pengangkutan pada dasarnya adalah perantara yang mengatur pengangkutan, namun dalam kondisi tertentu, mereka dapat menjadi pengangkut itu sendiri dan memikul tanggung jawab yang lebih berat. Ini dimungkinkan melalui ‘hak intervensi’. Pasal 565 ayat (1) dari Hukum Dagang Jepang (Meiji era, 1899) menetapkan bahwa, kecuali ada ketentuan khusus dalam kontrak pengangkutan, pengurus pengangkutan dapat melakukan pengangkutan sendiri.
Ketika pengurus pengangkutan menggunakan hak intervensi ini, status hukum mereka berubah secara mendasar. Mereka tidak lagi hanya perantara, tetapi berdiri pada posisi yang sama dengan pengangkut dalam semua hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pengangkutan. Ini berarti bahwa lingkup tanggung jawab mereka meluas dari tindakan terbatas mengatur pengangkutan menjadi seluruh proses pengangkutan, dari penerimaan hingga penyerahan barang.
Perubahan status ini juga dapat terjadi tanpa niat dari pengurus pengangkutan. Pasal 565 ayat (2) dari Hukum Dagang Jepang menyatakan bahwa ketika pengurus pengangkutan membuat ‘dokumen penukaran barang’ atas permintaan klien, mereka dianggap melakukan pengangkutan sendiri. Ini disebut ‘fiksi intervensi’, di mana tindakan mengeluarkan dokumen penukaran barang secara otomatis memberikan tanggung jawab pengangkut kepada pengurus pengangkutan.
Tanggung jawab sebagai pengangkut diatur dalam Pasal 577 dari Hukum Dagang Jepang, di mana tanggung jawab pengurus pengangkutan, seperti halnya pengangkut, didasarkan pada presumsi kesalahan. Namun, lingkup tanggung jawab mereka jauh lebih luas. Pengangkut bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi selama seluruh proses pengangkutan, dari penerimaan hingga penyerahan barang, kecuali mereka dapat membuktikan bahwa tidak ada kesalahan dari pihak mereka.
‘Fiksi intervensi’ ini menimbulkan risiko hukum yang signifikan dalam logistik internasional modern. ‘Dokumen penukaran barang’ adalah surat berharga yang mewakili barang itu sendiri menurut hukum dagang Jepang. Di sisi lain, pengurus pengangkutan yang beroperasi sebagai pengangkut gabungan internasional (NVOCC) secara rutin mengeluarkan dokumen pengangkutan seperti ‘House Bill of Lading (HBL)’ atau ‘House Air Waybill (HAWB)’ sebagai bagian dari operasi sehari-hari mereka. Muncul pertanyaan apakah HBL atau HAWB ini setara dengan ‘dokumen penukaran barang’ menurut hukum dagang Jepang. Jika pengadilan membenarkan hal ini, pengurus pengangkutan tanpa sengaja akan memikul tanggung jawab penuh sebagai pengangkut untuk seluruh segmen pengangkutan internasional. Masalah pengurus pengangkutan yang mengeluarkan dokumen pengangkutan sendiri namun berusaha menghindari tanggung jawab sebagai pengangkut telah menjadi topik diskusi dalam reformasi hukum, dan ada pandangan yang semakin kuat bahwa pelaku usaha seperti ini seharusnya memikul tanggung jawab sebagai pengangkut. Ini menunjukkan bahwa dokumen yang dikeluarkan secara rutin oleh pengurus pengangkutan dapat secara mendasar mengubah risiko hukum mereka, dan ini merupakan poin penting yang harus diperhatikan oleh pelaku usaha.
Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan tanggung jawab sebagai pengurus pengangkutan dan sebagai pengangkut setelah pelaksanaan hak intervensi.
Aspek Tanggung Jawab | Sebagai Pengurus Pengangkutan | Sebagai Pengangkut (Setelah Intervensi) |
Dasar Tanggung Jawab | Pelanggaran kewajiban perhatian dalam tindakan perantaraan | Pelanggaran kewajiban perhatian selama proses pengangkutan |
Lingkup Tanggung Jawab | Terbatas pada tindakan perantaraan seperti pemilihan dan pengawasan pengangkut | Seluruh proses pengangkutan, dari penerimaan hingga penyerahan barang |
Tanggung Jawab Pembuktian | Membuktikan tidak adanya kesalahan dalam tindakan perantaraan | Membuktikan tidak adanya kesalahan selama seluruh proses pengangkutan |
Undang-Undang yang Berlaku (Hukum Dagang Jepang) | Pasal 560 | Pasal 577 |
Hak Penahanan oleh Pengurus Pengangkutan di Bawah Hukum Jepang
Hukum Dagang Jepang memberikan alat hukum yang kuat bagi pengurus pengangkutan untuk mengamankan hak kredit mereka, yang dikenal sebagai “hak penahanan.” Pasal 562 dari Hukum Dagang lama (Kyu-Shoho) mengakui hak pengurus pengangkutan untuk menahan barang yang dikirimkan oleh pengirim hingga pembayaran kredit tertentu diterima.
Ruang lingkup kredit yang dijamin oleh hak penahanan ini terbatas. Pengurus pengangkutan hanya dapat menggunakan hak penahanan untuk biaya yang harus diterima terkait barang yang ditahan, termasuk upah pengangkutan dan biaya lain yang dibayarkan muka atas nama pengirim. Ini disebut sebagai “hak penahanan khusus” dan berbeda dengan “hak penahanan komersial” (Pasal 521 dari Hukum Dagang Jepang) yang mengamankan kredit yang timbul dari semua transaksi komersial antara pedagang, hak penahanan khusus ini memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan tidak memungkinkan penahanan barang pengangkutan saat ini untuk utang masa lalu yang tidak terkait langsung dengan barang tersebut.
Namun, kekuatannya sangat besar. Berbeda dengan kredit yang hanya dapat diklaim terhadap pihak tertentu dalam kontrak, hak penahanan merupakan “hak atas benda” yang dapat diklaim terhadap siapa saja. Sebagai contoh historis yang menunjukkan kekuatan hak ini, ada kasus yang dikenal sebagai “Peristiwa Kapal Sandviken” (Putusan Pengadilan Banding Tokyo), di mana pengadilan memutuskan berdasarkan prinsip tidak terbaginya hak penahanan, bahwa pengangkut dapat menahan sisa barang meskipun hanya memiliki sebagian kecil dari barang tersebut, hingga pembayaran penuh biaya sewa kapal diterima. Prinsip hukum yang kuat ini juga berlaku untuk hak penahanan pengurus pengangkutan.
Hak penahanan ini tidak hanya merupakan konsep hukum, tetapi juga memiliki nilai strategis yang sangat penting dalam praktik. Di industri logistik, di mana layanan seringkali disediakan berdasarkan kredit, hak penahanan menjadi alat pengelolaan kredit yang penting bagi pengurus pengangkutan. Keunggulan terbesarnya terletak pada kemampuan untuk bertindak segera. Daripada melalui proses hukum yang memakan waktu dan biaya untuk menagih pembayaran yang belum dibayar, pengurus pengangkutan dapat menggunakan hak penahanan untuk secara legal menghentikan rantai pasokan pengirim, memberikan tekanan pembayaran yang cepat dan kuat. Namun, hak ini bergantung pada kepemilikan barang, sehingga tidak dapat digunakan setelah barang telah diserahkan. Hal ini menjadi bahan negosiasi kunci dalam pembayaran. Di sisi lain, keterbatasan hak ini hanya pada utang yang terkait dengan barang tertentu berfungsi sebagai kontrol penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang besar. Bagi perusahaan yang melakukan bisnis internasional, keberadaan hak penahanan ini menunjukkan risiko serius bahwa perselisihan kecil terkait faktur dapat berujung pada penahanan barang di Jepang, yang dapat memutus rantai pasokan secara signifikan.
Kesimpulan
Seperti yang telah dijelaskan dalam artikel ini, di bawah hukum perdagangan Jepang, operator pengangkutan bukanlah sekadar agen atau pengangkut penuh, melainkan memiliki status hukum khusus yang beroperasi di bawah regulasi yang unik. Dalam menjalankan tugasnya, operator pengangkutan ini dibebani dengan ‘tanggung jawab presumsi kelalaian’ yang ketat, di mana mereka harus membuktikan bahwa tidak ada kelalaian dari pihak mereka untuk menghindari kewajiban ganti rugi. Lebih lanjut, jika mereka dianggap telah menggunakan ‘hak intervensi’ melalui tindakan seperti penerbitan dokumen pengangkutan, tanggung jawab mereka dapat berubah menjadi lebih luas dan berat, seolah-olah mereka adalah pengangkut. Di sisi lain, operator pengangkutan juga diberikan ‘hak penahanan’ yang kuat untuk mengamankan kredit yang belum dibayar, yang dapat menjadi risiko potensial dalam rantai pasokan bagi klien mereka. Dengan demikian, kerangka hukum yang mengatur bisnis pengangkutan adalah area yang memerlukan pengetahuan khusus, dengan hak dan kewajiban yang kompleks dan saling terkait.
Kantor Hukum Monolith telah menyediakan nasihat berdasarkan pengalaman praktis yang luas kepada klien domestik dan internasional terkait dengan operasi pengangkutan di Jepang, logistik, dan hukum perdagangan secara umum. Kantor kami memiliki anggota tim yang termasuk para profesional yang fasih berbahasa Inggris dan memiliki kualifikasi hukum dari berbagai negara, memungkinkan kami menjadi jembatan antara sistem hukum Jepang dan praktik bisnis internasional. Kami berkomitmen untuk menyediakan dukungan hukum yang komprehensif dan strategis untuk membantu perusahaan memahami lingkungan hukum yang kompleks ini dengan tepat, mengelola risiko secara efektif, dan membimbing bisnis mereka menuju kesuksesan di Jepang.
Category: General Corporate